Sumber: Arena, No. 3, Juni 1946, hlm. 60-63.
Ketika memperoleh artikel ini dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kondisinya sudah dalam keadaan rusak sebagian. Pada halaman 63, beberapa kata di akhir tulisan hilang. Bagian hilang diberikan tanda […] Jika memperoleh sumber yang lebih baik, kami akan segera menyempurnakannya. Mohon maaf atas kekurangannya. Terima kasih.
Tontonan dan tontonan ada dua; demikian juga penonton tinju berlainan sekali dengan perasaan waktu melihat pertunjukan film, sandiwara atau mendengar konser. Disamping perasaan adil dan tidak adil yang tertentu, yang dapat dibedakan tiap orang yang waras dan normal, pada tiap penonton selalu ada perasaan memihak dan menghukum (vooroordeel). Walaupun kita sama sekali tidak bersangkutan apa atau berhubungan apa dengan pemain sebagai “outsider”, penonton dalam arti netral, akan tetap diantara dua atau serombongan pemain yang berhadapan selalu ada yang kita lebih sukai atau gemari.
Jika dua jago tinju diadu, tiap-tiap penonton mempunyai salah seorang favorit dari yang dua itu, orang yang disukainya. Favorit inilah yang diharap-harapkan menang. Biarlah mati lawannya itu! Tidak jarang pada penonton itu timbul nafsu buas seperti binatang. Disinilah manusia lupa akan dirinya; disinilah dia kembali jadi manusia biadab; disinilah timbul lagi sifat binatang yang masih ada padanya.
Demikian juga dalam pertandingan sepak raga. Salah satu dari dua kesebelasan itu menjadi favorit kita. Tempik sorak yang riuh memenuhi lapangan, jika favorit kita berhasil menembus pertahanan lawan. Tiba-tiba kedengaran suara gemuruh kecewa dan kesal karena bola tidak masuk jaring. Jengkel betul kita melihat pemain yang salah menendang bola. “Ah, kenapa tidak terus ditendang itu bola? Tidak bisa main, ikut-ikut juga,” kedengaran di sana-sini penonton merengut, seolah-olah mereka lebih tahu bagaimana bola itu seharusnya ditendang. Mereka tidak pikirkan bahwa pemain sudah mati-matian merebut bola dari lawannya. Puas betul kedengaran ketawa penonton, jika dua atau tiga pemain tabrakan jatuh terpelanting di tanah. Mereka tidak memikirkan rasa sakit yang diderita oleh pemain-pemain itu. Makin banyak sensasi makin puas mereka. Mereka bertepuk tangan dan berteriak-teriak, supaya permainan lebih hebat. Seorang bersorak semua turut bersorak, terbawa oleh arus “kudde instinct”.
Mengeluarkan kritik atau lebih tepat menunjukkan yang salah di tanah lapang tidak susah, juga bagi orang yang bukan ahli, oleh karena kesalahan-kesalahan tampak dan nyata betul. Kesalahan-kesalahan kadang-kadang demikian nyata sehingga tentang itu hampir tak ada perselisihan paham.
Dalam pertandingan tinju kebanyakan kesalahan-kesalahan, terlebih-lebih yang mengenai teknik dan taktik, tersembunyi bagi penonton biasa, kecuali yang terlalu mencolok mata.
Nyatalah bahwa makin tinggi derajat sesuatu permainan, makin sukar bagi penonton untuk memberi perimbangan yang sehat atau kritik yang objektif.
Kedua-duanya permainan tadi, pertandingan sepak raga dan tinju, atau pendek kata pada umumnya olah raga yang mengutamakan kekuatan badan, ketangkasan dan kecepatan saja, hanya memberi kepuasan sementara saja bagi penonton, enak selama permainan sedang berlaku. Boleh dikatakan hanya mata sajalah yang puas. Dan pertandingan yang demikian seringkali bukan permainan bagus yang dilihat orang tetapi kesudahannya, siapa yang menang.
Sangat berlainan dengan tontonan panggung yang sering memaksa penonton berpikir dalam dan memberi santapan jiwa, kesan-kesan untuk direnungkan. Cerita sandiwara dapat menggerakkan hati, bahkan merubah jiwa dan hidup penonton; dapat mempengaruhinya demikian rupa, sehingga dia selalu terkenang akan cerita itu.
Penulis-penulis dan ahli-ahli sandiwara modern selalu berikhtiar menggambarkan filsafat dan masalah hidup dengan cara yang sederhana dan mudah dipahamkan. Scarlett O’Hara dalam “Gone with the wind” menggambarkan seorang perempuan yang penuh temperamen dan sangat malang dalam cinta. Dia cinta kepada seorang laki-laki yang telah mencurahkan semua cintanya kepada isterinya sendiri. Patah, remuk hati Scarlett setelah dia mendengar pengakuan yang pahit itu dari mulut Ashley. Jiwanya tersiksa, sakit menderita.
Rhett Butler yang mencintai Scarlett dengan seluruh jiwanya tak dapat menggantikan Ashley dalam hati Scarlett. Scarlett kawin dengan Butler tetapi jiwa mereka tak dapat berpadu. Butler kecewa, perasaan sebagai suami tersinggung, tetapi dia insyaf akan kekeliruannya. Scarlett mencari cinta dan mengabaikan cinta.
