BANDUNG MENGABDI LABORATORIUM BARAT

Sumber: Siasat, No. 391, Tahun VIII, Minggu, 5 Desember 1954, hlm. 26-27.

Pameran lukisan mahasiswa Akademi Seni Rupa Bandung berlangsung dari tanggal 20 sampai 27 November di Balai Budaya, diselenggarakan oleh IPPI Perguruan Tinggi Jakarta.

Siapa sebagai seniman Indonesia atau kritikus dan peminat lainnya hendak bertolak dari kehidupan di tanah air sendiri dengan masalah-masalah dari alam dan manusianya, dia akan kecewa melihat pameran ini, karena hampir tak ada yang cocok dengan jiwa dan pengalamannya. Tapi sebaliknya, siapa sudah biasa bertolak dari gedung-gedung sekolah dan laboratorium Barat, dimana jiwa dan pengalaman keindonesiaan tak begitu diindahkan, karena yang primer adalah hasil-hasil sintetis, berpedoman jiwa dan pengalaman Barat, maka dialah akan merasa senang. Dia akan bangga bahwa bangsanya sanggup mempergunakan bahan-bahan impor itu —rasa, pikiran dan materi— seperti seorang teknikus juga sanggup membentuk pesawat radio dengan alat-alat yang didatangkan dari luar negeri.

Kebanggaan itu tidak pada tempatnya, bahkan menyesatkan di lapangan seni, dimana seorang pencipta tidak diwajibkan merangkaikan bahan-bahan impor, tapi mencipta dengan kekuatan sendiri. Memanglah bukan mustahil bahwa orang dapat membuat sesuatu yang bernilai dengan barang-barang impor itu, asal ia tahu bahwa sewajarnya diharapkan dari seorang seniman penemuan-penemuan sendiri, berdasar kesadaran yang berkembang dari inti kehidupan yang dialami sendiri. Kesenian yang melalui proses begitu barulah mempunyai daya yang segar karena fitri, tidak dibikin-bikin. Kesenian yang diproseskan antara dinding-dinding sekolah dan laboratorium belaka, bukanlah melalui proses pertumbuhan secara alam, melainkan secara kunstmatig.

Bahan-bahan impor itu ialah seperti kami sebut tadi jiwa dan pengalaman dunia Barat yang dalam hal ini tercermin dalam buah tangan para pelukis besarnya seperti Braque, Picasso, Modigliani, Paul Klee, Matisse, yang ditiru dalam pameran ini. Tak dapat disangkal bahwa diantara sebelas orang exposan ini ada yang pandai mempergunakannya sebagai intelek dan pelajar yang bertekun, tapi zat-zat dalam tubuh kesenian ini terasa layu, kurang darah, hingga tak hidup. Kami tak heran melihat keadaan begini, karena mahaguru mereka adalah orang asing, sungguhpun hal ini patut disesalkan. Menilik hasil-hasil para muridnya, mahaguru ini bukanlah ambasador kebudayaan Eropa yang baik, karena terlalu menekankan norma-norma keeropaan pada murid-muridnya, hingga keindonesiaan hilang lenyap dibawahnya. Agaknya ia ingin disebut kelak telah membentuk mazhab di Indonesia, maka untuk ambisi ini dikorbankannya dengan sengaja keaslian pribadi para murid serta pengikutnya. Pengaruhnya terlalu berat, hingga walaupun andaikata muridnya jujur, maka kejujuran ini tertimpa oleh ketidakjujuran sang guru yang kemudian menjadi milik muridnya juga.

