Sumber: Mimbar Indonesia, No. 44-45, Tahun II, 3 November 1948, hlm. 11.
Pada tanggal 15 September 1946, pada pukul 9.30 pagi, di Sanatorium Pakem, berpulang ke tanah baqa, Cornel Simandjuntak.
Ia seorang pemuda Indonesia yang dilahirkan di Tapanuli, Sumatera, mengembara ke Jawa, berjiwa Indonesia dan bercita-cita manusia baru.
Cornel Simandjuntak adalah seorang seniman seni suara tetapi lebih lagi seniman tulen, sebab darahnya darah revolusioner, darah pemberontak lahir dan batin, apalagi ketika ia baru dalam masa meraung cita-cita, mencari tujuan dan mengelamun yang gaib, yang jauh-melepas.
Kalau tidak begitu Cornel Simandjuntak tak akan meninggalkan piano dan buku musiknya, dan memikul senapan dibahu dan pistol di pinggang.
Harus jiwanya kepada aksi, kering hatinya karena letusan bom dan granat, dan aksi serta kontra-aksi menjadi komposisi alam, mengumandang dalam telinganya lahir dan batin.
“Ah, mengapa aku bukan Beethoven,” berkata jiwanya, “akan aku ciptakan dentuman bunyian dan suasana revolusi dalam simfoni Indonesia yang gilang-gemilang.”
Jiwanya meraung buat mencari ilham dan pengalaman dan itulah sebabnya Cornel Simandjuntak, melawan hujan dan abu, haus dan lapar, angin dan panas, di tengah-tengah padang dan sawah di Kerawang, di Bekasi, dan banyak tempat lagi…
Sampai ia jatuh sakit. Sakit paru-paru. Badannya yang lemah, terlalu lemah buat jiwa yang besar, kuat. Dalam suasana tenteram di Pakem ia berpulang ke rahmatullah. Sahabat-sahabat dan kawan-kawannya mencucurkan air mata, sebab Cornel Simandjuntak pandai bersahabat, sekalipun ia seorang revolusioner yang keras. Ia setia dan jujur, dan tiada harta pusaka yang begitu berharga selain daripada kenang-kenangan pula pada kawan yang setia dan jujur.
Seniman Simandjuntak, mempunyai handicap seperti umumnya seniman Indonesia ber-handicap, ialah handicap teknis.
Seringkali aku katakan padanya, bahwa ia harus lebih banyak menghirup udara alam Indonesia di laut dan di desa, supaya sekolahan, dan pendidikan gereja dan Barat itu lambat-laun bertambah kurang nyata.
Sebab tekniknya diperdapat oleh Cornel dari nyanyian dan lagu-lagu gereja. Ia pun insyaf akan hal itu. Dan lama-kelamaan ia mulai meningkat ke ide sendiri, sekalipun motif lagu-lagunya masih dirasakan sebagai Barat.
Lambat-laun, ia bersandar kepada alam tanah airnya dan oleh karena darahnya deras mengalir sebagai anak Bukit Barisan anak pegunungan, maka tertariklah ia sering kepada suasana pegunungan. Tertarik ia kepada motif angin yang menderu-deru dan menghembus melalui pintu bukit di pegunungan. Dengarlah lagunya: O, Angin.
Sambung-menyambung rindu tanah air dan cinta-mesra didalamnya. Tercium didalamnya rindu yang mendalam:
O, angin, bawa keluhku bersama kau
melalui pegunungan hijau
Kepada dinda, yang amat tercinta
Bawa keluhku bersama kau…
Kadang-kadang jiwanya tertarik kepada kekuatan alam, dimana manusia merasa dirinya kecil. Sudi ia menyanyikannya, tetapi belum sanggup penuh menggambarkan dengan suara riuh-gemuruh di angkasa dari taufan yang meraung lalu di gunung, padang, dan rimba.
Tapi jiwa Simandjuntak memberanikan diri, dan sekalipun ia tak bisa mendekati apa yang pernah diciptakan oleh Wagner dan Beethoven dalam menggambarkan taufan, ia nyanyikan juga, dengan hati yang gembira dan berani. Bagi aku lagu Taufan lagu Indonesia yang berjiwa dan menyatakan kebangkitan pemuda Indonesia percaya kepada diri sendiri:
“Angin merasuk ke dalam kelam
Resah merembus membelai mega hitam
Berkuakan awan, bersiulkan dera topan
Berguruhan alam runtuh,
Berpekikan angin riuh,
Berpecahan tembok gelap,
Bersambaran kilat terang,
Tiap Insan berbangkitan,
Minta cerlang-kemenangan.”
Ada kalanya hati-sanubari Cornel terkena dan sedih-gembira dan rindu-dendam ketika menyaksikan matahari terbit, melihat sinar sang Surya seakan-akan bermain-main, berloncat-loncatan dari jauh, melalui gunung-gunung, bukit-bukit, padang-padang, dan pohon-pohon kayu.
