PAMERAN LUKISAN: OESMAN EFFENDI

Sumber: Zaman Baru, No. 13, 10 September 1957, hlm. 2 & 7.

Pelukis Oesman Effendi mengadakan pamerannya di Balai Budaya dari tanggal 23 Agustus sampai dengan 5 September 1957. Ia keluar dengan jumlah lukisan cukup banyak buat pameran perseorangan. Saya lupa menghitung berapa banyaknya, tapi ada lukisan yang bernomor 48. Saya katakan cukup karena lukisan-lukisannya banyak memberi bahan untuk membicarakan dia sebagai seniman dan tentang seninya.

Sekali ini Oesman Effendi hanya menghidangkan lukisan-lukisannya yang dibikin dengan cat air dan pastel.

Pada tiap pameran yang kita kunjungi disamping kita menikmati keindahan, kita ingin tahu apa yang menjadi pokok pikiran si seniman yang dapat mendidik dan memberi teladan pada kita.

Seni Sebagai Keindahan

Untuk menikmati keindahan lukisan-lukisan Oesman Effendi cukup memberikan tempat pada kita. Daya kreatifnya kuat. Segi artistiknya (keindahan) cukup dikuasai: komposisinya tetap seimbang, pembagian bidang tersusun rata, suasana tetap terpelihara oleh garis dan warna.

Terutama warnanya bisa digunakan secara lancar melalui bentuk apa saja, dari yang nyata hingga yang abstrak. Dia tidak mendapat kesukaran apa-apa dengan warna. Warna sudah menjadi alat pernyataan sehari-hari. Dalam warnanya bisa dikatakan dia sudah dapat satu kemenangan. Beberapa lukisan bisa memberikan keharuan pada kita dalam menikmati warna. Warnanya hijau, kuning, merah, hitam, tersusun seimbang, tidak mengganggu perasaan kita, bahkan kadang-kadang mengikat kita dengan suatu keharuan. Misalnya warna hitamnya mengagumkan kita bagaimana ia memakai warna tersebut sebagai suatu finishing touch (penyelesaian) diantara suasana hijau kuning merah dan biru. Teringat saya pada suasana warna hiasan rumah Batak dan Toraja, juga hiasan di pendopo Keraton atau kain pelangi, dimana warna merah kuning dan hijau dipekatkan oleh warna hitam (lukisan: Hutan Impian, Tunas Tales, dan Pohon-pohon).

Dalam bentuk Saudara Oesman Effendi belum begitu meyakinkan daripada dengan warnanya. Angan-angan Saudara Oesman Effendi masih dipengaruhi oleh pandangan visual-matematik. Bentuk pernyataannya adalah membangun ruang menurut susunan garis matematik (ilmu pasti). Ini bisa dimengerti karena Saudara Oesman Effendi asalnya adalah seorang ahli bangunan. Ia amat tertarik kepada objek yang bisa dinyatakan dalam bentuk susunan matematik misalnya, kembang yang sudah mengandung susunan konstruktif dalam warna dan garis.

Keinginan dia ialah menciptakan ruang dari tiap-tiap objek yang dihadapi, tapi ia selalu terhambat oleh pandangan susunan konstruksi. Misalnya dalam lukisan perahunya (nomor 25, 26, 27) dia terlalu tercengkam oleh pengertian-pengertian matematik sehingga terasa betul daya membentuknya (menyusun menurut konstruksi). Daya visual disini hilang, karena efek yang harus memberikan kesan pada lukisan tersebut tidak diletakkan kepada bentuk dari objek lukisan tersebut, tetapi didasarkan kepada susunan komposisi secara konstruktif. Melihat lukisan itu kita lupa kepada perahu yang menjadi objek. Tidak timbul pertanyaan pada kita terhadap perahu itu, misalnya memberi pengertian apa perahu itu terhadap kehidupan kita? Kita hanya dicekau oleh susunan konstruktif dari garis, warna, dan bidang, yang hanya mengesankan rasa keindahan suatu komposisi saja.

Seni Sebagai Didikan dan Bahan Teladan

Ketidakpuasan karena berhenti didalam soal keindahan saja juga terasa oleh Saudara Oesman Effendi. Ini bisa kita lihat dari lukisan-lukisannya. Oesman masih mencoba mencari dasar-dasar keharuan kepada segi yang lain. Misalnya hubungan dia dengan kemasyarakatan dapat kita lihat dari beberapa pokok lukisannya: Ibu dan Anak, Gerobak Depan Pagar, Serambi Muka, Djalan Pinggir Kampung, Taman Dibelakang Pagar, Djemuran.

Tapi tangkapan dia terhadap objek sosial ini masih berupa pandangan terhadap alam; hanya mencari suasana dan iklim. Dan apa yang dapat direnggutkan dari suasana dan iklim ini ialah individualitet (keaslian si seniman) dan ciri-ciri dari alam itu sendiri (keindahan, keagungan, kegaiban).

Dalam masyarakat manusia membawakan rasa kehidupannya sepanjang apa yang dialami, misalnya bekerja, berjuang, kepahlawanan, sedih, gembira, cinta serta keinginan-keinginan lainnya. Bukankah ini semua merupakan bahan-bahan untuk membawa orang kepada keharuan? Dan rasa semua ini bukan timbul karena insting (naluri), tapi justru karena intuisi, yakni perasaan-perasaan yang tumbuh disebabkan pengalaman. Dari itu kita harus banyak memberikan kesempatan pada manusia untuk menumbuhkan rasa intuisi ini, melalui pengalamannya sendiri atau didikan kerohanian.

Dan tugas seni dalam hal ini adalah selain membawakan bentuk keindahan, juga memberikan santapan kerohanian untuk mendidik rasa intuisi manusia di dalam kehidupannya sehari-hari. Manusia harus dapat merasakan cinta, bertekun kepada pekerjaan, terharu terhadap perjuangan dan kepahlawanan.

Persoalan-persoalan ini lah yang belum digali oleh alam pikiran Saudara Oesman Effendi dalam seninya, padahal dalam rasa ia sudah mempunyai persentuhan dengan segi kesosialan. Hendaknya Saudara Oesman Effendi meneruskan usahanya dengan tidak hanya mengenal bentuk-bentuk kehidupan saja, akan tetapi terus menjelajah ke dalam sumber-sumber kehidupan tersebut, sehingga dia tahu, bahwa kerja adalah kemenangan manusia dan pekerja adalah pahlawan dari dunia.

Milles, yang dikagumi oleh van Gogh dan Robin, pematung yang bikin patung Penduduk Dari Calais, mempunyai pokok pikiran sosial ini di belakang keindahan seninya, yaitu kepercayaan sosial dan enthousiasme sosial untuk manusia.