Ketidakjujuran ini terasa dalam lukisan Sinjal (no. 9) oleh Hetty Udit; Komposisi (no. 11) oleh Karnedi; Pedjoang (no. 24) dan Gugur (no. 26) oleh Srihadi S., serta banyak lain-lainnya. Keenakan Srihadi memakai norma-norma, menghasilkan lukisan Anak Bertopeng (no. 29) yang kosong. Begitu pula Anak Gadis (no. 15) oleh Popo Iskandar. Dalam dua buah tangannya Invalid (no. 6) dan Gadis dan Laki-laki (no. 7) But Mochtar hanya tiba pada sketsa-sketsa berwarna, belum selesai. Begitu juga Sie Hauw Tjong dalam lukisannya Sticusa (no. 18) dan Soebhakto dalam dua lukisannya Anak-anak (no. 19 dan 20), meskipun disitu ada primitivisme yang mungkin bisa berkembang lebih lanjut secara segar dan halus. Primitivisme bercorak lain ada pula pada Soedjoko, tapi agak geforceerd. Edie Kartasoebarna lebih meyakinkan kami dengan buah kerjanya bernama Perahu (no. 8); disitu ia lepas dari mannerisme yang menghinggapi sebagian besar kawan-kawannya tadi, yang memakai modernime, terutama kubisme.

Kecuali Hetty Udit dan Karnedi yang menjadi guru sekolah seni lukis “Djiwa Mukti”, serta Edie Kartasoebarna dan Soedjoko yang menjabat asisten dosen pada Akademi Seni Rupa di Bandung, mereka ini semuanya mahasiswa akademi tersebut, yang masih menempel pada Fakultas Teknik. Dengan sendirinya ukuran kritik terhadap mahasiswa tak sewajarnya sama tingginya dengan ukuran kritik terhadap seniman yang sudah lepas di masyarakat. Dalam taraf sekarang, mereka tersebut di atas masih belum dapat membebaskan diri dari kungkungan kuliah. Kami harapkan mereka tahun depan dan selanjutnya menjadi lebih berpribadi. Untuk ini antara lain dibutuhkan keberanian mencari masalah-masalah sendiri dalam kehidupan serta melepaskan diri dari kekangan sang guru.

Nilai yang lebih tinggi dari mereka ini dapat tercapai, apabila sudah diatasi pengabdian pada norma-norma, keintelekan yang terlalu banyak pakai perhitungan, serta kekeringan ilham dan perasaan yang merajalela dalam pameran ini. Satu dari empat lukisan Achmad Sadali menurut kami sudah sampai pada pengatasan ini, ialah Kursi dan Kintjir (no. 1). Meskipun kemesraan hati disitu bercampur dengan pekerjaan otak yang sengaja dilatih untuk komposisi penuh perhitungan dan meskipun pengamatan yang menusuk seperti foto rontgen ini masih berbau laboratorium, namun ada terasa juga getaran darah dan daging, seperti refleks yang datang dari jauh. Refleks ini agaknya tiba-tiba menggugat si pelukis yang karena itu menjadi terkejut. Oleh sifat kejut dalam hasil kerjanya kita diragu-ragukan tentang kesadaran diri pelukis, hingga akhirnya kita menghadapi tanda-tanda: sudah sampaikah Sadali menyatakan pribadinya?

Berlainan sekali dengan keruwetan ini adalah suasana yang diantarkan oleh Kartono Yudhokusumo. Dia ini sederhana, meskipun objek-objeknya bertumpuk-tumpuk sampai kaki langit. Bentuk objek ini naif, warna-warnanya seperti pola kain atau bahan dekorasi. Kebatinannya adalah magis, seperti dongeng yang mengisahkan dewa dan demon. Dalam diri Kartono ada dalang bercerita yang membentuk dunia tersendiri; dunia khayalannya ini surealistis, karena tak mengindahkan norma-norma yang berlaku. Dalam hal itu kami hargai Kartono sebagai pencari dan penemu yang hanya puas, jika mengikutkan dirinya sendiri. Hal ini sangat berlainan dengan para exposan lainnya. Pelaksanaan sikap hidupnya ini berhasil dalam Pemandangan III (no. 14). Pemandangan II (no. 13) gagal, karena keentengan dan langitnya yang tak serasi dengan bagian lainnya. Kelemahan langit yang mengganggu ini kita saksikan juga dalam Pemandangan I (no. 12). Sayang, sebab disitu ia paling magis!

Kami menarik kesimpulan bahwa Kartono adalah satu-satunya yang berjejak pada bumi kehidupan, dan tidak bernafaskan hawa laboratorium Eropa yang telah dipindah ke Bandung dan diabdi orang di sana.

Kritik-kritik Terhadap Pelukis-pelukis Bandung