Sumber: Pertjatoeran Doenia dan Film, No. 1, Tahun I, Juni 1941, hlm 24-25.
Berhubung dengan bertambah banyaknya kaum terpelajar Indonesia di waktu belakangan ini menerjunkan dirinya ke dalam dunia film sebagai artis, maka telah banyak pula timbul beberapa macam suara dalam surat-surat kabar. Ada yang menyatakan pro dan ada pula yang menyatakan anti.
Yang pro merasa gembira dengan kejadian ini, karena selainnya mereka berpendapat bahwa lapangan dalam dunia film ada menjadi lapangan baru sebagai tempat mencari nafkah, juga mereka berpendapat bahwa dengan masuknya kaum terpelajar ke dalam film sebagai artis, berarti mengangkat derajatnya kaum Artisten Film seumumnya, dan juga berarti bahwa peil permainan dalam film akan menjadi tinggi karenanya.
Yang anti berpendapat bahwa dengan masuknya kaum terpelajar ke dalam dunia film sebagai artis, berarti yang kaum terpelajar Indonesia merampas piring nasinya kaum artis film yang tidak terpelajar yang berasal dari artis wayang atau tonil.
Keyakinan mereka ini bertambah kuat karena suara-suara dari beberapa film produser telah banyak menghendaki orang-orang yang terpelajar keluaran Mulo dan A.M.S. guna dijadikan artis dalam filmnya.
Manakah yang betul? Untuk mengetahui hal ini marilah kita selidiki dulu tentang permainan film dengan sedikit dalam.
Banyak orang menyangka, bahwa menjadi artis film itu mempunyai pekerjaan yang enak dan gampang.
Seorang artis, kata mereka, hanya berdiri di depan kamera dan di sana ia lakukan aksinya. Kameraman boleh putar, dan siap selesailah pekerjaan. Siapa yang berpikir begini, berarti orang itu sama sekali tidak tahu apa artinya “bermain film” dan apa yang disebut seorang artis.
Seorang artis baik dari wayang maupun dari film, adalah seorang yang pandai menggambarkan karakter dari orang dalam cerita yang ia pegang rolnya. Ia harus pandai menumpahkan segala perasaannya ke dalam permainan, hingga ia merasakan sendiri bahwa ia seolah-olah benar ada orang itu sendiri, dan segala kejadian-kejadian dalam cerita itu benar-benar terjadi. Ia harus pandai meniru betul langkah, gerak geriknya dan caranya berbicara. Bila dalam cerita itu ada kejadian sedih ia harus pandai menunjukkan perasaan sedih itu dimukanya dan pada tingkah lakunya. Pendek kata ia harus pandai menjalankan real acting yang sebenar-benarnya.
Dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang “mempunyai talenta” atau orang yang “mempunyai pengalaman banyak”.
Tetapi antara artis wayang atau tonil dengan artis film ada banyak pula perbedaannya. Jika artis wayang menjalankan rolnya itu harus bisa menumpahkan segala pikirannya ke dalam permainannya, dan bisa melupakan segala-galanya yang ada dikelilingnya dengan tidak tergantung dari siapa juga pun, adalah artis film menjalankan rolnya lebih berat dari itu.
Misalnya kalau seorang tonil artis menjalankan rol, seorang yang lagi marah dan orang ini kemudian membantingkan sebuah gelas sebagai menunjukkan bertambah marahnya, rol ini dapat dijalankannya dari mula sampai habis dengan tidak terpotong-potong. Tetapi jika rol ini dimainkan untuk film, cara itu akan dipotong-potong. Mula-mula ia harus dapat menunjukkan ia mulai marah, kemudian ia harus tunjukkan pula bahwa kemarahannya ini telah sampai dipuncaknya, sesudah itu di waktu ia mengambil dan membanting gelas sampai pecah (di waktu Long Shot atau Medium Shot dan Close Up).
Pendek kata buat bagian rol yang dilakukan di atas tonil dalam tempo 2 atau 3 jam, di film harus dilakukan dalam tempo beberapa bulan, sampai 3 atau 4 bulan. Lain daripada itu kesalahan-kesalahan yang bisa terjadi di atas tonil dengan gampang bisa ditutup dan diperbaiki dengan seketika itu juga dengan zonder diketahui oleh penonton, tetapi apabila kesalahan yang serupa itu dilakukan di dalam permainan film hal ini tidak bisa ditutup dengan begitu saja, kecuali harus diulangi lagi sekali.
Disini tampak bagaimana beratnya pekerjaan yang menjadi artis film itu melebihi dari pekerjaan artis tonil atau wayang.
Seorang artis film harus mempunyai kesabaran yang besar sekali, yaitu harus tahan berjam-jam di-repetitie, sebelum diopname, dan kalau tempo-tempo tidak baik, tidak pula jadi di opname. Tempo-tempo teks yang sudah dipelajari harus pula jadi diopname. Tempo-tempo harus ditiadakan karena barangkali tiba-tiba regisseur-nya mendapat ide baru.
