Sumber: Aneka, No. 6, Tahun V, 20 April 1954, hlm 17 & 21.
Dalam majalah ini, No. 4, tanggal 1 April yang baru lalu ada dimuat sebuah pemandangan S.M.A. tentang film Rentjong dan Surat, produksi G.A.F. Sang Saka N.V. Bukan maksud saya hendak membicarakan pemandangan itu seluruhnya. Maksud saya hanyalah hendak memberi soal teknis film, yang dipuji oleh S.M.A., tetapi sebenarnya ialah suatu kekurangan atau pada skenario, atau pada regie dan montase.
Untuk jelasnya, saya kutip dibawah ini keterangan S.M.A.: “Perpindahan ke adegan lain dihubungkan dengan suatu hal yang sama, umpama ketika Cut Meutia mendoa dengan baru disadari penonton kemudian, bahwa adegan sudah pindah ke Cut Kemala yang juga sedang mendoa.”
Menurut pendapat saya, contoh memang banyak dalam film yang dibicarakan itu untuk membuktikan kelemasan continuity yang tidak merupakan cut. Memang benar pula, salah satu jalan untuk melemaskan perpindahan atau persambungan ambilan ialah dengan mengambil yang sama dalam kedua ambilan yang hendak disambungkan. Tetapi justru dalam contoh tadi, teori itu tidak dapat dilaksanakan.
Buktinya, penonton merasa kaget, terdengar dari ucapan dan suasana dari publik, sebagai juga kita dengar dan merasa, ketika Husin (Ismail Saleh) pada akhir cerita jatuh dari bukit, penonton tertawa, karena tahu dari ambilan, bukanlah bentuk orang yang diperlihatkan, melainkan pakaian.
S.M.A. sendiri mengakui hal itu, dengan perkataan lain, karena menyatakan sendiri, penonton baru menyadari kemudian, bahwa adegan sudah pindah dari seorang kepada orang lain. Sedang cara berpindahan yang semacam dipuji itu maksudnya justru, supaya dengan segera menyadarkan penonton akan perpindahan tersebut.
Karena itulah, menurut pendapat saya, teori salah pakai. Kalau hanya hendak berusaha, supaya continuity lemas, cukuplah kiranya fade out¸tetapi karena pada tempatnyalah mempergunakan (short-short) dissolve. Dapatlah dihindarkan apa yang mengagetkan itu dengan tidak close midshot (?) seorang wanita, lalu dissolve kepada close midshot (?) wanita lain.
Tetapi rupanya regie atau skenario hendak mengemukakan atau meng-accentuer, ada dua orang wanita pada suatu saat sedang memikirkan nasib seorang pahlawan. Menurut pendapat saya, dapatlah juga dipergunakan dissolve dan close midshot, tetapi adalah hendaknya nyata perbedaannya, dengan segera, misalnya pakaiannya satu pakaian putih, dan yang lain yang tua warna pakaiannya, serta sikapnya dan/atau ambilannya mendoa janganlah sama benar.
Sebagai yang diperlihatkan kita kaget, karena pada waktu perpindahan itu, kita terpikir, “Lho. Meutia bagaimana tiba-tiba pindah keadaan?”
Mungkin juga dapat dihadirkan rasa kaget dan heran itu, kalau Meutia diambil close up, lalu dissolve close up pula kepada Cut Kemala, sehingga dengan segera ternyata perbedaan orangnya.
Tetapi skenario atau regie, menurut taksiran kami ada maksud lain pula. Terkecuali hendak menyatakan tempat lain (perbedaan fotografi), persamaan saat (kesatuan waktu), persamaan dua orang memikirkan nasib seorang pahlawan, maka hendak ditegaskan pula, pahlawan itu sudah ada dua orang wanita yang mencintainya, dan keadaan masing-masing berlainan. Karena itu, ada tersimpul faktor pertentangan. Dan faktor itu kemudian akan diteruskan dan diperluas, kalau Meutia membantu T. Djohan meskipun dia tahu, pahlawan itu sudah ada kekasihnya, bakal isterinya, sedang Kemala akan kawin dengan Husin.
Karena itu, faktor itu perlulah dipertegas pula dengan cara perpindahan, dengan mengingat syarat visual, ringkas, tetapi penuh konflik.
Menurut pandangan saya dapatlah dipergunakan tehnik yang disebut oleh Raymond Spottiswoode dalam bukunya “A Grammar of the Film” (An Analysis of Film Technique), hal. 226, dalam mengkritik film “The Private Life of Henry VIII”, produksi Alexander Korda tahun 1933. Spottiswoode mengkritik Korda mempergunakan suatu ucapan untuk menyatakan persamaan dan pertentangan keadaan dua orang wanita pada suatu saat. Anne Boleyn waktu naik tangga tempat gantungan berkata tentang langit terang. Lalu cut kepada Jane Seymour sedang bersiap-siap akan kawin dengan Henry VIII, menggantikan Anne Boleyn, lalu berkata pula tentang langit terang hari itu.
