PEMBIKINAN FILM DI INDONESIA (I)

Sumber: Doenia Film, No. 12, Tahun IV, 15 Juni 1932, hlm. 3-4.

Sebelumnya film bicara datang di sini, pembikinan film di Indonesia, memang, biarpun sekali masih jauh dari sempurna, sudah maju. Kita tentu belum dapat, malahan belum boleh memperbandingkan produksi disini dengan film-film Amerika atau Eropa, sebab umumnya film industri di negeri-negeri itu ada jauh lebih tua dari di Indonesia. Jadi di sana mereka sudah banyak mempunyai pengalaman, sedangkan ongkos-ongkos tidak akan menjadi halangan biarpun berapa besar juga buat menyempurnakan dan membikin film-film itu sebagus-bagusnya. Mereka disana tidak perlu menahan-nahan ongkos, karena pembikinan mereka ada di tingkat yang tinggi, jadi filmnya sudah tentu lebih teratur dan lebih cukup dari bikinan negeri-negeri lain dan dari itu laku di seluruh dunia.

Usaha film disini belum sampai ditingkat yang begitu rupa, tetapi biarpun film industri kita masih muda, produksi-produksinya dari film gagu sudah boleh dibilang “boleh juga”. Kurang sempurnanya pembikinan ini adalah disebabkan oleh beberapa hal.

Umpamanya kita belum mempunyai studio yang lengkap dengan segala keperluan, belum ada mempunyai aktor dan aktris yang tetap atau yang sudah dapat didikan dalam acteeren, seperti di Amerika. Walaupun keadaan masih begitu rupa, pembikinan tidak kalah dari negeri-negeri luaran, selainnya dari Amerika dan Eropa, malahan di Eropa ada negeri yang produksinya lebih jelek dari disini, umpamanya itu film “Fatima” dari Cekoslowakia. Di perbandingkan dengan film Tiongkok —film industri di sana ada lebih tua dan kapitalnya lebih besar— pembikinan di Indonesia belum boleh dikatakan kalah, selainnya dari dekor dan schmink (bedak). Dari hal dekor memang kebanyakan film Tiongkok ada lebih besar dan cukup. Dalam pembikinan film disini menjaga schmink itu adalah pekerjaan yang paling cerewet, sebentar-sebentar encer, karena hawa seringkali terlampau panas. Sedangkan kita masih terpaksa memakai cahaya matahari, sebab belum mempunyai reflector-reflector yang cukup.

Kedatangannya film bicara merusakkan betul pada usaha film disini, sebab dengan kedatangannya talkies itu tersangkut dan perlu pula pengetahuan yang dalam tentang mikrofon, radio, dan sebagainya; pendek kata sekarang terpaksa kita menambah dan mempergunakan satu kepintaran yang tadinya tidak bersangkut apa-apa dengan film. Selainnya dari pengetahuan ini saja kita terpaksa pula memakai tustel-tustel lebih lengkap dan ingewikkelder dari tustel yang dipergunakan buat membikin film gagu.

Kita semua tentu mengerti yang membikin talkies ada jauh lebih susah dari membikin silent. Dulu perkataan-perkataan yang dikeluarkan oleh seseorang aktor tidak diperdulikan asal saja aktingnya bagus, sekarang aktor mesti memakaikan perkataan persis seperti yang sudah ditentukan. Yang paling susah pekerjaan ialah buat leider dari pembikinan, regisseur-nya.

Waktu opname, regisseur sekarang tidak dapat lagi berteriak atau berkaok buat memberi tahu pada aktor atau pembantu yang lain bagaimana sesuatu pekerjaan mesti dilakukan. Sebab semuanya dalam studio mesti diam, hening, dan tenang, hanya yang boleh mengeluarkan suara ialah aktor atau musik.

Tetapi biarpun banyak keberatan-keberatan itu, kita disini —tidak berapa lama sesudah orang Amerika mendapat ini kepintaran— bisa pula membikin film bicara. Sudah tentu tidak sempurna dan masih jauh daripada bagus, tetapi toh bisa. Segala film maatschappij disini berikhtiar dan bergiat betul hendak memajukan pembikinan “talkies” dengan memakaikan bahasa Indonesia, umpamanya Tan’s Film Coy di Batavia Centrum dan Krugers Film Bedrijf di Bandung.

Film industri sendiri disini mesti maju, sebab kita tentu mesti tertarik pada cerita-cerita yang terjadi di ini negeri, dimainkan oleh orang-orang bangsa kita dengan menyanyikan lagu yang surup dengan perasaan dan keinginan kita.

Asal saja pembikinannya sempurna!

Toekomst film industri di Indonesia memang besar, karena natuur buat opname paling bagus, udara terang, anak-anak Indonesia banyak yang manis dan cantik buat dijadikan ster. Sebagai contoh kita taruh disini satu foto dari seorang aktris, gadis Priangan yang memegang rol dalam satu film yang lagi dibikin.

Dari perkara talent atau aanleg tidak begitu menjadi keberatan. Kita disini banyak yang mempunyai aanleg, dan lagi itu semua sebagian besar bergantung pada regisseur, dalam hal memilih, mendidik, dan memakainya.

Film Tabu dari Paramount umpamanya semuanya —selainnya dari satu rol politieman— dimainkan oleh anak-anak pulau yang belum pernah berdiri di muka lensa, dan selama hidupnya barangkali belum tahu duduk dalam gedung bioskop. Tetapi biarpun begitu, Tabu ada satu film yang paling bagus, sehingga kita tidak bosan menonton sampai dua tiga kali.

Kalau dengan orang-orang pulau itu, zonder memakai set-set (tempat main) yang besar dan mahal, toh dapat dibikin film yang begitu bagus, apakah halangannya disini tidak akan bisa?

Yang pembikinan film disini ada memberi harapan maju, kenyataan lagi dari ikhtiar-ikhtiar orang-orang dari luar negeri. Belum lama kita dengar tuan Yoe Rock hendak mendirikan film maatschappij di Java dan sekarang tuan Nat Nathanson sudah membikin persediaan-persediaan akan mendirikan satu studio yang besar dengan memakai aktor-aktor orang disini, hanya ingenieur-ingenieur-nya dibawa dari Amerika. Tuan Nathanson yang menyediakan kapital hampir setengah millioen buat ini studio, sekarang baru pergi dengan ingenieur-nya ke Tiongkok buat membikin opname dari perang Tiongkok-Jepang. Dan tidak lama lagi agen-agennya UFA, itu film maatschappij di Duitschland, akan datang disini buat mendirikan satu studio pula.

Dari kalangan manakah tuan ini akan memilih aktor-aktornya, dan bagaimanakah keadaannya film-film maatschappij di Java.

Dengan kedatangannya kapital besar ini, dapatkan kiranya aktor-aktor Indonesia bergaji sampai beribu-ribu sebulan?

Nona dan Tuan-Tuan tertarik buat menjadi film aktor? Di “Doenia Film” yang akan datang kita nanti sambung ini pemandangan.

Pembikinan Film di Indonesia (II)