Sumber: Zenith, Tahun II, No. 11, November 1952, hlm. 518-522.
Saudara Aoh,
Jika saya ingat akan Jassin, selalu saya ingat akan rumahnya yang tidak berapa besar tapi penuh dengan tumpukan map-map dokumentasi pengarang-pengarang kita yang sedang banyak dibicarakan. Rumah itu merupakan museum secara kecil, tapi “museum” yang lebih banyak artinya bagi saya dari pada gedung arca yang setiap hari dikunjungi orang-orang.
Saya tahu bahwa tumpukan map-map itu pasti di kemudian hari —saya harapkan tidak akan lama lagi akan merupakan modal yang amat banyak artinya untuk satu museum yang lebih besar lagi. Juga seperti ini lahirnya “Museum of Modern Art” di New York dan “Musée d’Art Moderne” di Paris, walaupun lapangan perhatiannya sedikit lain.
Sekali pernah pula dibuktikan, waktu diadakannya pasar malam di Jakarta, dimana dokumentasi Jassin itu turut diperlihatkan kepada pengunjung-pengunjung tent Balai Pustaka.
Saudara tahu betapa besar perlunya. Dahulu saudara pernah bermaksud hendak membongkar Amal Hamzah. Tapi dengan sendirinya saudara menemukan kesukaran karena kurangnya sumber-sumber hingga kita terlalu banyak membuang waktu mengadakan penyelidikan. Ini juga kalau kita tidak bisa menemukan hasil yang memuaskan.
Demikian pula terjadi dengan seorang orang Inggris yang bermaksud hendak membongkar Amal Hamzah dan Chairil Anwar, untuk mencapai gelaran Doktor. (Saya merasa malu, ada seorang bangsa asing berniat semacam ini, sedang diantara bangsa kita tidak ada yang berusaha semacam itu). Entah sampai mana dia sudah dalam usahanya itu.
Alangkah baiknya jika pekerjaan seperti yang kita ketemukan di rumah Jassin itu diperluas. Maka kita akan mempunyai satu museum seperti yang sudah ada di negeri-negeri di Eropa dan Amerika itu.
Memang orang akan merasa ragu-ragu apakah yang saya maksudkan itu bisa disebut satu “museum”, seperti yang tertulis dalam prospectus pameran “1000 meesterwerken” di Amsterdam. Karena dalam kata museum itu terdapat “kejarangan/kemahalan dan kedudukannya yang teguh”.
Orang-orang dewasa ini tambah lama tambah memperhatikan kejadian sekelilingnya, juga memperhatikan hasil-hasil kesenian yang timbul pada zamannya. Baik bagi orang-orang di Eropa dan Amerika, maupun di sebelah Timur dan di tanah air kita sendiri.
Baik saya kemukakan beberapa bukti mengenai ini.
Sebelum tahun 1929 di kota yang terbesar di dunia New York, belum terdapat satu museum yang saya maksudkan di atas. Sampai tahun itu seniman-seniman harus bergembira dengan pameran-pameran atau dengan saat perkenalan yang suka dibarengi dengan pertunjukan hasil kerja seniman-seniman dewasa ini, yang diadakan secara sederhana oleh senimannya sendiri atau oleh salah satu yayasan, seperti dituliskan oleh seorang wartawan di Amerika W.F. Stoppelman.
Waktu itu ada yang mengatakan bahwa lapisan masyarakatnya masih belum mempunyai pikiran untuk memperhatikan hasil-hasil kesenian zamannya sendiri baik yang tumbuh di Eropa Barat maupun di Amerika sendiri, dan minat untuk berkenalan juga pun pada mereka belum ada.
Tapi kemudiannya timbullah beberapa pencinta seni modern yang mengumpulkan lukisan-lukisan macam-macam hasil seni dewasa ini, dan mereka bergabung serta menyewa beberapa ruangan di satu gedung yang besar, dimana mereka memperlihatkan kepada umum apa yang sedang mereka kerjakan: mengumpulan hasil-hasil kesenian zamannya.
Usaha ini disambut dengan amat meriah, hingga tidak merupakan satu upaya yang sia-sia.
Tambah lama tambah berduyun-duyun orang datang ke sana untuk melihat hasil-hasil pekerjaan van Gogh, Gauguin, Cézanne, Saurat, dan sebagainya yang sebelum itu merupakan kain-kain yang belum mempunyai harga bagi kebanyakan orang.
Dalam dua tahun pengusaha itu telah mendapatkan beratus-ratus bahan untuk koleksinya: lukisan-lukisan, potret-potret hasil arsitektur modern, hasil-hasil percetakan dan macam-macam lagi.
Tambah hari tambah banyak lagi yang memperhatikan usaha ini, hingga diperlukan satu gedung yang besar untuk tempat barang-barang ini.
