BAHASA DALAM FILM

Sumber: Pertjatoeran Doenia dan Film, No. 2, Tahun I, 1 Juli 1941, hlm. 5.

Film yang dibikin di tanah air kita selalu dibanjiri penonton. Banyak orang menjadi penggemar film dengan tiba-tiba. Tidak mengherankan, karena mereka mengerti akan bahasa yang dipakai dalam film itu, sehingga mereka pun cakap mengikuti laku ceritanya. Sebenarnya inilah yang menjadi pokok pangkal mereka tertarik oleh film itu. Bukan karena hendak mengetahui kecantikan bintang film atau kegagahan aktor yang barangkali mereka kenal.

Beralasan peristiwa tersebut tidak boleh tidak bahasa di dalam film merupakan soal yang penting, yang tidak boleh diabaikan.

Kita perhatian bahasa yang dipakai di dalam film-film yang sudah dibawa ke medan penonton. Bahasanya adalah bahasa campuran. Yang mendapat tempat paling besar ialah Melayu Betawi. Di sana-sini kadang-kadang kita dengar bahasa yang dicoba disusun bagus mengutamakan irama, berbentuk sajak. Disamping itu Melayu Tionghoa pun mendapat tempat.

Nyatalah di dalam film di Indonesia belum ditetapkan suatu pendirian tentang bahasa. Kalau sekiranya sudah ditentukan adalah “bahasa campuran” itu ketetapan mereka.

Kita berpendapat kalau demikian ketetapan mereka, tidak semestinya lah ketetapan itu dipegang teguh, karena bukan berisi suatu garis yang tentu, yang dapat menambah harga film, bahkan mungkin menurunkannya.

Memberi kemerdekaan kepada pemain-pemain untuk berbicara dengan bahasa sendiri supaya dapat mencurahkan perasaannya di dalam rol yang dipegangnya dapat kita benarkan, akan tetapi disamping itu ada pula keberatannya karena seorang pemain dengan lainnya banyak yang berlainan bahasanya.

Kita kehendakkan bahasa yang sama, bahasa yang teratur yang mudah dimengerti oleh penonton seumumnya. Bahasa itu ialah bahasa Indonesia, bahasa yang dimengerti oleh seluruh bangsa kita dari suku mana pun juga, tetapi tidak janggal pula bagi telinga bangsa asing yang sudah lama mengisap hawa tanah air kita.

Bahasa ini tidak janggal untuk dipakai di dalam segala film, baikpun yang menurut ceritanya berlaku di Andalas, maupun di Jawa Tengah. Kalau film ‘Melati van Agam’ memakai bahasa Indonesia, tentulah tidak akan janggal bagi telinga bangsa kita di Andalas. Begitu pula bahasa Indonesia di dalam ‘Kris Mataram’ pasti akan memuaskan bangsa kita di Jawa Tengah.

Bahasa Indonesia bukan bahasa campuran Melayu Betawi dan Melayu Tionghoa. Bahasa di dalam film bukan pula seharusnya merupakan rangkaian kata-kata berirama, karena bahasa demikian menjauhi keadaan sehari-hari, bertentangan dengan dasar-dasar pembikinan film.

Kalau kita meminta supaya di dalam film dipakai bahasa Indonesia, sepantasnya lah para film produsen memperhatikan secukupnya, karena bangsa Indonesia merupakan tiang penyokong yang paling kuat.

Untuk mulaikan pemakaian bahasa Indonesia dini hari pula perusahaan-perusahaan film sudah dapat melakukan, karena di dalam perusahaan itu sudah duduk beberapa kaum wartawan kita.

Kewajiban kaum wartawan disana tidak saja mencipta cerita, tetapi juga mengembangkan bahasa yang sesuai dengan harapan penggemar film.

Bahasa di dalam film adalah merupakan kekuatan penarik penonton yang pertama-tama. Kekuatan ini seharusnya diperbaiki. Dari bahasa campuran ke bahasa Indonesia.