PERPUSTAKAAN FILM

Sumber: Indonesia, No. 3, Tahun V, Maret 1954, hlm. 103-107.

Kalau film “Pareh” atau “Terang Boelan”, yang masing-masing dibuat pada tahun 1934 dan 1937, diputar sekarang di depan pemuda-pemudi kita yang masih duduk di bangku S.M.P., sangat mungkin mereka akan heran melihat aspek-aspek hidup pada tahun-tahun tersebut yang sedikit-banyaknya dicerminkan kedua film itu. Kalau film “Melati van Djava” yang dibuat kira-kira tahun 1928 diputar sekarang, banyak diantara Angkatan ’45 yang masih merangkak atau belajar jalan pada masa itu akan heran juga melihat bagaimana umpamanya caranya orang berpakaian dan bergaul pada waktu itu. Mereka akan melihat, bahwa percintaan antara pemuda dan pemudi tidak dimulai di gedung bioskop atau waktu pulang dari sekolah malam-malam seperti sekarang, melainkan di sawah atau di tempat yang tersembunyi di belakang rumah dengan cara diam-diam.

Bagaimana cara hidup, perhubungan sosial, kegiatan-kegiatan dalam lapangan kebudayaan, politik dan sebagainya pada masa sebelum perang, kita hanya tahu sedikit-sedikit dari buku-buku roman, majalah-majalah yang masih ada atau secara lisan. Tetapi bagaimanapun juga, gambaran atau bayangan yang diberikan laporan-laporan tertulis atau lisan ini tentu mempunyai bentuk atau tafsiran bermacam-macam pada tiap-tiap pembaca yang tidak pernah mengalami hidup sebelum perang. Disinilah letaknya perbedaan yang hakiki antara pencatatan pena dengan pencatatan film yang memberikan gambaran visual dan lebih teliti daripada catatan seorang pelukis yang mengabdikan keadaan sesuatu aspek hidup bagi generasi kemudian dalam lukisan.

Melihat pesatnya berlakunya modernisasi pada abad atom ini dan mengingat betapa cepatnya bangsa kita meniru dan mencernakan unsur-unsur baru yang datang dari luar, maka adalah suatu imperative untuk selekas mungkin mengadakan pencatatan visual dari berbagai aspek-aspek hidup yang masih terdapat di tanah air kita, sebelum aspek-aspek ini lenyap dihanyutkan oleh modernisasi yang berlaku makin lama makin pesat. Pernah seorang kawan dari seberang, yang untuk pertama kalinya melihat tari serimpi di Jawa, mengatakan, bahwa mungkin tarian yang indah itu sudah lenyap sebelum ada lima persen dari penduduk daerah seberang mengetahui —jangankan melihat, bahwa ada tarian yang begitu indah di Jawa.

Saya tak dapat menyebut kawan ini seorang pesimis, melihat cepatnya modernisasi yang berlaku sekarang dan sedikitnya perhatian generasi baru terhadap kebudayaan lama.

Tidak mustahil pula, bahwa penduduk Prancis akan lebih dulu melihat tari Bali daripada umpamanya penduduk pedalaman Sumatera atau Kalimantan, karena ahli-ahli film Prancis telah membuat film dari pertunjukan tarian Bali yang juga mengunjungi Paris pada permulaan 1953.

Sangat mungkin juga penduduk negeri Belanda akan lebih dulu melihat tarian “Shiva” Jodjana, karena Jajasan Kerdjasama Kebudajaan Indonesia-Belanda sudah mendahului kita membuat film dari ciptaan penari Indonesia yang terkenal itu. Dan kalau kita hendak melihat tari Bali yang lengkap atau tari “Shiva” dari Jodjana, kita terpaksa meminjamnya dari luar negeri. Bagaimana pula andaikata tarian Jodjana itu tidak diabadikan? Tentu ciptaan Jodjana akan hilang pulalah bagi kita untuk selama-lamanya. Ini adalah hanya beberapa contoh saja. Di seluruh Indonesia tidak terhitung kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan pencatatan dengan film yang bukan berguna untuk dokumentasi saja, melainkan pula untuk penyelidikan etnologis, sosiologis, arkeologis, historis, dan sebagainya. Dalam hal ini kita dapat bercermin pada Rusia yang secara sistematis membuat film-film dokumenter dari kota-kota, desa-desa, adat-istiadat dan cara-cara hidup aneka-warna bangsa yang tinggal di wilayah Soviet Rusia.*) Pencatatan visual ini dipergunakannya untuk mempelajari dasar-dasar yang sesuai bagi pemerintahan daerah-daerah otonom masing-masing. Suatu contoh yang baik untuk mempelajari berbagai suku bangsa sebagaimana terdapat di tanah air kita. Banyak negeri-negeri di Eropa dan di Amerika yang telah meniru contoh yang baik ini.

