Sumber: Indonesia Raya, Tahun III, No. 101, 3 Mei 1952, hlm. 3.
Film sebagai seni kelihatan seakan tiada ada batas kemungkinan-kemungkinannya, dan seakan-akan mengandung daya kreatif dan ekspresi yang amat besarnya, seakan bisa mengalahkan sandiwara, roman, lukisan, sajak, dan musik. Karena dia mengandung bahan-bahan yang juga dipunyai oleh lapangan seni yang lain ini, gambar-gambar visual, warna, komposisi, musik dan bunyi serta suara, dan gerak. Film juga sanggup menghasilkan hasil-hasil surealistis dan simbolis dan abstraksionistis sebagai dalam beberapa film eksperimental yang pernah dibuat orang di Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat. Dalam tahun 1914 pelukis Léopold Survage (Art in Cinema) telah berhasrat untuk meneruskan seni lukis non-objektif ke dalam film, dan dengan adanya film suara, maka beberapa eksperimen telah dibikin orang membuat film abstrak ini disertai dengan musik. Umpamanya ada film abstrak dengan musik jazz, Composition in Blue, film abstrak berwarna dengan musik Nicolai—The Merry Wives of Windsor. Fantasi yang di film dapat kita lihat pada percobaan-percobaan Walt Disney dalam film Fantasia, paduan antara musik, warna, dan bentuk serta gerak yang indahnya.
Di San Francisco ketika pengarang berkunjung ke Amerika Serikat dalam tahun 1951 pernah pengarang dibawa oleh seorang kawan menonton salah sebuah film eksperimental demikian, dan ketika itu terbayanglah betapa besarnya kemungkinan-kemungkinan yang dikandung oleh film sebagai alat kreatif, dan betapa pula besar daya kreatif alat ini sendiri. Film-film seperti ini masih jauh dari pada kemungkinan-kemungkinan yang praktis bagi negeri kita. Juga di Eropa dan Amerika Serikat film-film ini masih tetap pada tingkatan eksperimental, dan tidak merupakan sumber yang dari padanya bisa diharapkan penghasilan berupa uang apa juga pun.
Hal ini disinggung sedikit disini, sebagai contoh akan besarnya kemungkinan-kemungkinan daya-kreatif film ini, yang batas-batasnya masih berada dalam kekaburan masa depan, dan belum terduga kini.
Disamping ini semua, maka kita melihat, bahwa film merupakan pula salah sebuah lapangan seni yang mengandung tenaga besar untuk mencapai, demokratisering kebudayaan dan kesenian umumnya. Seni lukis hanya mencapai sedikit orang dewasa ini. Orang banyak baru dapat ikut menikmati seni lukis jika ada seteleng-seteleng. Dan hanya beberapa orang kaya mempunyai kesanggupan untuk membeli lukisan-lukisan untuk digantungkan di rumah mereka sendiri. Museum-museum tempat lukisan-lukisan belum kita punyai di Indonesia.
Demikian pula musik. Musik sekarang hanya didengar oleh orang-orang yang mempunyai uang dan dapat membeli radio. Seni tari yang baik-baik juga hanya sampai ke lapisan kecil rakyat kita. Kesusastraan kita baru hanya bisa mencapai mereka yang sudah bisa membaca di antara rakyat kita, dan dari persentase mereka yang sudah bisa membaca ini, maka hanya sebagian kecil pula baru yang bisa menikmatinya.
Dan sandiwara, karena batas-batas yang diadakan oleh tempat (berapa orangkah umpamanya yang bisa melihat pertunjukan-pertunjukan sandiwara yang dilangsungkan oleh “Maya” di Jakarta?), dan sedikitnya pertunjukan-pertunjukan yang diadakan, masih juga belum mencapai rakyat itu secara luas. Menurut angka-angka UNESCO, maka di Indonesia ada 260 bioskop, dan jumlah orang yang menonton setiap tahun ada 50.000.000.
Hingga sekarang ini maka film lah yang sungguh-sungguh dapat dikatakan menjadi tontonan kerakyatan. Film dengan mobiele units bisa sampai ke desa-desa yang terpencil, dan melangsungkan pertunjukan di udara terbuka.
Juga teknik dalam film sendiri, teknik close up dan daya kreatif yang dikandung film yang bisa membawa penonton bisa ikut menyelami pikiran jiwa pemain-pemain (dengan teknik monolog, super-imposisi, dan lain-lain) sungguh-sungguh membuat film menjadi sebuah pendukung kebudayaan kerakyatan dalam arti yang sebenarnya.
Fungsi sosial dan edukasional film baik film cerita, maupun film dokumenter atau edukasional tidaklah pula dapat diabaikan. Terutama film-film dokumenter bagi Indonesia pasti akan bisa memegang-memegang peranan yang tidak kurang pentingnya dalam perkembangan kesadaran nasional bangsa kita, dan dalam lapangan pembangunan bangsa kita di segala lapangan.
