Sumber: Indonesia, No. 5, Juni 1949, hlm 289-290.
Melihat lukisan dan membaca cerita banyak bedanya, tapi antara kedua ini oleh umum masih banyak disamakan. Melihat lukisan minta tenaga visueel, artinya dengan melalui bentuk, garis dan warna, bangkit rasa kita akan sesuatu soal dengan tidak usah memikirkan terlebih dahulu bentuk apa yang dimaksudkan. Lain halnya dengan hasil kesusastraan yang disusun atas kata-kata yang mempunyai pengertian: boleh dikatakan membaca melalui ‘t verstandelijke weten.
Sebab itu banyak orang belum juga bisa mengerti, bahwa dari poci yang dilukiskan di atas kanvas tidak bisa dituangkan air teh, sebagaimana halnya dengan poci sebetulnya yang dijadikan contoh. Poci di atas kanvas mempunyai kewajiban lain. Dari poci ini garis dan warnanya yang kita kehendaki untuk menyusun suatu harmoni (kesatuan rasa) guna mengisi bidang kanvas.
Dalam lukisan-lukisan pahatan kayu dari Suromo dapat kita melihat bahwa dia menggunakan garis-garis dan bentuk-bentuk dari motifnya untuk menyusun sesuatu kesatuan rasa, suatu harmoni. Dengan garis-garis dan bentuk ini dalam lukisannya dapat ia mengejar rasa poetisch (lihat sketsanya “Orang Duduk” dan lukisannya “Kawan Serumah”, dan “Penari”).
Selain dari inisiatif ini (kehendak mengemukakan kemungkinan-kemungkinan baru dengan garis dan bentuk) terasa juga kejujurannya. Garis-garisnya ditarik dengan rasa jujur, tidak mencari efek. Rasa jujur atau getaran jiwa asli adalah suatu syarat dalam lukisan untuk menentukan watak pribadi.
Dalam sketsa-sketsa dari Sundoro baru terasa kejujurannya saja. Mengemukakan kemungkinan-kemungkinan baru belum ada padanya. Dengan sketsanya “Kali Pepe” dan “Tirtonadi” ada rasa percobaan melepaskan diri dari kungkungan teknik untuk pergi keperaduan garis-garis guna mencipta sesuatu kesatuan rasa.
Suromo dan Sundoro tinggal dan bekerja bersama-sama di Solo.