Sumber: Siasat, No. 393, Tahun VIII, Minggu, 19 Desember 1954, hlm. 26-27.
Di dalam ruangan Mutu Ilmu dan Seni dari R.R.I Jakarta oleh Trisno Sumardjo telah diucapkan kritik terhadap pameran lukisan pelukis-pelukis Bandung di Balai Budaya Jakarta.
Segera akan jelas juga bagi pembaca yang terhormat, bahwa tulisan saya ini adalah semacam surat terbuka kepada Trisno Sumardjo. Trisno sendiri tentu sudah lama menantikan reaksi dari pihak pelukis-pelukis tersebut. Mula-mula masih saya timbang-timbang juga, apakah menulis reaksi terhadap Trisno ini tidak akan berarti memboros tempo saja, tetapi akhirnya saya mulai sajalah. Trisno yang gagah tak usah menunggu lebih lama lagi, akan saya puaskan hatinya dan akan saya jawab seruannya yang lantang itu: “Rasakanlah sekarang, hai, pelukis-pelukis Bandung!”
Bagi mereka yang sudah mengunjungi pameran kami baru-baru ini, agaknya sudah jelaslah kedudukan saya di Bandung. Jadi bolehlah saya terka sangkaan pembaca, dan Trisno: “Sudjoko akan membela sekolahnya rupanya!” Habis apa lagi? Tulisan ini juga tidak berupa surat terbuka dengan “engkau” atau “kamu” didalamnya, oleh sebab Trisno sendiri memang tak pernah saya kenal. Jarang saya ke Jakarta, dan hingga kini Trisno pun belum pernah mampir-mampir ke Pendidikan Seni Rupa Bandung. Bagi Trisno yang royal berbicara mengenai Seni Rupa Bandung kelalaian ini saya rasakan sebagai suatu keberatan besar. Memang benar, setiap orang boleh bebas mengutarakan pendapatnya. Seorang pendusta misalnya berbuat demikian juga.
Sudah diketahui oleh banyak orang, terutama di Jakarta dan Jogja, bahwa sejumlah pelukis Bandung (mahasiswa dan bukan mahasiswa) sering menjalankan hal-hal yang tak lazim di Indonesia. Perbuatan-perbuatan mereka itu boleh tuan-tuan sebut “aneh-aneh” atau “gila”, tetapi Bandung tetap mengenalnya.
Banyak sekali kritik tak setuju dilemparkan kepada pelukis-pelukis tadi, kritik dari seniman-seniman Indonesia yang terkenal, dari menteri-menteri dan pembesar-pembesar tadi, kritik dari seniman Indonesia yang terkenal, dari menteri-menteri dan pembesar-pembesar lain dan dari Presiden Sukarno sendiri. (Betul, saya tahu juga seperti Trisno, apa nilai “kritik seni” dari politisi itu). Akan tetapi bila ternyata selama tahun-tahun ini bahwa pelukis-pelukis tadi tak berapa mengacuhkan kritik-kritik tersebut dan tenang saja melukis di atas jalannya sendiri, maka satu diantara dua: atau kritik-kritik tadi isinya kacau, atau pelukis-pelukis Bandung yang kepala batu dan tetap percaya kepada apa yang dilakukannya. Kedua-duanya benar. Sebab pelukis-pelukis tadi selalu yakin, bahwa mereka hingga kini masih lebih tahu dari apa yang dikatakan dalam kritik-kritik tadi. Bukannya karena pengeritik-pengeritik itu bodoh, tidak. Cuma ini, cara meninjau persoalan terlampau dangkal, atau salah, atau sama sekali tak kena, karena mereka memang tak pernah memperhatikan masalah seni lukis. Tetapi tidak juga berarti, bahwa semua pelukis lebih pintar dari pengeritik-pengeritik, tidak. Yang mereka ketahui hanyalah ini, yaitu kritik-kritik tadi bukan saja merupakan near-misses, tetapi bahkan lari ke lapangan-lapangan lain: misalnya “politik” dan “imperialisme”. Betul, kita di Bandung juga tahu dari sejarah kesenian (studi 5 tahun!) bahwa sekali-sekali ada juga hubungan yang erat antara seni dengan politik atau imperialisme. Tak perlu kiranya orang menceritakannya kembali kepada kami. Juga Saudara Trisno tidak. Malahan sebaliknya: sayalah nanti yang akan menceritakan kepada Saudara dan orang-orang, bila nanti tampak tendens-tendens penjajahan di Seni Rupa Bandung misalnya.