Kontras yang hendak dinyatakan antara keadaan dua orang wanita itu, kelainan menurut Spottiswoode dapatlah dinyatakan dengan visual, ringkas, tepat, yaitu dengan mempergunakan low angle shot yang dipergunakan Korda, diarahkan kepada Anna Boleyn sedang naik tangga tempat gantungan, sambil memperlihatkan langit terang cuaca, kemudian cut sebentar kepada Jane Seymour memandang dari jendela, air mukanya senang melihat arah kebun yang terang disinari matahari.
Begitu pendapat saya, pada persambungan yang dimaksudkan dalam film “Rentjong dan Surat” itu, bukanlah dissolve yang mestinya dilakukan, melainkan cut.
Memanglah dissolve sebagai juga fade out dan fade in menyatakan perpindahan tempat dan atau waktu, artinya memberi kesan yang berangsur-angsur, karena itu juga menyatakan perubahan scene atau sequence, artinya membatasi suatu kesatuan kejadian atau kesatuan waktu, ada kalanya kesatuan geografi, sambil juga menghubungkan kedua shot yang dibatasi itu. Sebagai kenyataan di atas tadi, dipandang dari sudut itu, sebenarnyalah dissolve yang dipakai dalam bagian film “Rentjong dan Surat” yang dimaksudkan. Ada alasan lain pula, menurut taksiran saya, yaitu sebagai kata Spottiswoode (hal. 120).
“Karena itu, kalau sesuatu perlu dilakukan dengan solemnity, sambil membaginya dalam shot pendek-pendek, maka dissolve itulah yang akan memberi bantuan.”
Pahlawan gagal (untuk sementara) melakukan tugasnya untuk kepentingan kejujuran dan keadilan perjuangan, dua orang wanita pada saat yang sama, taat kepada agama, memohon perlindungan Tuhan. Kesungguhan, kedamaian, keluhuran ketika itu, cocoklah, kalau disitu dilaksanakan dissolve. Tetapi konflik baru yang mulai kenyataan, pertentangan yang kita sebut di atas tadi, tidaklah dapat diwujudkan, terbawa oleh sifat dan maksud dissolve.
Cut sudah kita sama-sama maklum, maksudnya juga membagi-bagi continuity atas beberapa bagian (shot), sehingga mendapat suatu irama film. Untuk mencapai irama film itu, kejadian-kejadian yang tidak perlu, waktu yang tidak perlu, perpindahan tempat yang tidak perlu dinyatakan, semuanya itu dapat dihilangkan, dengan mengadakan cut, artinya memotong atau tidak memperlihatkan kejadian-kejadian, perpindahan waktu, perpindahan tempat itu. Kalau begitu, cut sebenarnya membuat kejadian-kejadian itu tidak sewajarnya, tidak menurut perjalanan yang semestinya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itulah, cut itu alat yang selaras dengan watak dan maksud film.
Dalam pada itu, cut sebagai memisahkan dan menghilangkan, melainkan juga menghubungkan atau menyatukan bagian-bagian (shot). Kedua tugasnya (memisahkan-menghilangkan dan menyatukan) tersebut tampak dengan sistematis dipergunakan dalam pararel editing, crosscutting sebagai yang kelihatan dalam film-film koboi untuk menimbulkan suspense. Tetapi kedua macam editing itu bukan saja untuk suspense, melainkan juga untuk menyatakan sesuatu pikiran perasaan yang tidak hendak dinyatakan dengan ucapan, karena akan menjadi tidak filmis, sebab itu memerlukan jalan visual.
Karena itulah cut itu dapat menjadi unsur irama film untuk menyatakan suspense, emosi, pikiran, apa yang abstrak, yang dalam sebuah roman akan dapat dilukiskan dengan kalimat-kalimat, yang dapat berpanjang-panjang, sedang dalam tonil akan dinyatakan dengan percakapan-percakapan atau monolog.
