CERAMAH AFFANDI DI SORBONNE

Sumber: Budaya, No. 5/6, Mei/Juni 1953, hlm. 17-23.

Sejak awal tahun 1950 pelukis Affandi telah bertolak keluar Indonesia dan selama di India telah mengadakan eksposisi-eksposisi.

1 ½ tahun yang lalu ia telah berada di Eropa dengan mengadakan eksposisi-eksposisi di kota-kota London, Den Haag, Brussel. Sambutan kritikus-kritikus Barat umumnya hangat dan besar; Affandi yang dapat menggetarkan jiwa Barat dan Timur dan Affandi yang dapat membawa kesegaran pada seni lukis Barat yang dalam jalan buntu.

Kebesarannya ditarafkan dengan kebesaran pelukis-pelukis Eropa, seperti Kokoschka, van Gogh, dan lain-lain. Dan akhir-akhir ini, di “Galerie Mirador” Paris (20 Januari-5 Februari 1953) ia telah mengadakan eksposisi pula sejumlah 20 lukisan-lukisan terpilih yang dibuatnya di Indonesia, India maupun di Eropa. Sesudah Paris ia akan bereksposisi di kota Roma, juga untuk mempelajari seni patung dan fresco di sana.

Oleh “Cercle Paul Valéry” yang merupakan sebuah debating club untuk “etudes esthetiques” dan dipimpin oleh pemuka-pemuka dunia seni dan perguruan tinggi di Paris, ia diminta mengadakan ceramah di depan umum sesudah eksposisi lukisannya terutama untuk anggota-anggota Cercle Paul Valéry tersebut di gedung Sorbonne.

Di bawah ini kami muat ceramah itu, dimana dikemukakannya pendirian-pendiriannya tentang kesenian dirinya, maupun kritiknya terhadap seni barat.

 Redaksi

*

 

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya.

Sebelum saya bicara tentang kesenian saya, baiklah lebih dulu saya katakan bahwa saya terpaksa menggunakan bahasa Inggris karena saya tidak dapat berbicara Prancis. Semoga para hadirin sekalian dapat mengikuti saya.

Apa yang akan saya perbincangkan disini, adalah berdasarkan pengalaman dan tidak mempunyai latar belakang intelektualistis. Saya seorang pelukis otodidak. Sekolah kesenian yang pertama, baru dua tahun yang lalu didirikan di Indonesia, sehingga pada saya tidak ada dasar-dasar intelektualisme. Saya bukan seorang yang pintar dan saya takut membaca buku-buku. Begitulah segala hasil kerja saya berdasarkan emosi dan intuisi saja.

Kalau saya hendak melukis sesuatu, terlebih dahulu saya mempelajari subyek yang akan dilukis. Sebagai sebuah contoh saya ambil lukisan yang saya buat di Place Pigalle. Subyeknya adalah “café”. Setiap hari saya datang ke café itu dan berhari-hari saya duduk di situ di antara orang banyak sambil minum-minum untuk meresapi suasana penghidupan dari café. Saya tidak membuat skets-skets. Saya hanya mempergunakan perasaan dan mata untuk mempelajari subyek itu. Sesudah seminggu ataupun kadang-kadang sebulan lamanya —dan inipun kalau saya telah mendapat sesuatu pada subyek itu— barulah saya mulai melukis. Tentu banyak orang berkerumun mengelilingi saya, tapi ini tidak mengganggu saya, sebab bagi saya orang banyak itu sebagai udara biasa. Emosi untuk menyelesaikan lukisan saya itu tidak lama berlangsung. Kira-kira antara dua jam saja. Dan bila saya merasa bahwa emosi itu sudah berkurang dan menjadi lemah, dan saya mulai terikat oleh pikiran-pikiran yang intelektualistis, saya berhenti melukis. Biasanya pada detik yang demikian keadaannya lukisan saya selesai sudah.

Cara melukis yang begini berbeda dengan yang biasa. Saya tidak menggunakan palet. Warna-warna saya plotot dari tube langsung ke kanvas, dan menyapunya dengan tangan atau penseel. Saya lebih suka mempergunakan tangan, sebab tangan lebih banyak perasaannya daripada penseel. Kalau saya memakai palet itu berarti saya harus mencampur warna di palet, dan itu berarti bagi saya kehilangan waktu dan mengganggu emosi. Sebenarnya saya bisa merasakannya dengan pakai tangan, warna-warna mengalir melalui setiap jari. Cara melukis yang begitu itu bukanlah karena sebuah kebiasaan, tetapi itu adalah hasil pengalaman-pengalaman saya yang sewajarnya. Dan lagi pun tak pernah saya mendapat didikan seni lukis, dan ini pulalah tentu sebabnya saya tidak memakai cara-cara teknik yang biasa dipakai. Barangkali bisa dikatakan, saya sudah salah semula, dan akan berakhir salah pula.

