Sumber: Indonesia, Nomor Bali, hlm. 7-8.
Yang hendak saya tulis tentang Bali ialah suatu pendapat atas kesan-kesan yang saya alami selama berada di sana, bukan suatu penyelidikan berdasarkan patokan-patokan ilmu pengetahuan.
Jarang sekali orang mengemukakan daerah Bali atas dasar yang jujur. Mereka kebanyakan memperkenalkan Bali sebagai objek yang dapat menguntungkan.
Umumnya orang datang di pulau Bali sebagai pelancong dengan sikap rasa tinggi hati (humbug) dan hendak mencari kenikmatan dari apa-apa yang ada di Bali. Mereka berhadapan dengan orang-orang Bali tidak sebagai manusia berhadapan dengan manusia. Dengan cara begini sampai sekarang pulau Bali masih merupakan suatu konsumsi yang bersifat atraktif. Misalnya orang-orang yang datang bukan hendak menemukan sesuatu kehidupan dengan manusia dan alamnya, akan tetapi mereka ingin melihat seorang penari, pelukis dan lain-lain yang menarik hati. Seniman-seniman asing pun yang menetap di sana bekerja sebagai seorang charlatan, seorang yang menggunakan kesenangan-kesenangan umum (mengeksploitir kesenangan-kesenangan publik). Bonnet misalnya masih menggambar orang yang berpakaian artistik membawa ayam aduan. Le Mayeur menggambar seorang penari legong. Hanya seorang pelukis Swiss; Theo Myer, yang hidup sebagai dia di tengah orang-orang Bali. Apa yang dikemukakannya, ialah pendapatnya tentang Bali. Dia tidak melayani publik.
Yang lebih merusak lagi ialah K.P.M. dengan propagandanya serta posternya tentang Bali dan pertunjukan-pertunjukan yang diselenggarakan untuk keperluan para pelancong.
Pulau Bali amat dipergunakan (uitgebuit dan geexploiteerd) untuk keperluan turisme. Ini membawa pengaruh buruk kepada jiwa orang Bali, karena apa yang bisa dipakai untuk menyenangkan para pelancong itulah yang dianggap berlaku dan berguna. Sekarang orang Bali ada dalam alam pikiran, bahwa mereka telah berbuat baik terhadap dunia karena dapat mengadakan suatu kefaedahan berupa konsumsi. Dan oleh sebab ini banyak seniman-seniman dengan tidak diyakini menjadi leveransir dari konsumsi tersebut. Ratusan togog (patung dari kayu) dibikin untuk keperluan perusahaan yang melayani para pelancong. Lukisan dibuat menurut kesenangan publik. Kain ditenun untuk memenuhi permintaan toko kesenian.
Kefaedahan yang bersifat atraktif ini selalu disanjung-sanjung oleh para exploitan, sehingga oranng Bali manja oleh karenanya dan berpegang teguh sampai tidak mau merubah sikap hidupnya, takut akan tidak dapat pengakuan lagi dari dunia.
Yang lebih menyukarkan lagi untuk mengadakan kesadaran terhadap sanjungan-sanjungan yang membekukan ini adalah susunan masyarakat mereka. Susunan masyarakat Bali masih ada dalam alam feodal dengan perbedaan yang amat besar dalam lapangan perkembangan kehidupan antara yang berada dan tidak berada. Pihak yang tidak berada harus selalu menerima barang sesuatu yang dilimpahkan kepadanya dari yang lebih tinggi kedudukannya dan berkuasa. Pihak yang berada mati dalam kenikmatan. Dan keadaan yang enak ini kukuh dipagari oleh adat istiadat supaya tidak terganggu.
Selain dari itu cara hidup orang-orang Bali yang bercorak agraris yang masih mengikatkan diri kepada alam memberi mereka sikap pandangan hidup statis terhadap pertumbuhan dunia yang kini bergerak secara dinamis.
Dapat dikatakan masyarakat Bali ada dalam keadaan beku (decadent). Mereka hanya indah sebagai barang kuno, tetapi tidak memberi sumbangan nafsu hidup baru kepada dunia. Barang-barang yang masih mempunyai gaya hidup (semacam seni tari, seni suara, lukisan) jatuh dalam pengulangan-pengulangan saja. Jika diadakan percobaan di lapangan ini, bukan karena ada jiwa baru sedang berkembang, tapi hanya berupa perubahan-perubahan teknis belaka.
Banyak orang-orang Eropa atau bangsa asing memuji pergaulan hidup orang-orang Bali, karena dengan berdiam di Bali mereka bisa hidup sebagai penonton saja dan dengan cara begini mereka bisa melarikan diri dari proses evolusi dunia. Oleh orang-orang ini selalu didengung-dengungkan bahwa Bali harus tetap sebagai sediakala, tidak usah ikut serta dalam peredaran dunia, karena jika Bali berubah mereka akan kehilangan sebuah reservaat, tempat untuk melarikan diri.
Apakah ini adil dari dunia untuk mendiamkan Bali seperti sediakala, mengasingkan Bali dari peredaran?