Kemudian mereka mendapat sebuah gedung yang cukup besar dan modern, gedung yang tinggi bertingkat enam di satu tempat yang ramai pula.
Memang sepatutnya mereka mencari tempat ini, karena kadang-kadang dalam sehari datang sebanyak 400 pengunjung. Demikian mereka mempunyai gedung “Museum of Modern Art” dengan bantuan Rockefeller.
Beribu-ribu pemuda-pemuda datang ke tempat itu, terutama pada hari-hari libur dimana mahasiswa dan anak-anak sekolah mendapat kesempatan banyak.
Memang mereka tertarik oleh salah satu pameran yang diadakan di sana: lukisan-lukisan, patung-patung, hasil-hasil ciptaan baru, hasil-hasil kerajinan tangan dan industri, katalogus-katalogus yang datang dari negeri-negeri lain, perabot-perabot rumah tangga modern, (kursi-kursi dan sebagainya), hasil-hasil seni potret, potret-potret penari-penari dan lain-lainnya lagi.
Dan disamping itu didapatkan pula di sana hasil-hasil pekerjaan anak-anak yang suka datang ke museum itu untuk mencoreng-coreng dengan kapur dan cat air, seperti yang pernah juga kami lihat waktu berkunjung ke pameran patung-patung di Sonsbeek. Kecuali itu, banyak pula penonton yang masuk pintu ruangan gelap dimana film-film yang tak akan terdapatkan di bioskop-bioskop di luar museum itu, diputar. Alat-alat untuk yang terakhir ini didapatkan dari Film-Bibliotheek yang didirikan pada tahun 1935. Lebih dari 2 juta meter film (yang berbicara dan yang tidak) tersimpan di sana, baik yang asalnya dihasilkan di tanah Amerika sendiri maupun di negeri-negeri lain.
Museum seperti ini terdapat juga di Prancis, yang didirikan pada bulan Juni tahun 1947. Sengaja saya sebut saat berdirinya ini, karena harus diketahui bahwa belum lama usianya. Orang Eropa mengatakan, bahwa mereka terlambat mendirikan museum semacam ini.
Gedung ini dibuka oleh Pierre Bourdon, yang disebut orang, salah seorang di antara “orang-orang Prancis yang berbicara untuk bangsa Prancis” melalui corong radio London.
Museum ini sebenarnya melanjutkan pekerjaan “Musée du Luxembourg” yang dahulu didirikan atas permintaan Lodewijk XVIII dan pada tahun 1886 ditempatkan di istana Maria de Médicis.
Berdirinya Museum Seni Modern ini atas usaha Jean Cassou yang mendapat bantuan juga dari pada beberapa kawan sekerjanya, seperti yang tertulis pada sebuah katalogus museum ini: Jacques Jaujard, Georges Salles dan Bernard Dorival, seorang ahli sejarah kesenian modern yang masih muda dan yang menulis buku “Sedjarah seni lukis zaman kita”.
Museum ini merupakan satu tempat dimana hasil-hasil seni abad 20 ini (dan akhir abad ke-19) dikumpulkan, satu zaman yang menimbulkan kembali kenang-kenangan masa muda, seperti merupakan satu album-keluarga yang bercerita pada kita, menunjukkan perubahan dari masa ke masa yang bisa kita rasakan. Jean Cassou sendiri menulis, bahwa aliran-aliran baru telah menemukan kegemilangannya, membuka mata-mata yang masih diliputi kegelapan. Sudah datang waktunya, pencipta-pencipta abad ini mendapat tempat yang layak, dan untuk itu sepatutnya pemerintah mengadakan gedungnya. Seni modern, mula-mula dipandang sepi kalau tidak juga disebut-sebut sebagai barang palsu, tapi kemudiannya disambut dengan meriah. Dan Cassou berkata: dengan ini kita harus bangga karena genie Prancis dan selayaknya Prancis mempunyai Museum Nasional untuk seni modern ini. Pada hari pembukaannya Georges Salles telah mengatakan, bahwa sejak 9 Juni 1947 itu, jurang antara pemerintah dan genie di Prancis telah hilang lenyap.
Dalam mendirikan museum semacam ini tentu orang akan menemukan pelbagai kesukaran, seperti Cassou waktu mencurahkan tenaganya dalam mendirikan Musée d’Art Moderne itu. Betapa pula tidak akan demikian, dalam mengumpulkan bahan-bahan yang terserak dan tersembunyi selama bertahun-tahun, dalam waktu yang beberapa bulan saja.
Ditambah lagi dengan memecahkan soal mana yang mungkin dan dapat dipercaya dan dihargai sebagai hasil seni, dalam keadaan semacam sekarang ini, dimana banyak antaranya terdapatkan penipuan.