Sudah tentu ada macam-macam jalan untuk mendekati setiap subyek. Itu tergantung pada apa yang saya lihat dari subyek. Ada emosi sedih sebagai yang saya lukiskan pada lukisan “Semut lumpuh” dan “Mata-mata”. Sebagai contoh, satu pagi ketika saya hendak ke kamar kecil, saya lihat seekor semut lumpuh. Saya menjadi sangat terharu melihatnya. Saya tak tahu siapa yang memijaknya dan mungkin saya sendiri. Terus saja saya lukis semut itu di kamar kecil itu juga. Sekarang mengenai lukisan “Mata-mata”. Saya lihat subyek ini di dalam zaman revolusi di negeri saya, ketika saya masih dalam ketentaraan. Saya berhadapan dengan seseorang laki-laki yang dipukuli beramai-ramai oleh rakyat, dan kemudian barulah diserahkan pada tentara. Mereka katakan bahwa laki-laki itu seorang mata-mata musuh. Tidak, bagi saya tidak menjadi soal apakah orang itu bersalah atau tidak, tapi yang nyata ialah, bahwa saya berhadapan dengan seorang manusia yang sedang menderita. Lantas saya lukiskan hal itu.

Emosi lain ialah emosi yang berbahagia. Dapat dilihat dalam lukisan “Kartika”, anak gadis saya sendiri. Saya peroleh lukisan ini dalam rasa kasih sayang, sebab Kartika seorang gadis manis, dan selain ini juga emosi cinta seorang bapak. Banyak orang bilang saya memilih subyek yang jelek-jelek atau yang sedih-sedih. Itu tidak benar dan di lukisan “Kartika” itu telah saya buktikan, bahwa saya juga suka pada yang indah.

Setiap orang mempunyai emosinya masing-masing. Emosi saya berkembang dari hari ke hari sebagai saya rasakan bila saya mulai dengan sebuah lukisan baru. Dan bila saya mulai dengan sebuah lukisan baru, seluruh emosi saya keluarkan, sehingga bila lukisan selesai, itu berarti bahwa seluruh emosi saya telah habis. Saya merasa letih, lemas, dan kosong kemudian. Dan jalan sebaiknya ialah pergi tidur, beristirahat.

Banyak macam emosi-emosi itu: sedih, bahagia, marah, heran, dan seterusnya. Biarlah saya ceritakan tentang sebuah lukisan saya yang dibuat dalam emosi kemarahan. Lukisan itu saya buat di London dan bernama “Diketjewakan polisi”. Begini ceritanya. Saya sedang melukis di sebuah park, ketika datang seorang polisi dan mengusir saya dari situ sebab saya tidak dapat izin melukis di sana. Peristiwa yang sangat menyedihkan! Lukisan saya waktu itu sudah hampir selesai, maka emosi saya lekas berubah jadi perasaan marah. Lukisan yang belum selesai itu saya rusak-rusak, dan setiba saya di rumah, perasaan marah saya masih menyala-nyala. Dan ketika saya cuci tangan, saya melihat ke cermin. Dan saya lihat ekspresi muka saya sebagai sebuah subyek yang baik.

Sebuah lukisan lain “Gunung-gunung di Djardjili” dibuat dalam rasa heran. Gunung-gunung yang tinggi besar itu menjelma bagi saya sebagai setan-setan, yang mau menelan seluruh gubuk-gubuk kecil penduduk gunung. Juga pohon-pohon kelihatan seperti itu. Kalau gunung-gunung kelihatan sebagai setan, ini tak berarti bahwa saya membuat bentuk-bentuk setan menggantikan gunung; dan maksud saya dengan pohon yang sedih bukanlah pohon-pohon yang mengeluarkan air mata, tapi saya semata-mata mau menitikberatkan emosi saya yang diisi perasaan-perasaan itu total atau seluruhnya ke atas kanvas. Warna-warna saya sapu dengan buas dan marah, hingga kadang-kadang kejadian kain kanvas jadi sobek karenanya.