Trisno rupanya bukan anak kecil lagi. Dia mengarang dan menterjemahkan cerita-cerita dan sajak-sajak. Dia tak gentar menghadapi Shakespeare, dia melukis dan memotret, ditulisnya kritik-kritik mengenai pameran-pameran lukisan dan potret, dan masih banyak lagi barangkali. Benar juga bahwa seorang pengeritik itu tak usah mempunyai kepandaian melukis sendiri (Trisno memang tak pandai melukis). Sudah cukuplah bila seorang kritikus punya pengetahuan luas serta dalam mengenai seni lukis dan keadaan dunia seni lukis di tanah airnya sendiri. Disamping sensibilitas yang besar, sangat perlu juga suatu pergaulan yang banyak dengan pelukis-pelukis. Selanjutnya seorang kritikus tentu harus tahu benar tentang apa-apa yang dikritiknya. Sebab kalau tidak, niscaya dia cuma omong kosong saja, bukankah demikian, pembaca? Di Indonesia sini saya kira tak ada orang yang lebih banyak menulis tentang seni lukis dari Trisno. Dia boleh turut mengemudikan majalah “Indonesia”, dan memasukkan gambar-gambar dan potretnya di dalamnya, “Siasat” menerima tulisan-tulisannya, R.R.I. percaya kepada pendapat-pendapatnya…, pokoknya, Trisno sudah menjadi orang yang “diakui” lah. Dan sebagaimana biasa terjadi dengan orang-orang muda, pengakuan semacam ini akhirnya memabukkan diri Trisno juga, sehingga dia merasa berhak sekarang memperkatakan hal-hal yang sama sekali tidak (atau sedikit) diketahuinya. Caranya haruslah mengagumkan orang, dan dipakainyalah alat-alat yang selalu manjur itu: a. Kata-kata muluk dan nama-nama terkenal, tak peduli bagaimana memakainya; b. Mencaci.
Dengan perlengkapan ini Trisno beraksi antara lain di muka corong radio, dan dia lalu mencaci dan memaki…, Aduh, mak…! Oh, ya, kita tahu juga apa arti memaki itu. Mochtar Apin, Ries Mulder, Sadali, saya dan yang lain-lain disini sering juga maki-memaki. Kalau ada pelajaran yang kita dapat daripadanya, maka pertengkaran kita itu ada gunanya juga. Tetapi kalau Trisno mulai mencaci Bandung, kami disini bisa tertawa terbahak-bahak. Sebab Trisno pandai melucu juga! Cuma sayang, pidatonya di radio tadi menjadikan Trisno agak membosankan dan tak begitu menarik lagi.
Kenyataan-kenyataannya adalah sebagai berikut:
1. Tentang sejarah seni lukis tak berapa banyak diketahuinya.
2. Dunia lukis-melukis di Bandung tak diketahuinya (jadi hampir tak ada pelukis Bandung yang dikenalnya).
3. Selama hidupnya, tak pernah dia datang menengok di Seni Rupa Bandung.
Dan sekarang leluconnya: Trisno bersikap sebagai orang yang maha tahu tentang pendidikan di atas tersebut. (jangan kira, bahwa dari lukisan-lukisan kita saja sudah dapat Saudara buat macam-macam kesimpulan mengenai diri pelukis dan Pendidikan Seni Rupa Bandung, mari, mari, ah, Trisno, demikian pandaikah Saudara?) Sebenarnya masih banyak juga orang yang sangat berbeda pendirian dengan kami disini. Pelukis-pelukis Sudjojono dan Kusnadi misalnya. Tetapi bung-bung ini masih sudi mampir di Seni Rupa Bandung, melihat, memotret, dan ngobrol dengan kami. Dr. Murdowo (kini Atase Kebudayaan di London) yang sibuk itu pernah singgah pula beberapa kali diatelir-atelir kami untuk berdebat berjam-jam lamanya dengan mahasiswa-mahasiswa.