Setelah David Wark Griffith, seorang sutradara Amerika, pada tahun-tahun permulaan abad ini menemui dan mempergunakan hasil-hasil baru dalam lapangan film, berkembanglah film sebagai cabang seni yang baru dan sangat dinamis dengan kepesatan yang belum pernah dialami cabang seni manapun dalam sejarah. Dengan sangat pesat film diakui sebagai seni dan dapat merebut tempat terkemuka di barisan cabang-cabang seni lainnya.

Dilihat dari sudut seni boleh dikatakan, bahwa pada umumnya perkembangan film berjalan pesat kira-kira tahun 1930. Di Jerman seni film mencapai puncaknya sebelum kekuasaan kaum Nazi dan di Rusia sampai kira-kira tahun 1930. Antara tahun 1930 dan selama puncak kekuasaan kaum Nazi sebelum perang, berkembanglah penyempurnaan teknik dan organisasi film, terutama di Amerika yang merebut pasaran-pasaran yang dulu dikuasai oleh Jerman. Pada masa ini jugalah paling jelas nampak sifat komersil dari film. Modal-modal raksasa menguasai Hollywood. Tetapi masa ini pulalah permulaan mundurnya mutu seni dari film, karena kaum pengusaha film sudah lebih cenderung memperlihatkan sifat komersil dari film daripada sifat seninya. Mulailah Amerika dengan produksi besar-besaran dari film “box-office” yang membuat uang mengalir begitu banyak dan deras ke dalam kantong kaum pengusaha, hingga industri film merupakan industri nomor tiga di Amerika. Bukan lagi sutradara atau penulis skenario yang menentukan corak film, melainkan pedagang-pedagang besar. Dengan hilangnya kemerdekaan sutradara, hilang pulalah sifat seni dari film.

Maka tidaklah mengherankan bahwa seniman-seniman film yang masih jujur, terutama di Eropa, dan melihat perkembangan yang tidak sehat itu mengadakan reaksi untuk devaluasi seni film ini. Kehausan melihat film-film yang bernilai menimbulkan gerakan mengumpulkan film-film seni lama, memperlipat-gandakannya, membuat film seni baru dan mempertunjukkannya kepada kalangan terbatas yang masih cinta pada seni film. Dengan demikian dapatlah dipelajari kembali seni film lama dan diajarkan pada generasi baru dan dengan demikian memperluas lapangan film yang bermutu seni dan mencegah pendangkalan.

Mungkin karena pendangkalan itu lebih cepat terasa di Amerika, maka juga inisiatif untuk mendirikan perpustakaan film internasional datang dari The Museum of Modern Art Film Library di New York pada tahun 1938. Bersama-sama dengan The National Film Library di London, Die Reichsfilmarchive di Berlin dan La Cinémathèque Française di Paris, didirikanlah Fédération Internationale des Archives du Film (International Federation of Film Libraries) yang berpusat di Paris.

Pada dasarnya usaha perpustakaan ini tidak berbeda dengan perpustakaan biasa. Perbedaannya hanyalah, bahwa perpustakaan film ini terutama mengumpulkan film-film (filmarchief) dan menyimpannya, sedangkan perpustakaan biasa adalah mengumpulkan buku-buku. Dengan adanya perpustakaan film ini, maka dapatlah disimpan berbagai film dari berbagai negeri dan film-film itu dapat dipinjamkan pada badan-badan yang membutuhkannya. Badan-badan yang umpamanya selalu mengadakan hubungan dengan Federasi Internasional Perpustakaan Film adalah Fédération Internationale du Cinéma Ethnographique, Fédération Internationale du Cinema Scientifique dan Association Internationale du Film Individuel. Tetapi dibentuk pula di kantor pusat di Paris sebuah kantor, yakni Bureau Internationale de la Recherche Historique yang bertugas mengadakan penyelidikan-penyelidikan mengenai sejarah seni film, mengumpulkan bahan-bahan dan buku-buku mengenai sejarah seni film.

