MEMPELAJARI KLASIK INDONESIA

Sumber: Indonesia, No. 7, Agustus 1949, hlm 391-394.

Gambaran-gambaran yang dibuat oleh saudara Oesman Effendi ini adalah hasil dari usaha studinya ke arah klasik Indonesia. Motif dari gambaran-gambarannya diambil dari relief-relief Candi Borobudur. Dan dia tidak meng-kopi (meniru) begitu saja. Motif-motif tersebut diambilnya setelah ia menyelami dan mempelajari lukisan-lukisan relief itu.

Mengapa saudara Oesman Effendi menoleh ke Candi Borobudur?

Rupanya saudara Oesman mengerti akan arti istilah klasik.

Dalam Gema No 10 (Oktober 1948) ada ditulis tentang klasik sebagai berikut, “Sebenarnya klasik dalam arti seluas-luasnya ialah seorang seniman atau seniwati yang telah sampai kepada bentuk seindah-indahnya dan dapat pula ia mewujudkan kesetimbangan antara pikiran dan perasaan dengan meninggikan kepribadiannya atas dasar kemanusiaan.”

Menurut istilah klasik di atas, maka Candi Borobudur ini adalah salah satu tinggalan dari bentuk seni Indonesia pada ketika zaman klasiknya.

Dan dengan kesenian purba ini sebagai contoh saudara Oesman Effendi melatih diri untuk menerjemahkan alam perasaan dan pikiran. Bagi dia banyak sekali bahan-bahan dari klasik Indonesia ini dapat diambil untuk mewujudkan kesetimbangan antara bentuk dan ini.

Kita tahu pula, bahwa lukisan-lukisan relief Borobudur itu mempunyai corak monumental dan mempunyai kekuatan dekoratif yang dapat mengisi ruang-ruang empat segi dimana lukisan-lukisan tersebut dibuat. Dengan lain perkataan dapat menguasai penuh komposisi antara ruang dan motif. Ini kita lihat dari sudut bentuk.

Tentang isi relief-relief itu dapat kita katakan, bahwa lukisan-lukisan itu tidak tinggal pada menggambarkan (plastische interpretatie) dari kejadian-kejadian yang dilukiskan saja, tetapi ada intepretasi jiwa (rasa dan pengertian) yang bangkit setelah kita melihat lukisan-lukisan itu, yakni: rasa religious (murni, sederhana, sunyi) dan rasa demonisch (penuh dengan keagungan dan kekuasaan).

Jika kita lihat gambaran-gambaran saudara Oesman lebih jauh lagi, dapat kita mengetahui, bahwa ia mempelajari lukisan-lukisan relief itu tidak untuk mencari keterangan-keterangan sebagaimana seorang etnolog atau arkeolog mempelajarinya. Misalnya mencari keterangan bagaimana perhubungan masyarakat dan raja pada masa itu atau bagaimana social life di lingkungan kerajaan-kerajaan. Oleh sebab itu segala attributen (tanda-tanda) yang hanya memberi keterangan belaka, tidak dihiraukan olehnya. Dia mencari “pokok gerak” (‘t elementaire) dari segala lukisan-lukisan itu.

Bagi saya amat sukar untuk membicarakan gambarannya satu per satu, karena semua gambarannya yang ada di sini merupakan gambaran-gambaran catatan dari satu seri.

Ada sebuah lukisan terselib beda dari yang lain, yakni lukisan arca Tionghoa. Rupanya inilah salah satu hasil peraduan garis-garis dari studinya tentang klasik Indonesia.

Hanya bisa dikatakan bahwa tiap-tiap gambaran sekalipun catatan fragmentarisch dapat ia menyelesaikan hingga merupakan satu lukisan. Dan dapat pula ia menangkap pokok gerak dari relief-relief itu. Misalnya dalam gambaran-gambarannya dapat kita lihat, bahwa susunannya (struktur) adalah kompositif, cara atau uraiannya ialah simetris dan tiga matra (dimensi), ritmenya tegang, dan kehendak pikirannya konstruktif.

Ini semuanya adalah syarat-syarat yang merupakan suatu statement dari kesenian classicisme.

Mudah-mudahan dengan melalui jalan classicisme ini saudara Oesman Effendi dapat membentuk seni lukis zaman klasik yang baru.

Tentu kita akan melihat hasilnya yang lebih jauh dan sempurna di hari yang akan datang.