Pada mulanya tentu bahan-bahannya sedikit jumlahnya. Waktu museum itu masih bernama Musée du Luxembourg, di sana hanya terdapat 3 lukisan Matisse, sebuah hasil Renault; 2 buah Braque; 2 buah Léger, 2 buah Villon. Waktu itu Musée du Jeu de Paume (yang sekarang ada dibawah pengawasannya juga) hanya mempunyai satu lukisan Picasso dan 2 buah hasil kerja Chagall. Juga dengan hasil seni patung mula-mula demikian melaratnya di gedung itu. Waktu itu tidak ada sebuah juga hasil Lipchitz atau Brânscusi.
Sekarang kita bisa mengadakan perbandingan secukupnya di sana, dengan tidak usah mencari ke tempat lain.
Yang jadi perhatian Cassou, ialah lapangan seni lukis, skulptur, skulptur pelukis-pelukis, keramik-keramiknya, hasil-hasil aliran Nabis, Fauves, atau Cubist.
Juga hasil-hasil cipta yang belum mendapat penghargaan atau yang masih saja belum dimengerti orang-orang dengan menantikan bagaimana reaksi kemudiannya daripada mereka yang melihatnya.
Juga di Amsterdam ada museum seperti ini. Artinya ada satu gedung (Stedelijk Museum Amsterdam) yang dipergunakan untuk mengadakan pameran-pameran hasil-hasil seni modern. Di sini saya bisa melihat sendiri. Juga tidak berapa jauh daripada rumah kami. Pelbagai macam pameran lukisan pernah saya lihat, seperti yang sudah saya sebut diatas: “1000 meesterwerken” yang diadakan juga di Brussel, di Paris, dan barangkali juga dibawa ke New York nanti. Kecuali itu kita bisa melihat film-film yang tidak mungkin bisa kita lihat di bioskop-bioskop lain. Bulan muka akan mulai dengan memutar film: Van Caligari tot Hitler, Bezoek van Paul Rotha, dan pelbagai film dokumentasi lagi.
Sungguh kita amat senang rasanya menemukan museum-museum semacam ini. Karena dengan ini kita bisa merasa bahwa manusia dewasa ini mempunyai arti dan bahwa keadaan sekarang tidak mengulang-ulangi keadaan yang sudah lampau, bahwa kita bergerak. Dengan ini pasti pada orang-orang akan timbul perasaan bahwa yang baru-baru lahir ini benar-benar tidak merupakan penipuan dan akan mengetahui bahwa hasil ciptaan sekarang mempunyai arti dan tidak bisa lekas ditumbangkan.
Saya kira tidak asing lagi bagi kita, bahwa kita harus mengikuti segala yang sedang tumbuh dewasa ini, dan kita harus berdiri diantaranya yang penuh dengan aliran dan perubahan.
Sekarang saya ingat pada istana di Jakarta, dimana tergantung hasil-hasil kerja pelukis-pelukis kita dewasa ini. Tapi saya harus mengatakan, bahwa itu masih jauh sekali pada apa yang saya maksudkan, disamping koleksinya yang masih amat kurang tepat.
Saya masih sangsi (maklum saya belum masuk ke dalam semua bilik), apakah di sana ada tergantung lukisan Salim, yang sebenarnya patut dipelihara oleh kita semua, hingga menjadi milik kita semua, menjadi milik nasional.
Atau barangkali ada yang memandang bahwa pelukis ini bukan satu pahlawan karena tidak pernah memanggul senapan pada waktu revolusi? Amat lemah alasan ini. Karena harus diketahui, bahwa selama revolusi, malahan sebelum itu. Salim sudah ada di Eropa, cenderung pada kata hatinya. Dan dia adalah seniman Indonesia yang nyata tidak lahir dari perlakuan pura-pura atau sok-sokan.
Lagi pula istana itu, tidak merupakan satu gedung dimana orang-orang biasa bisa masuk lalu-lintas, walaupun Bung Karno pernah mengatakan, bahwa istana itu adalah kepunyaan rakyat, dan dia sebagai wakilnya menjaminnya.
Akan amat baik jika gedung semacam yang saya maksudkan diatas itu, bisa berdiri di Jakarta (Indonesia), dimana hasil-hasil ciptaan bangsa kita dan bangsa-bangsa lain dewasa ini terdapatkan.
Saya tidak mau mengulangi kepedihan seperti yang pernah saya rasakan, waktu masuk ke museum bangsa-bangsa di Leiden, dimana emas dan barang-barang lain yang asalnya (dan sebenarnya) adalah harta-harta bangsa kita, terdapatkan di belakang kaca-kaca di sana. Atau apakah hasil-hasil kesenian kita sekarang harus juga terjual dan jauh ke tangan bangsa lain?
Baiklah saudara Aoh, sekian dahulu sudah cukup saya kira. Salam kepada semua.
Amsterdam, 19-9-‘52