Sebagaimana telah nyata jelas dari namanya, keanggotaan perpustakaan ini adalah bersifat internasional. Semua negara boleh menjadi anggota dan jumlah anggota dari sesuatu negara tidak dibatasi. Artinya: baik yang resmi, maupun partikelir boleh menjadi anggota, asal sifat perpustakaan itu tidak komersil, melainkan semata-mata kultural. Dalam negeri sendiri perpustakaan-perpustakaan ini mempunyai tugas murni, yakni memelihara perpustakaan seni film dan memperkenalkan pada khalayak ramai ciptaan-ciptaan seni film yang dihasilkan oleh seni film internasional serta memberikan keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk pada mereka yang berminat hendak mempertinggi mutu film.

Pada umumnya perpustakaan-perpustakaan film ini mendapat sokongan dari pemerintah, lebih-lebih karena tujuannya adalah juga untuk negara dan di negeri-negeri Eropa Timur umpamanya perpustakaan-perpustakaan itu memang merupakan badan-badan resmi.

Sebagaimana kita terangkan di atas badan yang selalu berhubungan erat dengan Federasi Internasional Perpustakaan Film adalah Association Internationale du Film Individuel. Pembentukan Liga Film pertama pada tahun dua puluhan di Prancis adalah juga sebagai reaksi terhadap film-film yang buruk, terutama dari Amerika. Dan pada hakekatnya pembentukan perpustakaan-perpustakaan film adalah konsekuensi dan kelanjutan usaha Liga Film. Maksud Liga Film ini adalah untuk mempertunjukkan film-film yang bermutu seni pada anggota-anggotanya. Karena sifatnya tidak komersil, maka film-film yang dipertunjukkan itu tidak dikenakan pajak oleh yang berwajib. Dengan adanya Liga Film yang menjadi anggota dari Federasi Internasional Liga Film, maka dapat diadakan pertukaran film diantara berbagai negeri yang mempunyai perpustakaan film. Nyatalah, bahwa hubungan antara Liga Film dan Perpustakaan Film sangat erat. Di Jakarta sudah ada suatu Liga Film, tetapi perpustakaan belum ada. Dengan demikian Liga Film Djakarta untuk sementara hanya baru dapat meminjam film, tetapi belum sanggup meminjamkannya pada negeri lain. Suatu kepincangan yang selekas mungkin harus diatasi.

Terlebih-lebih Indonesia yang terlalu banyak dibanjiri oleh film-film Amerika yang biasanya tak ada hubungannya lagi dengan seni dan terlalu sedikit mendapat kesempatan melihat film yang bermutu seni, baik yang baru, maupun yang lama, perpustakaan dan Liga Film ini sangat perlu. Sebab hanya dengan demikian kita dapat memupuk rasa seni dan mendidik tenaga-tenaga baru untuk seni film. Dan inilah salah suatu jalan untuk menembus isolasi yang sampai sekarang merintangi kita berkenalan dengan seni film luar negeri yang tinggi mutunya. Boleh dikatakan, bahwa di tiap-tiap kota di Eropa sudah terdapat Liga Film yang tergabung dalam Federasi Internasional Liga Film. Bukanlah suatu kemewahan jika tiap-tiap kota besar di Indonesia mempunyai Liga Film.

Untuk mencapai maksud ini, maka adalah sangat perlu dan urgent, bahwa kita mendirikan dulu suatu perpustakaan film (filmarchief). Karena soal film juga termasuk dalam rangka usaha Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, maka alangkah baiknya jika badan ini segera mengambil langkah ke arah pembentukan perpustakaan film yang dimaksud dalam kerjasama dengan Masjarakat Seniman yang baru didirikan di Jakarta. Dan setelah perpustakaan itu didirikan, segera mengadakan hubungan dengan Federasi Internasional Perpustakaan Film. Inilah yang dapat dikerjakan dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang bantuan yang dapat diharapan dari Federasi Internasional Perpustakaan Film adalah tenaga-tenaga teknik untuk pembuatan film-film dokumenter atas dasar non-commercieel. Dalam pada itu B.M.K.N. dalam kerjasama dengan Masjarakat Seniman perlu menganjurkan pada pemerintah untuk memuat dalam undang-undang film peraturan-peraturan yang menetapkan pembelian dan pengumpulan film-film dalam negeri yang mengandung sifat dokumenter serta peraturan-peraturan yang menetapkan pembebasan pajak atas film-film yang tidak bersifat komersil.

*) Maksudnya adalah Uni Soviet, karena Soviet-Rusia hanyalah sebagian kecil saja dari Uni Soviet.