Melly, isteri Ashley, menggambarkan seorang perempuan yang sejati. Perempuan dalam segala-galanya, dengan kasih sayang mengabdi dalam cinta; riang gembira dalam menunjukkan cintanya, diam-tenang menahan dan menerima penderitaan dan penanggungan.
Cerita lama dalam versi baru dan modern, menggambarkan perhubungan cinta yang terdapat dari masa ke masa, mengandung psikologi yang dalam.
Tetapi sayang sekali, kebanyakan dari penonton bangsa kita belum dapat menyelami psikologi cerita ini dan mengambil sari yang tepat. Mereka tidak dapat memindahkan atau mencocokkan dirinya ke suasana pemain. Pada saat yang sedih, waktu penonton sebetulnya harus mengeluarkan air mata atau sedikit-dikitnya diam terharu, mereka tertawa gelak-gelak. Sungguh sedih! Jengkel kita mendengar orang tertawa tidak pada tempatnya; jengkel dan merasa kasihan juga!
Sebaliknya kita heran kenapa penonton, tinggal diam, dungu seperti orang tolol sewaktu mereka harus ketawa. Humor yang terselip dalam perkataan-perkataan pemain tersembunyi atau kabut bagi mereka, sehingga tak dapat dirasakannya.
Tidak heran jika sandiwara-sandiwara kita ragu-ragu dan segan-segan memainkan cerita yang agak tinggi derajatnya, takut kalau-kalau tak dapat sambutan yang selayaknya dari penonton. Maka sampai sekarang kebanyakan cerita-cerita yang mendapat banyak sukses hanya yang berbau asmara saja dan sangat sederhana. Asal ada musik, dekor yang agak menarik, pemain-pemain yang cantik dan footlight yang menambah “keindahan” atau effect semuanya, penonton sudah merasa puas.
Dalam “Noesa Laoet” umpamanya Usmar Ismail berusaha sedapat mungkin menjadikan cerita sesederhana-sesederhananya, agar supaya penonton dapat meresapkannya. Tetapi rupa-rupanya cerita itu masih terlalu tinggi bagi banyak penonton. Di sana-sini masih kedengaran keluh, seolah-olah Usmar Ismail hanya mau memuaskan kaum inteligensia saja. Pada Usmar Ismail tentu maksud yang demikian sama sekali tidak ada. Letak salahnya bukan pada dia, juga bukan pada pemain atau dekornya —ini bukan berarti bahwa pemain, dekor, dan lain-lainnya sudah sempurna— tetapi pada penonton. Salah satu kekurangan penonton bangsa kita ialah bahwa mereka malas berpikir, mencari dan menimbang; otaknya tidak diasah.
Sebaliknya dari penulis-penulis barisan muda banyak yang bercita-cita maju, bercita-cita memberi derajat yang tinggi pada kesenian Indonesia, membawa ke tingkat internasional. Jika Yunani dapat melahirkan seorang Aeschylus atau Sophocles, Inggris seorang Shakespeare atau Shaw, Skandinavia seorang Ibsen, kenapa Indonesia tidak. Barisan muda harus menjunjung tinggi cita-citanya. Cita-cita itu harus dipupuk dan dipelihara. Teringat saya pada nasehat seorang pujangga besar: “Sagen Sie Ihm, daß er für die Träume seiner Jugend Soll Achtung tragen.” Nasehat ini diserukan juga kepada seniman muda Indonesia.
Sebagai penutup sedikit tentang musik.
Pada umumnya musik meminta kecerdasan dan perasaan yang lebih tinggi dari penonton atau pendengar, oleh karena musik melukiskan sesuatu secara abstrak. Kita hanya dapat merasa dan melihat yang dilukiskan musik sebagai bayangan dalam pikiran saja. Maka kebanyakan musik, teristimewa yang berat, hanya dapat dimengerti, dirasa dan dinikmat segolongan kecil saja. Bagi golongan besar pendengar suara simfoni umpamanya hanya bunyi yang enak ditelinga saja, tidak meresap ke dalam. Pernah seorang ahli musik mengatakan bahwa kebanyakan penonton tidak mendengar musiknya, tetapi hanya melihat dirigennya saja. Bunyi dan arti musik itu hilang bagi mereka. Penonton bertepuk tangan bukan oleh karena mereka merasa dan mengerti kisah yang dilukiskan musik itu tetapi oleh karena gerak dirigen yang hebat itu.
Tentang musik keroncong hanya yang mengenai musik dan sifatnya saja:
Sampai sekarang musik keroncong belum bisa meningkat ke derajat internasional, oleh karena masih terlalu sederhana dalam melodi, irama, dan syairnya. Bangun dan bentuknya hampir sama semua cuma dalam melodinya di sana-sini ada variasi dan ini juga hanya “curian” dari motif-motif yang telah ada. Syairnya kebanyakan hanya permainan perkataan-perkataan saja yang merindukan si jantung hati atau merenungkan nasib malang. Pengarang lagu-lagu keroncong belum dapat melepaskan dirinya Weltschmerz dan Idylle. Alangkah janggalnya kedengaran di telinga, syair yang melukiskan ratapan kelana yang dirundung malang diiringi dengan melodi yang riuh rendah dan gemuruh atau syair yang melukiskan kegembiraan dan bersemangat diiringi dengan melodi yang melankolis. Lagu dan melodi saling memperkosa satu sama lain.
Sekedar tinjauan sepintas lalu […] tulisan ini ada faedahnya bagi pe[…] dan seniman muda.