Sekarang saya akhiri soal emosi dan saya mulai soal intuisi. Setiap orang juga punya intuisinya masing-masing dan otaknya. Saya tak bisa banyak katakan mengenai intuisi, sebab sampai sekarang ini masih tinggal sebuah problem bagi saya yang harus saya pecahkan sendiri atau dengan pertolongan orang lain. Sebab saya suka memupuk intuisi saya; Memupuk otak gampang, kita pergi ke sekolah. Tapi bagaimanakah saya dapat memupuk intuisi? Saya sadar akan ini, bahwa bila banyak lukisan-lukisan kurang baik, ialah disebabkan kekurangan intuisi itu. Lukisan-lukisan yang seperti itu hanya punya ekspresi, tapi lemah strukturnya. Bila intuisi kuat, hasil lukisan menjadi ekspresif, selain itu juga cukup kuat dalam struktur. Lukisan yang beginilah yang saya mau. Dalam lukisan saya tak suka menggunakan intelek karena dua sebab. Pertama, saya tak suka pada seni yang intelektualistis, sebab ini umumnya kehilangan spontanitit. Dan sebab kedua, karena saya seorang yang bodoh, begitu bodohnya hingga tak sanggup menamatkan sekolah menengah saja.

Sekarang saya ingin membicarakan tentang pengalaman-pengalaman saya dalam kesenian. Banyak pengalaman-pengalaman saya, tapi akan saya ambil beberapa saja yang lucu. Di negeri saya, saya mendirikan 3 buah gabungan seni. Yang terpenting dari gabungan-gabungan itu ialah “Pelukis Rakjat”. Saya memberi latihan-latihan seni pada anak-anak muda; dan pada teman-teman saya berikan kesempatan bekerja di lapangan seni dan menyelenggarakan eksposisi-eksposisi. Sebab saya merasa juga ikut bertanggung jawab atas perkembangan kesenian di negeri saya. Gabungan kami telah mengadakan banyak eksposisi, tidak saja mengenai lukisan-lukisan, tapi kadang-kadang juga eksposisi gambar anak-anak sekolah. Eksposisi kami adakan tidak saja di kota-kota besar, tapi juga di kota-kota kecil. Kami mau rakyat jadi seni-minded dan membuat seni itu jadi kepunyaan rakyat. Setiap hari ratusan rakyat mengunjungi eksposisi. Yang paling lucu ialah mengenai rakyat yang tak berpendidikan yang juga mengunjungi eksposisi itu. Golongan rakyat ini umumnya tertarik pada lukisan, sebab si seniman memilih subyeknya dari hidup sehari-hari, dan golongan rakyat bawahan itu merasa dirinya terlukis kembali dalam lukisan-lukisan itu.

Ada kejadian-kejadian lucu sekitarnya. Salah seorang bertanya pada saya: “Mas Affandi! Apakah lukisan ini dijual?” Saya jawab, “Ya, dan lukisan ini sudah terjual seharga Rp. 150.” Orang itu jadi kaget lalu berteriak, “Terjual 150 rupiah! Aneh betul, yang dilukis seekor kerbau saja, sedang orang bisa beli satu kerbau hidup kurang dari 150 rupiah!”

Sampai sekarang di negeri kami belum ada seni-abstrak. Ini sangat menguntungkan buat rakyat di negeri saya.

Pada zaman revolusi di tahun 1946 ketika Republik Indonesia diblokade musuh, rakyat kami —yang sebenarnya saja— dalam keadaan setengah telanjang, sebab kami kekurangan makanan, pakaian dan segalanya. Saya sedang melukis di sebuah pasar. Yang menjadi subyeknya adalah rakyat yang telanjang tadi; seorang pemuda mengomel, “Pelukis itu edan, Rakyat telanjang dan dia melukis di atas kain (kanvas), lagipun lukisannya jelek tak dapat dimengerti.” Si anak muda tadi melempar saya dengan kotoran yang mengotorkan kanvas. Waktu saya dengar ini, saya merasa malu benar, lekas-lekas lukisan saya turunkan dan pergi dari situ. Dalam hati saya berpikir, bila nanti terjadi revolusi dan rakyat menyerbu rumah saya, mengambil semua lukisan-lukisan saya untuk memakai kanvas-kanvas itu sebagai kain, saya tidak punya alasan membela diri.

Di Indonesia saya menyewa rumah seorang Islam-ortodok. Tentu lukisan-lukisan saya semuanya saya gantungkan di dinding. Si empunya rumah tak mau bertamu ke rumah saya, disebabkan lukisan-lukisan yang penuh bergantungan di dinding itu. Buktinya bahwa orang Islam-ortodok tak suka pada kesenian.

Sekarang saya berada di Eropa dan sudah tinggal di sini selama satu setengah tahun. Banyak sudah yang saya lihat. Tapi dengan terus terang saya katakan bahwa saya kecewa atas apa yang sudah saya lihat di negeri Barat ini. Waktu saya masih berada di Indonesia saya banyak sekali mendengar tentang Barat melalui penyiaran-penyiaran buku-buku kesenian. Waktu itu saya baru melihat reproduksi-reproduksi saja, belum pernah melihat orisinilnya. Kesenian Eropa terlalu dianjung tinggi hingga saya mendapat gambaran yang agak tinggi dari seni Barat. Sesudah saya sampai di sini dan setelah melihat sendiri, saya merasa kecewa, sebab saya mengharapkan lebih dari apa yang saya dapati.