Sebab apa yang tersebut itu, maka cut lah yang seharusnya dipergunakan, karena pengusaha film nyata hendak memperlihatkan:
- Dua kejadian yang pararel;
- Perasaan sayang kepada seseorang;
- Perasaan tidak tahu jalan, karena itu perasaan luhur mohon rahmat Tuhan;
- Dua macam cinta (kepada seorang pahlawan): yang satu dengan kebetulan bertemu dengan orangnya yaitu teman seperjuangan (kalau saya tidak salah ingat, tanda satu tujuan itu diperlihatkan dengan tegas, kalung dan rencong, tanda yang diperlihatkan oleh T. Djohan ketika bertemu pertama kali dengan bapak dan anak, tetapi bapak dan anak itu tidak memperlihatkan tandanya pada ketika itu), tetapi merupakan cinta dari satu pihak, diwujudkan dengan merawat dengan sebaik-baiknya; yang kedua, sudah pasti cintanya berbalas, tetapi tidak tahu apa yang kejadian kepada orangnya, merupakan cinta yang ditinggalkan;
- Sebagai background, pahlawan, pokok kedua percintaan dan perasaan luhur tadi, sedang kena kemalangan, dapat mengakhirkan jiwanya dan mungkin tidak dapat meneruskan tugasnya, dan demikian mungkin membawa kegagalan kepada perjuangan yang suci;
- Sesudah bagian film itu, maka berkembang dan meluaslah jalan cerita, mendapat aspek baru: bukan saja lagi merupakan seorang pahlawan hendak melakukan tugas, dan dirintangi oleh seorang lain, karena percintaan yang sama; bukan lagi tentang dua tokoh, yang satu hendak berjasa kepada perjuangan, dan yang lain menjadi pengkhianat; bukan saja lagi tentang seorang wanita antara cinta dua orang laki-laki; tetapi sudah tambah dengan seorang laki-laki pahlawan dicintai oleh dua orang wanita yang berlainan keadaan, dan caranya bertemu, dan barangkali pengusaha film, menggambarkan dua orang wanita yang berlainan tokoh dan caranya turut berjuang, dan lingkungan hidupnya.
Kemudian dari itu, tidak ada jalanan cerita lagi, karena itu menurut penglihatan kami, disitulah sudah terjadi perjalinan pokok, kita penonton menunggu perkembangannya sebagai keseluruhan.
Sebab itulah rupanya, dissolve (perbedaan waktu dan tempat, perpindahan scene) tidak menjadi pokok.
Disinilah terletak seolah-olah kontradiksinya: sebuah alat yang kelihatannya mengagetkan dan memisahkan, justru alat itulah yang mempersatukan dan membuat suatu kesatuan antara isi dua shot yang berurutan; sebuah alat yang semestinya mempersatukan dan memberi suasana, justru alat itulah yang mengagetkan dan menghilangkan.
Tetapi perlu pula kita akui, dengan mempergunakan cut, perlulah pula isi kedua shot itu masing-masing dilainkan, dalam arti diperpanjang. Dengan memperpanjang waktu (panjangnya) shot terbawalah irama yang slow, membawa kesan kesungguhan dan kesucian, dibantu oleh lighting dan angle yang khusus. Dengan jalan begitu, solemnity tidaklah diwujudkan oleh unsur penyambung, melainkan oleh isi shot. Mungkin dengan lighting low key di-shot yang dahuluan (di rumah Meutia, cinta yang belum ada harapan, pahlawan gagal), dan setengah high key, setelah low key di-shot Kemala. Angle mungkin low, pada saat memohon rahmat Tuhan. Untuk mempertentangkan keadaan cinta yang berbeda, mungkin pada shot pertama, diadakan dulu panning dari air muka Meutia ke arah muka Djohan yang luka tutup mata, kembali kepada muka Meutia yang mengeluarkan tanda rencong, melihatnya, lalu mengambil sikap mohon rahmat; pada shot kedua, sikap Kemala tidaklah terus sikap memohon rahmat, melainkan lebih dahulu memegang mengingati sebuah tanda mata Djohan ketika berangkat, lalu barulah sikap memohon rahmat.
Tetapi itu ialah teori, pasti ada kemungkinan-kemungkinan lain. Sementara itu, mungkin juga pengusaha film lain maksudnya. Pengharapan kami, pengusahanya maulah memberi keterangan, supaya dengan bertukar pikiran, dapat mengembangkan pemandangan. Praktek memerlukan teori dan penyelidikan. Dengan bertukar pikiran, baik dengan S.M.A., maupun dengan pihak pengusaha “Rentjong dan Surat”, dapat kita memperluas teori, dengan pengharapan dapat dipergunakan dalam praktek, untuk kemajuan film nasional, dan untuk kritik film. Perlu saya terangkan, para pengusaha “Rentjong dan Surat” maju dalam tehnik, regie, permainan (khususnya oleh acting Ismail Saleh), konstruksi cerita dan menjalinkan animasi sequences, karena itu pada pokoknya saya menyetujui maksud karangan S.M.A.. Ada beberapa kritik saya yang mengenai keseluruhan film, tetapi bukanlah maksud karangan ini membicarakan film itu seanteronya.
Alat-alat penghuung dan pemisah, ada menjadi suatu unsur irama (dan continuity) film, dan dalam hal itu film “Rentjong dan Surat” sangat memperhatikannya, karena itulah justru dalam hal itu saya memajukan kritik yang ingin membangun ini. Mudah-mudahan ada gunanya.