Film-film dokumenter tentang penghidupan seorang nelayan, pembatik, seniman perak di Jogja, Kota Gedang, Kendari, pemahat patung di Bali, penghidupan desa di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku, adat-istiadat penduduk ketika perkawinan, kelahiran dan kematian, penghidupan buruh, semua ini, dan amat banyak lagi adalah objek-objek film dokumenter yang kaya raya dan amat menarik hati. Flaherty dengan film dokumenternya Nanook (tentang penghidupan orang Eskimo di Kutub Utara) dan John Grierson sebagai pionir dalam aliran dokumenter di Inggris telah menunjukkan kemungkinan-kemungkinan besar yang dikandung oleh film dokumenter ini.
Seni film Indonesia masih baru benar, dan kelihatan masih mencari jalan-jalan pertumbuhannya, pertumbuhan yang harusnya diselaraskan dengan pembangunan kebudayaan umumnya bagi bangsa kita yang sekarang sedang berusaha menempati kedudukan yang layak baginya di antara bangsa-bangsa di dunia. Hingga sekarang kita (dengan beberapa kekecualian yang kecil) menemui banyak kekecewaan-kekecewaan dalam lapangan seni film ini. Kita melihat adanya nafas segar yang berhembus di kalangan seni lukis dan kesusastraan, tetapi dalam dunia film kita melihat kebanyakan yang dilakukan ialah membikin imitasi-imitasi yang murah dari film-film Hollywood yang sendirinya juga kebanyakan amat dangkalnya, dan dibikin secara massa-produksi semata-mata untuk mencari uang sebanyak mungkin.
Dengan tiada mengurangi sedikit juga kenyataan, bahwa industri film haruslah dapat hidup dari penghasilan film-film yang dihasilkannya, maka kita hendak memberi peringatan disini, bahwa cara-cara meniru mentah-mentah barang-barang yang murah dan dangkal seperti kebanyakan film-film Hollywood yang kita terima disini adalah jalan salah bagi seni film di Indonesia. Film-film seperti yang dibuat oleh Kino Drama Atelier (Dr Huyung) dengan Kenangan Masa, adalah imitasi yang paling dangkal, dan akan membawa film Indonesia ke jalan buntu. Demikian pula usaha-usaha yang dilakukan Persari membikin-bikin cerita film Sepanjol tiadalah membuka jalan baru bagi perkembangan seni film Indonesia sendiri. Film-film ini tiada menimbulkan keyakinan karena terang kelihatan tiruan atau imitasinya. Kita dapat menghargakan usaha-usaha Perfini yang rasanya lebih mendekati apa yang hendak kita lakukan dalam lapangan kebudayaan Indonesia umumnya. Meskipun belum berhasil, tetapi usaha ke arah ini sedikitnya oleh Perfini telah terasa dan ada dicoba menjalankannya.
Kita merasa, bahwa realisme aliran film Italia yang baru (film seperti “Pentjuri Sepeda”, “Shoeshine”, dan lain-lain) adalah lebih tepat bagi film Indonesia. Film di Indonesia harus dibawa ke tengah-tengah rakyat. Alam kita yang imposant, perjuangan dan pergulatan manusia Indonesia untuk mendapat dirinya kembali dalam abad modern ini, masalah-masalah dan pengalamannya dalam revolusi kemerdekaan dan usahanya untuk membangun diri dalam lapangan sosial, pendidikan, ekonomi, dan politik, dan pertumbuhannya sebagai manusia, adalah bahan-bahan yang berharga untuk diselidiki. Udara bumi kita dengan gumpalan-gumpalan awannya, gunung-gunung yang biru, dan lembah-lembah yang menguning hijau, anak air dan sungai yang mencercah berkilauan ditimpa sinar matahari, bisik-bisik daun kelapa digoyang angin senja di tepi pantai, dan ombak yang mendampar ke pasir putih, manusia yang kaya, manusia yang lapar di tengah kekayaan alam yang berlimpah-limpah, semua ini, dan begitu banyak lagi, merupakan background atau setting dan objek yang amat kayanya bagi film.
Dalam hal ini kita hendak mengingatkan pembaca pada film Meksiko “The Pearl”, yang diambil di tengah-tengah alam Meksiko yang luas. Alangkah kayanya film itu dengan nilai-nilai kemanusiaan (hasrat-hasrat manusia yang menyala-nyala dan membakar panas, cemburu dan dengki, loba dan tamak, ketakutan dan keberanian, mimpi-mimpi penghidupan manusia yang lebih baik, kenyataan-kenyataan hidup yang pahit).
Pionir-pionir dalam seni film modern seperti Griffith dari Amerika Serikat, Pudovkin dan Eisenstein dari Rusia telah memperlihatkan jalan-jalan yang bisa ditempuh. Sebagai juga dalam lapangan seni yang lain, maka daya kreatif dalam seni film hanya dapat berkembang, jika si seniman telah menguasai bahan-bahan dan teknik yang dipergunakannya dengan sebaik-baiknya.