Sebagai pernah saya ceritakan, saya sudah ke India dan sudah melihat seni patung dan seni lukisan. Dan kalau saya bandingkan seni patung yang saya lihat di India dengan yang di negeri Barat ini, saya berpendapat begini. Ketika saya melihat seni patung India saya amat takjub dan kagum sebab hasil seninya langsung berkesan pada saya. Tapi bila saya melihat sesuatu hasil seni Eropa yang baik, kesan yang pertama saya terima ialah tekniknya. Ambillah sebagai contoh, seni pahat Rodin. Kesan saya ialah, betapa pintarnya dia, betapa reël dan naturalistisnya ia menguasai bentuk. Tapi bila semua hal-hal tersebut saya lupakan, barulah terlihat oleh saya isi seninya. Jadi untuk mengerti ketinggian nilai seni Rodin sangat lama makan waktu, sedang pada seni India impresi itu demikian besarnya, hingga bagi saya tak ada waktu untuk melihat kepintaran dalam soal-soal bentuk atau hal-hal lain.

Sekarang akan saya bentangkan pendirian saya tentang hidup dan kesenian. Saya tidak suka pada zaman yang telah lalu, dan tidak ambil pusing pada zaman yang akan datang. Buat saya yang sekaranglah soal yang terpenting; karena itulah saya mau bekerja, bertindak dan berbuat segala-galanya dalam hubungannya dengan yang sekarang. Apa hasilnya akan berguna buat yang akan datang, itu tak saya acuhkan. Saya tak suka pada yang telah lalu, sebab ini dapat membuat saya lemah dan jadi lebih malas. Kalau kita memikir-mikirkan yang akan datang, ini artinya membuang-buang waktu saja. Dan untuk hari yang akan datang, ini saya serahkan pada angkatan yang akan datang. Kalau saya bilang yang sekarang, saya maksud waktu sepanjang saya masih hidup. Teranglah bahwa bagi saya yang sekarang lebih penting daripada yang akan datang, lebih penting dari yang telah lalu.

Pendirian saya tentang keaktifan sudah saya bentangkan dan sekarang akan saya bicarakan tentang rasa. Saya pencari peri-kemanusiaan. Mungkin “peri-kemanusiaan” disini tidak tepat. Maksud saya ialah semua yang benar dan baik bagi setiap mahluk yang hidup. Saya dapat melukis atau menggambar, dan dengan lukisan atau gambar, saya mau mengeluarkan perasaan-perasaan saya pada manusia. Tapi bila saya bukan seorang pelukis, dan misalkan saya seorang sopir taksi, saya akan menunjukkan perasaan kemanusiaan saya dengan menyupir taksi. Saya tak tahu bagaimana mengutarakannya tapi teranglah bahwa saya melukis untuk kepentingan kemanusiaan dan tidak untuk kepentingan seni. Dan ini artinya, amat salah kalau orang mengatakan bahwa saya seorang seniman. Sungguh saya bukan seniman! Saya seorang manusia biasa.

Saya akan beri beberapa contoh. Kalau saya sedang melukis, dan tiba-tiba ada seorang anak kecil dekat saya menangis karena bonekanya jatuh ke dalam air, saya akan berhenti melukis dan akan menolong dulu anak itu. Sebab menurut pikiran saya, menolong anak itu adalah peri-kemanusiaan dalam bentuk yang konkrit. Sungguhpun lukisan yang sedang saya kerjakan itu sungguh-sungguh untuk kepentingan kemanusiaan, tapi tidak dalam bentuk yang konkrit. Mungkin itu jadi lukisan jelek. Contoh lain tentang teman saya Hendra. Dia juga pelukis. Pada satu hari dia minta kain isterinya yang penghabisan untuk dijadikan kain kanvas lukisan. Waktu itu rakyat di Indonesia sedang dalam keadaan telanjang di hari-hari revolusi. Saya hormati Hendra sebagai seorang seniman, tapi tidak sebagai manusia! Sebuah contoh lain, Chairil Anwar pernah melempar muka ibunya dengan sebuah buku sebab ia diganggu tengah membaca. Saya hormati Chairil Anwar sebagai seorang seniman, tapi tidak sebagai manusia!

Jadi, sebagai penutup saya katakan bahwa saya bukan seorang artist tapi sama saja dengan seorang supir taksi.