Seakan-akan membawa penerangan dalam hatinya, seolah-olah membisikkan rahasia hidup dalam jiwanya, dan membangkitkan tenaga batin, iman yang hampir punah hilang. Dan siapa yang tak kadang-kadang seakan-akan mulai putus asa barang sedetik pun dalam kesukaran zaman Jepang dan zaman revolusi yang chaotis ini.
Hai, pagi yang baru menjelang.
Pulangkan imanku yang sudah hilang
Berikan daku cinta dan hasrat
Supaya aku boleh mendarat.
Kulihat terang, meski tak benderang
Sehingga gelap lambat-laun kan lenyap
Datanglah cahayanya dihati
Bawalah imanku kembali.
Tetapi ada kalanya jiwa Cornel, melepas, ringan, gembira, dan merasa kembali seperti sediakala, ketika masih tak punya kesukaran dan pikiran lesu. Ketika badan masih amat muda, kawan sepermainan masih sederhana. Jauh-jauh di Bukit Barisan, berayun-ayun di halaman sekolah, di bawah pohon beringin. Dihembus oleh angin bukit sepoi-sepoi, melunakkan hati sanubari, dan meminta suara gembira mendengung, melintas angkasa-raya. Dengarlah nyanyiannya: Berdendang, Tari nan permai.
Marilah kita berdendang kawan
Tari nan permai, tari nan permai
Riang gembira, berdendang kawan
Tari nan permai, tari nan permai
Yo, ayo, ayo, ayo, hidup jiwa berseri
Tarilah dendang gemulai, nyahkan sedih
Yo, ayo, ayo, ayo, hidup jiwa berseri
Tarilah dendang gemulai tak berhenti.
Marilah kita berdendang kawan
Tari nan permai, tari nan permai.
Banyak lagu yang diciptakan oleh Cornel Simandjuntak, antaranya komposisi kecil dari sajak-sajak Madah Kelana dari Sanusi Pane, dan siapa yang tak tahu, bahwa film Jepang Nampo Hodo, sebenarnya diiringi oleh musik Simandjuntak, dan bukan Nobuo Ida. Amboi, benar Cornel Simandjuntak, seorang seniman tulen. Penuh dengan rindu dendam, penuh dengan geram-seram, penuh dengan kasih-sayang, penuh dengan impuls, emosi, kejujuran, kesetiaan, dan segala yang ada pada manusia. Sebab seorang seniman tulen adalah manusia yang berjiwa, manusia tulen. Banyak yang bisa dipuji oleh khalayak ramai, banyak pula yang mungkin bisa dicaci-maki oleh golongan puritein dan dogmatis atau munafikun.
Sayang, seribu kali sayang Cornel tidak ada lagi. Dalam ciptaan-ciptaannya aku lihat terus-menerus garis menaik-mendaki, suaranya terus cres-cendo. Justru pada dewasa ini dimana tanah air dan bangsa sedang dalam krisis, dan jiwa kecil dan sempit mulai berkembang, kita membutuhi seniman berjiwa besar dan luas. Seperti kau Cornel Simandjuntak. Tetapi sebagai pelopor dari pemuda seniman Indonesia, namamu, seperti juga nama pemuda Supratman pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya tak akan dilupakan oleh bangsa dan tanah air Indonesia.
Masih seperti kemarin kami dari sandiwara penggemar Maya kagum melihatmu melatih koor gadis-gadis jelita dan pemuda-pemuda taruna buat menjelmakan ciptaanmu Madah Kelana. Tidak disebut orkes yang diperkuat oleh kawan-kawan yang riang gembira memberi tenaga jujur bersih. Kami tersenyum kalau kamu berganti-ganti seakan-akan berputus asa, kemudian penuh harapan membanting ranting kayu, yang dinamakan dirigeerstok ke lantai.
Memang perkumpulan kebudayaan, serta sandiwara penggemar Maya, juga kandangmu, dimana suaramu kadang-kadang bergemuruh dalam memperdebatkan soal: “seni buat seni”, “seni buat masyarakat”. Tetapi seia-sekata semuanya, bahwa, seorang seniman tulen, harus mempunyai persoonlijkheid, harus memiliki pribadi asli, mempunyai watak, bilamana ciptaannya akan membubung dan meningkat.
Tetapi “seni buat seni”, bukanlah tujuanmu, kawan. Ada kalanya aku gelak melihat tingkahmu bohemian, bilamana kau kira ada pula dogma: “seniwati buat seniman”. Siapa kan tidak. Kawan-kawanmu yang sekarang di “Arena” Jogja, “Seniman” Solo, dan “Gelanggang” Jakarta akan tersenyum kasih, mengingat kelakuan, dan tertib lakumu, kawan. Itulah tandanya juga mereka tidak akan melupakan kau, Cornel Simandjuntak…