Sumber: Pertjatoeran Doenia dan Film, No. 1, Tahun I, Juni 1941, hlm. 15.
Sesungguhnya semangat sesuatu bangsa dalam sesuatu zaman tergambar dalam seninya. Semangat zaman kita sekarang lebih nyata, kalau dibandingkan dengan semangat zaman dahulu, yaitu dengan jalan membandingkan kesusastraan zaman ini dengan kesusastraan zaman lama.
Cerita lama kebanyakan membawa kita ke dalam dunia raja-raja, dalam dunia raksasa, menghidupkan binatang sebagai manusia, pendeknya membawa kita ke dunia mimpi belaka, artinya tidaklah menggambarkan dunia yang sebenarnya di sekitar penulis. Lain belaka dengan kesusastraan zaman sekarang, menggambarkan kehidupan kita sendiri, mengemukakan soal yang hidup dalam kalangan kita. Soal menang dalam buku-buku lama sekali-sekali tidak ada diketengahkan sesuatu masalah. Cerita, itulah yang menjadi pokok, tentang salah seorang anak raja, yang terus-menerus mengembara, bersua dengan berbagai-bagai pengalaman yang terjadi dalam rasanya dan pikiran yang dikemukakan, melainkan pengalaman dalam perjalanan, dalam pengembaraan itu.
Masih ada lagi perbedaan buku lama dengan buku baru. Buku lama, isinya dapat direntang-rentang panjang-panjang, hari ini raja muda itu disuruh bersua dengan raksasa si anu, besok dengan seorang puteri, lusanya dengan raksasa si polan, dua hari kemudian dengan puteri negeri antah berantah, tetapi semuanya itu sama belaka, cuma nama raksasa, nama puteri, nama negeri yang berlainan. Buku baru berbatas, berpusat kepada sesuatu kejadian, kepada sesuatu soal.
Perubahan yang kelihatan dalam kesusasteraan itu antaranya ialah oleh tiga hal, ialah dynamiek individualisme, dan perasaan realiteit, kesukaan memandang yang nyata.
Orang tidak suka kepada cerita yang berpanjang-panjang. Orang tidak suka kepada cerita yang umum, yang tidak ada bedanya dengan cerita lain. Orang tidak suka semata-mata dibawa ke dunia mimpi, yang tidak berdasar kepada keadaan yang nyata tampak di sekitarnya.
Hal yang begitu bukan saja dalam kesusastraan tampak. Dalam dunia tonil juga. Tonil kata saya, perkataan itu saja sudah menjadi bukti akan perubahan yang terjadi di atas panggung. Dahulu kita namai komidi bangsawan atau stamboel. Pemakaian perkataan tonil sebagai langit dan bumi dengan pemakaian perkataan komidi bangsawan. Memang jauh bedanya apa yang dipertunjukkan di atas panggung tonil dengan yang diperlihatkan di atas panggung komidi bangsawan. Di atas panggung pun dynamiek, individualisme, dan realiteit sudah menjadi raja.
Sedang angin dynamiek, individualisme, dan realiteit itu menghembus dalam dunia kita, timbullah perusahaan film. Sudah lama film menarik hati anak Indonesia khususnya dan anak Timur umumnya. Tetapi film yang dilihatnya itu film buatan luar negeri. Pada waktu yang akhir-akhir ini baru dapat menarik perhatiannya film yang dibuat di negeri ini sendiri. Dahulu juga sudah pernah satu dua film buatan di sini, tetapi tidak dapat menawan hatinya.
Mengapa sekarang dapat? Menurut pendapat kita, karena ketika sifat tersebut tadi sudah mendalam, mulanya ditanamkan oleh kesusasteraan, kemudian menjalar juga ke dunia panggung, akhirnya tertarik ke dunia gambar dan lagu. Kebetulan sedang saya menulis karangan ini di Betawi sini, di gedung Kunstkring diadakan seteleng gambar buatan pelukis bangsa Indonesia. Beberapa tahun yang lalu rasanya tidak ada orang Eropa yang akan percaya bahwa anak Indonesia akan dapat melukis secara yang diperlihatkan oleh pelukis anak Indonesia zaman sekarang itu. Tetapi angin dynamiek, individualisme, dan realiteit sudah bertiup.
Sekarang gambar yang bergerak dan berbicara sudah mulai menjadi perhatian, sudah mulai menjadi buatan anak Indonesia sendiri, meskipun belum seanteronya. Dia hendak menanam biji dalam tanah yang sudah digemuki oleh kesusasteraan, seni panggung, seni gambar dan lagu (keroncong). Kami sebut namanya sejajar dengan ketiga rupa seni itu. Sudah patutkah berbuat begitu?
Sebenarnya belum. Sampai sekarang film buatan di sini masih terlalu mengingat publik. Dan sesuatu usaha dalam kalangan kesenian tidaklah dapat menjadi seni, kalau terlalu ditujukan kepada massa, kepada orang banyak. Tetapi bukanlah karena film itu kekurangan individualisme. Menurut perasaan kami, perusahaan film tidak akan dapat mengabaikan semangat yang nyata dalam kalangan Indonesia dalam hal seni. Boleh kita tunggu.