Lain dari itu kadang-kadang 3-4 hari berturut sesudah disuruh “make-up” tidak jadi diopname. Sorotan lampu yang beribu lilin dalam studio atau sorotan matahari dan reflector yang begitu panas apabila opname di luar, membikin silau mata dan pusing kepala. Ini semua harus dialami oleh artis film yang mana tidak ada para artis tonil. Kalau orang bermain tonil dimulai dari mulanya cerita dan dihabisi pada penghabisan cerita, adalah di film dilakukan dengan diaduk tidak tentu, yang penghabisan tempo didulukan dan yang permulaan cerita diambil pada kemudiannya. Hingga buat artis yang menjalankan acting hal ini sangat berat sekali, sebab ia bisa bingung, karena tidak tahu ujung pangkalnya.
Sebab itu orang yang menjadi film artis, harus “mempunyai banyak sabar”, harus “mempunyai dan ini tidak akan terdapat dibangku sekolah”. Sebab itu saya katakan pelajaran tinggi dari rumah sekolah bukan jadi garansi atas kepandaian bermain film.
Cuma satu kemenangan bagi kaum terpelajar, yaitu kalau anak wayang yang menjadi artis ternama di kalangan film, harus bekerja 10 tahun untuk mendapat kedudukan itu, adalah hal ini bisa dilakukan oleh kaum terpelajar dalam tempo 5 tahun saja. Sebab ia sebagai kaum terpelajar sudah tentu lebih pandai memakai dan mempergunakan otaknya dari pada artis anak wayang yang kurang terpelajar. Tetapi ini pun kalau kaum terpelajar itu ada mempunyai aanleg untuk pekerjaan itu. Sebab kalau tidak, biarpun bagaimana juga, ia terpelajar, ia tidak akan dapat mencapai kedudukan itu.
Bahwa dengan adanya perusahaan film, telah timbul lapangan baru untuk mencari nafkah, begitu juga untuk kaum terpelajar, kita akui, tetapi “kalau dikatakan dengan hanya menjadi artis” saja permainan dalam film akan lebih baik itu kita sangkal dengan alasan seperti di atas tadi.
Kita bilang timbul lapangan baru untuk usaha mencari nafkah, adalah sebab dibagian tekniknya film bedrijf ini banyak pekerjaan, misalnya: menulis cerita, menulis skenario, penulis draaiboek, menjadi kameraman, menjadi sound engineer, tukang reklame, tukang make up, tukang mode pakaian, tukang jaga licht dan sebagainya. Juga menjadi regisseur atau assistenten-nya adalah lapangan baru untuk kaum terpelajar.
Dengan ini saya tidak mengatakan bahwa lapangan untuk menjadi artis film ada tabu buat kaum terpelajar, sama sekali tidak.
“Sebab menjadi artis wayang atau artis film bukanlah pula ada menjadi monopolinya kaum-kaum yang kurang terpelajar.”
Di dalam kalangan artis wayang, yang menjadi anak wayang berpuluh tahun pun banyak pula terdapat orang yang terpelajar lepasan dari sekolah Mulo, A.M.S., dan H.B.S. Nama-nama Raden Ismail, Bachtiar Effendi, Sajid Wok dan beberapa banyak lagi ialah menunjukkan bahwa di kalangan artis Indonesia di bagian wayang, telah banyak terdiri dari kalangan kaum terpelajar.
Lagi pula menjadi artis baik di wayang atau tonil, maupun menjadi artis di kalangan film, sama sekali tidak tergantung pada terpelajarnya atau tidak, tetapi adalah tergantung pada aanleg, kepintaran bermain, pengalaman yang banyak, terutama keinginan yang keras untuk menjadi artis.
Oleh karena itu artis film Indonesia yang bekas anak wayang tidak usah khawatir yang punya penghidupan mereka akan dapat didesak oleh kaum terpelajar dengan begitu saja, kalau memang tidak kebetulan orang itu mempunyai aanleg dan keinginan yang keras untuk menjadi artis. Sebab dalam dunia film di Amerika maupun di Eropa, sampai sekarang ternyata, bahwa bekas anak wayang yang banyak punya pengalaman ada lebih banyak mempunyai kedudukan yang tinggi sebagai artis film daripada kaum yang terpelajar yang tidak punya aanleg dan tidak punya pengalaman.
Malahan bukti juga menunjukkan bahwa seorang kuli yang punya aanleg dan talenta sekarang mempunyai kedudukan tinggi sebagai artis film di Amerika, sedang beratus-ratus kaum yang mempunyai pelajaran dari sekolah tinggi, tidak berhasil mencapai kedudukan itu. Oleh karena itu dengan masuknya kaum terpelajar menjadi artis film, haruslah diterima sebagai kawan yang senasib oleh artis yang telah ada, asal saja masuknya itu dengan cita-citanya yang suci dan keinginan yang keras untuk mengangkat derajatnya artis Indonesia seumumnya, guna kebaikan bersama.