Seorang pemain piano masyhur, yang perhatiannya kepada seni lukis lebih besar dari kelelahannya dalam perjalanannya di Indonesia (Theo Bruins), mengingsut masuk ke Seni Rupa Bandung dan terjerat ke dalam perdebatan yang sengit.
Ini cuma contoh-contoh dari orang-orang yang terkenal saja, dan saya tidak punya maksud apa-apa, saya tidak mau kasih tonjol, atau menjilat, tidak, kecuali ini: orang-orang India, Pakistan, Tionghoa, Eropa, Amerika, profesor-profesor, wartawan-wartawan, seniman-seniman, pecinta-pecinta seni dan sebagainya, datang kepada kami untuk melihat, dan terutama sekali, untuk bercakap-cakap.
Mengapa? Oleh sebab inilah cara yang terbaik untuk mengenal kami. Mereka rupanya lebih bijaksana dari Trisno: dia tak tahu-menahu mengenai Bandung, tetapi cakapnya terlampau banyak. Lain dari Trisno, Kusnadi, Sudjojono, dan Dr. Mardowo tinggalnya lebih jauh dari Bandung, tetapi Trisno yang tak muncul-muncul saja. Arkian maka gulalah yang pertama-tama dibelinya kepada publik, kemudian gula yang tak bersih lagi. Basuki Abdullah dan Rogge disebutnya “peracun-peracun”, tetapi ampun Tuhan, adakah sebutan yang lebih baik bagi Saudara Trisno sendiri? Jadi bagaimana Bandung mau memperhatikan Trisno??!
Pernah saya di masa pemberontakan marah-marah kepada kawan saya yang menembak saja tak karuan dengan senapan mesinnya. Tetapi marah sekali juga tidak.
Sebab secara kebetulan saja sebutir peluru telah menjatuhkan sebuah kelapa muda. Menyindirlah Trisno, bahwa Seni Rupa Bandung itu tak lain daripada “laboratorium Eropa”. Tepat sih tidak, tetapi ada benarnya juga. Memang benar, bahwa Seni Rupa Bandung itu semacam laboratorium. Sebab disini kita adakan percobaan-percobaan, penyelidikan-penyelidikan, analisa-analisa, bahasan-bahasan, disini kami bekerja dan mengusahakan suatu dasar yang sehat dalam seni lukis. Saya turut serta juga, sebab turut membentuk kebudayaan Indonesia adalah kewajiban saya pula. Caranya? Ini tak akan saya bentangkan kepada Saudara. Lebih baik Saudara selidiki sendiri bagaimana kita bekerja. Atau barangkali bermanfaat juga, kalau sebagai langkah pertama Saudara ayunkan saja kaki ke Seni Rupa Bandung. Dan disini kita akan berkelakar, Saudara Trisno, Sjafei Sumardja, Ries Mulder, Hetty Udit, Sadali, Popo Iskandar, dan saya. Dan mari nanti kita bercerita tentang, ya ambil saja: “seni lukis”, “kolonialisme”, “infiltrasi kebudayaan”, “seni lukis nasional dan a-nasional”, tentang kata-kata Saudara yang hebat muluk itu seperti “kubisme”, “primitivisme”, “magie”, dan sebagainya, juga tentang ucapan-ucapan Saudara yang jenial seperti “keindahan yang datang dari jauh” dan segagah (seperti di radio) seperti Saudara kehendaki. Bagi kami disini pertengkaran adalah santapan sehari-hari, disamping mangkuk kopi tubruk kami.
Sekian dulu, saya mau istirahat sebentar sekarang. Saya tadi mulai dengan rasa malas, tetapi sekarang saya menjadi ketagihan menulis rupanya. Akan saya ambil secarik kertas lagi, akan saya isi pulpen saya, akan… Ah, marilah Saudara menulis lelucon lagi, Bung Trisno, di dalam majalah ini… (saya persilakan supaya agak cepat).
Sudjoko