PEMBIKINAN FILM DI INDONESIA (II)

Sumber: Doenia Film, No. 13, Tahun IV, 1 Juli 1932, hlm. 3-4.

Siapakah yang terutama diambil oleh maatschappij-maatschappij film buat dijadikan aktor? Di Amerika regisseur bisa dapat aktor macam apa juga, dia cuma perlu memberitahukan tipe dan karakter dari orang yang dicarinya —selainnya dari hoofdrol, sebab ini sudah disediakannya lebih dahulu— pada informasi bureau, dan orang serupa itu pun dalam tempo satu jam sudah ada di studio, seringkali bukannya satu, tetapi puluhan yang datang, semuanya mempunyai sifat-sifat yang dikehendaki regisseur. Pemimpin film dapat memilih dengan leluasa, siapa yang dia kira ada surup betul dengan rol yang akan dimainkan.

Pembaca tentu tahu yang di Hollywood ada satu bureau dimana mereka yang mencari pekerjaan memberikan nama dan alamatnya —seperti Arbeids-Bureau kita disini— dengan keterangan: berapa tingginya, beratnya, apa kepandaiannya, dan lain-lain, pendek kata keterangan yang secukup-cukupnya. Jadi kalau dalam satu film perlu dipakai seorang pendek, dengan tangan kutung sebelah kiri umpamanya, asisten regisseur hanya perlu menelepon informasi bureau dan orang yang dicari pun dapat.

Disini bureau yang seperti itu belum ada —Doenia Film sekarang ada mengandung maksud mendirikan bureau seperti itu, buat menjadi perantaraan dari pembacanya dan film-film maatschappij— regisseur terpaksa mencari kiri dan kanan, jadi tidak mengherankan kalau sering kali orang diambil buat menjadi aktor hanya kawan-kawan dari mereka yang bekerja dalam studio. Sebab disini belum ada “bepaalde groep” yang berangan-angan, bersedia buat menjadi aktor —seperti di Hollywood yang memberikan namanya di informasi bureauregisseur biasanya mencari dari kalangan bangsawan dan opera, karena anak-anak opera ini sudah biasa main, menjalankan rol dalam cerita-cerita.

Sayang yang kebiasaan mereka tidak menjadi satu kepastian dari kebiasaannya menjalankan rol dalam film!

Sebab permainan dalam film ada jauh bedanya dari akting yang biasa dipakai di atas tonil bangsawan. Dalam film, akting dan segala gerakan mesti natuurlijk sebagai dalam penghidupan sehari-hari, sedangkan di tonil semuanya dilebih-lebihkan. Walaupun begitu toh anak-anak bangsawan yang dapat voorrang sebab dia orang tidak malu-malu lagi main. Juga film-film maatschappij yang hendak mendirikan studionya di sini akan mencari aktornya dari kalangan mereka yang telah pernah main di tonil.

Amatir tooneelspeler lebih disukai, sebab aktingnya lebih natuurlijk dari anak-anak bangsawan, kecuali anak-anak Opera Dardanella. Permainan tooneelgeselschap Dardanella sudah ada di tingkat yang begitu tinggi, hingga tidak kelihatan lagi beda aktingnya di atas tonil dengan penghidupannya sehari-hari, si penonton tidak merasa menonton lagi, tetapi merasa hidup bersama-sama dengan cerita yang dijalankan. Tooneelspeler seperti dari Dardanella itulah yang mendapat kans nomor satu akan dipilih oleh maatschappij-maatschappij besar menjadi film aktornya, sesudah itu baru amatir tooneelspeler. Pembaca yang berangan-angan menjadi filmster lebih baik dari sekarang mendirikan tooneelvereeniging di tempatnya masing-masing, dan mengadakan pertunjukan dua atau tiga bulan sekali.

Di waktu sekarang pendapatan film aktor disini belum dapat dikatakan besar. Keadaan ini tidak boleh mendatangkan keheranan, sebab sesuatu filmmaatschappij tentu tidak akan mengeluarkan ongkos lebih besar dari jumlah uang yang ditaksirnya bisa dapat dari penghasilan itu film. Dan pendapatan satu-satu film belum lagi begitu besar, hingga boleh menggaji aktornya ribuan rupiah sebulan. Sebabnya?

Distribusi belum luas. Pembikinan belum sempurna, di kota-kota yang besar seperti Batavia dan Bandung belum dapat dimainkan di eerste rang bioskop, sedangkan di kota-kota kecil belum semuanya ada tustel buat sprekende film, jadi kalangan mainnya film bikinan kita masih sangat sempit, karena keluar Indonesia belum laku, berlainan dengan film Amerika dan Eropa yang dimainkan di seluruh dunia.

Satu-satunya film bikinan Indonesia yang sudah mau diterima oleh negeri lain ialah “Njai Dasima” (sprekende), yang sekarang dimainkan di Singapura.

Kalau nanti bikinan sudah begitu sempurna, hingga bukannya dari Malaka saja datang permintaan, tetapi Britsh-Indie, Philipina, dan negeri-negeri lain, tentu pendapatannya satu-satu film lebih besar dan maatschappij pun bisa pula mengeluarkan ongkos lebih banyak buat pembikinannya. Pendapatan aktor dengan sendirinya naik ke atas, gaji-gaji seribu sebulan tidak akan mengagumkan lagi.

Bahasa Indonesia yang dipakai, buat negeri-negeri luaran tidak begitu menjadi keberatan. Dalam itu film-film Prancis: “Sous les Toits de Paris” dan “Le Million”, bikinannya René Clair, dipakai bahasa French dan 90% dari penontonnya tidak mengerti itu bahasa dan toh itu film laku. Buat negeri lain tiap film bisa dibikin dengan memakai teks dalam bahasa negeri itu sendiri.

Dalam Doenia Film No. 12, kita sudah sebutkan yang maatschcappij besar-besar akan membuka studio di sini, satu antaranya dengan begin-kapitaal hampir setengah millioen banyaknya. Dengan kapital sebesar ini dan ingenieur-ingenieur yang begitu pintar sudah dapat dengan pasti dikatakan yang pembikinannya tentu sempurna dan bagus, tidak kalah dengan pembikinan Amerika dan Eropa, bisa dimainkan di segala eerste rang bioskop dan dikirim keluar Indonesia.

Pendapatan lebih banyak, ongkos membikinnya bisa lebih royal, dan gaji-gaji aktor pun bisa jadi ribuan sebulan.

Lapangan usaha film di Indonesia memang masih luas, film industri disini tentu mesti maju. Pengharapan maatschappij-maatschappij disini dalam toekomst film ada begitu besar hingga sampai ada yang spesial mengirim orangnya ke Amerika buat mempelajari pembikinan film dengan sedalam-dalamnya.

Bagaimanakah adanya dengan tuan, tidakkah tuan mempunyai keinginan masuk kalangan usaha film yang memberi harapan begitu besar dan tinggi, maupun dalam pencarian dan popularitas?

Dari itu hendaklah pembaca yang ada angan-angan menjadi filmster, selainnya dari turut main tonil, perhatikan betul permainan aktor dari tiap-tiap film yang dilihatnya, dan perhatikan pula segala surat-surat kabar dan karangan-karangan yang bersangkutan dengan film.

Pembikinan Film di Indonesia (I)