Sumber: Bintang Timur, Minggu, 21 April 1963, hlm. III.
Tentang hal ini, tentang hal adanya proses perubahan yang bertingkat-tingkat dari apa yang dimimpikan penulis melalui kemampuan pemain menuju kepada tanggapan penonton, ada sebuah contoh pengalaman yang akan saya coba kemukakan disini.
Tatkala saya menciptakan “Bunga Rumah Makan”, tatkala saya menuliskan dialog-dialog yang diucapkan oleh tokoh seorang kiai di dalam “Bunga Rumah Makan” itu, maka terbayang di dalam pikiran saya bahwa kiai yang mengucapkan dialog-dialog itu mempunyai perawakan yang kurus, gerak-geriknya tenang, gayanya serius penuh dengan kesungguhan.
Tapi pada suatu ketika, muncullah di atas panggung pemain yang membawakan tokoh kiai itu seorang yang berbadan gemuk pendek, gerak-geriknya beringas, gayanya lincah. Ya, pemain itu setia kepada apa yang ditulis. Dialog-dialog yang diucapkannya adalah dialog-dialog sebagaimana yang saya tuliskan. Tapi apa yang terjadi? Para penonton banyak yang ketawa. Dan saya sendiri jadi kaget. Dan pada keesokannya salah seorang dari penonton itu datang kepada saya. Dia menegur saya, katanya: “Berani benar kau membikin tokoh seorang kiai sebagai badut”. Dan apa jawab saya? Saya tidak bisa bilang apa-apa. Saya tahu, itu bukan salah saya, bukan maksud saya melukiskan seorang kiai untuk diketawakan. Bukan keinginan saya semula memunculkan seorang tokoh kiai yang berbadan gemuk pendek dan bergerak-gerik lincah beringas. Tapi saya tahu, itu pun bukan salahnya yang gemuk pendek dan dengan gerak-geriknya yang beringas yang sudah diberikan Tuhan kepadanya, dia memang mempunyai hak penuh untuk muncul di atas panggung sebagai tokoh seorang kiai.
Mengapa tokoh kiai yang gemuk pendek itu jadi ketawaan itu pun bukan salahnya penonton. Mereka, para penonton itu, mereka pun mempunyai hak penuh untuk menyatakan tanggapannya berdasarkan apa yang tertangkap oleh panca inderanya.
Tapi dari pengalaman yang sederhana ini, sebagai penulis saya pun jadi lebih teliti lagi didalam menuliskan perwatakan tokoh-tokoh drama saya selanjutnya. Dengan perkataan lain: dengan adanya teguran penonton yang jujur itu, maka sebagai penulis saya merasa didorong untuk menuliskan lagi yang lebih baik, menuliskan lagi yang lebih sempurna.
Begitulah, dari contoh yang saya ceritakan ini, disadari atau tidak, telah berlaku suatu proses vicieuze cirkel tadi, suatu proses dari adanya kenyataan yang ilham-mengilhami dan hidup-menghidupi di antara penulisan permainan dan kriteria penonton.
Dan memang, adalah sesuatu yang tak akan bisa dibantah lagi bahwa sejarah perkembangan teater Indonesia seperti juga sejarahnya teater di mana-mana di seluruh dunia, akan berjalan di atas rel vicieuze cirkel itu. Sejarah perkembangan teater di Indonesia, seperti juga sejarahnya perkembangan teater dimana-mana, akan merupakan sejarahnya para penulis, para pemain dan juga para penontonnya. Penulis saja yang maju, tanpa pemain dan penonton yang maju, hasil penulisan itu akan tertumbuk ke jalan buntu. Penulis dan pemain saja yang maju, itupun akan berhenti di tengah jalan.
Saya pikir, itu William Shakespeare yang masyhur pun tak akan pernah begitu berhasil di dalam pekerjaannya, pada zamannya, kalau pada zamannya tidak ada para pemain yang besar-besar, tidak ada penontonnya yang pada matang-matang.
Dari itu, maka di dalam kesempatan ini, izinkanlah saya mengemukakan harapan, kalaupun saudara-saudara tidak bisa jadi penulis drama, jadilah saudara pemain, tapi pemain yang baik dan yang maju, yang akan mengilhami, menjiwai dan menciptakan penonton-penonton yang maju. Dan kalaupun saudara tidak jadi pemain, jadilah penonton yang baik dan yang maju, yang akan mengilhami, menjiwai dan memberikan dorongan bagi lahirnya penulis-penulis drama yang maju.
Abad kita sekarang sudah bukanlah lagi abad William Shakespeare. Di zaman sekarang, kesadaran tentang adanya itu vicieuze cirkel antara penulis yang menciptakan pemain yang memainkan dan penonton yang memberikan kriteria tidaklah lagi perlu dipraktekkan dengan hidup bersama berdekat-dekatan. Sekarang sudah ada radio dan surat-surat kabar, sudah ada kecepatan di dalam pemberitaan. Dan berita tentang adanya pemain yang baik, tentang adanya tanggapan penonton yang baik dari Medan, jangan dikira tidak didengar oleh para penulis drama di Jakarta. Jangan dikira kriteria penonton yang baik di Medan itu tidak merangsang para penulis di Jakarta untuk menuliskan lagi drama yang lebih baik.
Maka sebagai akhir kata, marilah kita hidup di dalam vicieuze cirkel itu, hidup di dalam lingkaran yang ilham-mengilhami itu. Tidak hanya antara Medan dan Jakarta saja, tidak hanya pemain dan penonton di Medan dan penulis di Jakarta saja atau sebaliknya. Tapi marilah kita susun vicieuze cirkel itu dari Sabang sampai ke Merauke!
Medan, 25 Maret 1963.