Sumber: Indonesia, No. 4, Tahun III, April 1951, hlm. 2-6.
Seni lukis yang dibicarakan disini ialah seni lukis merdeka yang baru tumbuh sesudah ada perkenalan dengan seni Barat. Ia bukanlah lanjutan dari yang lama, walaupun kebudayaan lama telah mencatat juga hasil-hasil yang besar yang berhubungan dengan ini, seperti, seni batik, seni wayang, seni patung, dan lain-lain.
Kalau seni lukis Indonesia baru kita terima pertama-tama sebagai wujud pernyataan jiwa bangsa Indonesia, maka haruslah kita bertolak dari kejadian yang penting dalam lapangan seni lukis Indonesia, ialah lahirnya Persagi di tahun 1938 (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia). Seni lukis yang terdahulu dari dia, walaupun sebagai suatu hasil seni barangkali mempunyai arti yang tidak kecil (kita teringat kepada pelukis Raden Saleh yang jadi masyhur dengan lukisannya: Kebakaran Dihutan) terpaksa harus ditinjau dan diukur dari titik sejarah yang diletakkan oleh Persagi.
Kepulasan yang panjang dari abad ke abad tidak menghasilkan apa-apa dalam lapangan seni. Orang masih tinggal pada yang lama, pada tradisi yang sudah jadi beku. Paling banyak usaha yang kecil-kecil saja yang ada, tetapi belum kuasa melepas diri, dan mencoba-coba mendekati keagungan lama. Barangkali juga banyak seniman yang tidak tercatat runtuh, putus asa di sebelah keagungan lama. Kesadaran belum datang, pribadi belum tumbuh. Penjajahan menuliskan sejarah hitam di segala lapangan. Jauh terpencil, di atas segala derita dan kesah bangsanya berdiri Raden Saleh di awang-awang. Ia adalah seniman pertama di Indonesia yang melukis a la Barat. Ia melukis pemandangan, binatang, dan potret-potret. Buah tangannya yang terkenal: Antara Hidup dan Mati (perkelahian binatang) dan Kebakaran Dihutan tersimpan di Rijkmuseum Amsterdam. Ia hidup dari tahun 1816 sampai 1880.
Sesudah Raden Saleh keadaan seni lukis di Indonesia sepi saja. Indonesia dibanjiri dengan gambar-gambar reproduksi luar negeri yang murah dan lukisan-lukisan pelukis Belanda di Indonesia yang tidak berarti. Di antara mereka ada seorang anak Indonesia yang juga mengadakan seteleng, ialah Raden Abdullah. Buah tangannya tidak mengatasi keadaan seni lukis dewasa itu, yang tidak lebih daripada gambaran yang bagus saja. Hati yang masih pulas tidak bisa melihat kenyataan yang pahit. Mata masih terpejam dalam mimpi yang nikmat dan hasilnya ialah lukisan-lukisan pemandangan yang serba indah. Masyarakat kolonial memang memintta hasil-hasil yang demikian itu. Lukisan adalah barang hiasan rumah pedagang kaya atau untuk dibeli si pelancong luar negeri yang tertarik melihat tanah Indonesia yang cantik.
S. Sudjojono pelopor Persagi yang dalam tulisannya sangat agresif terhadap keadaan seni lukis dewasa itu yang sudah menjadi barang dagangan yang bagus, mengatakan di tahun 1939, “Lukisan-lukisan yang kita lihat pada waktu sekarang tidak lain terbanyak lukisan-lukisan pemandangan: sawah yang sedang dibajak, sawah yang berair, jernih dan tenang, atau gunung yang kebiru-biruan… Semua serba bagus dan romantis bagai surga, semua serba enak, tenang, dan damai.”
Dua orang pelukis yang dapat dikatakan pelopor seni lukis baru Indonesia adalah Sudjojono dan Affandi. Sudjojono membentuk golongannya di Jakarta yang kemudian menjadi organisasi Persagi dan Affandi yang mencari nafkahnya di Bandung dengan jalan menjadi pelukis reklame mengadakan juga sekolahnya. Dari kedua orang ini datang pengertian yang benar tentang lukisan sebagai hasil seni. Dalam kebangkitan bangsa Indonesia di lapangan politik munculnya pribadi-pribadi demikian adalah hal yang logis. Sebagai seniman mereka dapat menangkap cepat penderitaan bangsanya dan lebih merasai dan menghargai arti kemerdekaan bagi manusia. Tidak heranlah kalau Sudjojono yang selain jadi pelukis juga seorang orator dan pengarang yang tajam pena nya, mempropagandakan besarnya arti watak bagi suatu hasil seni. Dengan memberi tekanan pada soal watak dan kemerdekaan ia menyerang pelukis-pelukis dimasanya yang romantis dan akademis.
Romantis disini lebih baik disebutkan romantis yang palsu dari perasaan yang kosong, sedang akademis hendaknya diartikan suatu ketentuan-ketentuan cara melukis yang menghukum tiap gerakan pembaruan dan tiap pernyataan perasaan diri. Warna-warna hitam dan putih misalnya tidaklah diterima sebagai warna.
Dalam zaman penjajahan yang susunan masyarakatnya adalah pelanggaran habis-habisan terhadap kemanusiaan, seorang seniman tidak bisa lain dari seorang pemberontak terhadap keadaan sekelilingnya dan seninya payahlah untuk dapat bebas dari heroisme dan retorik.
Untuk menjaga nilai manusia dari perbudakan, Sudjojono mengajarkan keberanian hidup yang ada resikonya. Lukisannya Sajang Aku Bukan Andjing, adalah sindiran yang tajam terhadap manusia sendiri (manusia kolonial?). Berhubungan dengan lukisan ini Sudjojono berkata, “Dalam banyak hal anjing lebih berani dari manusia. Karena sekerat tulang saja seekor anjing berani mempertaruhkan nyawanya dapat digeleng mobil.”
Jangan kita mencari logika dalam uraiannya itu dan kita terima intepretasi lukisannya itu sebagai suatu kemarahan terhadap manusia budak yang banyak mengisi masyarakat pegawai negeri pemerintah jajahan. Juga lukisannya itu minta kita ukur dari sudut lain daripada yang biasa untuk hasil seni. Ia typerend bagi masa jajahan. Ia dibuat di zaman pendudukan Jepang, dimana penindasan kekuasaan pemerintah sampai pada puncaknya.
Lukisan-lukisan Sudjojono dari tahun-tahun yang terdahulu sebagai hasil seni mempunyai arti yang jauh lebih tinggi. Kita ingatkan saja; Djalan Lempang, Mainan, Djongkatan dan Dimuka Kelambu Terbuka, dari tahun 1939. Disini Sudjojono tidak menunjukkan semangat ajaran yang heroistis, ia mencari kebersihan dalam bentuk dan warna, kebersihan tanggapan yang banyak kita jumpai pada si bocah (Mainan dan Djalan Lempang). Pada Dimuka Kelambu Terbuka terdapat ketenangan yang tajam mengiris hati.
Berlainan dengan Sudjojono, Affandi tidak mempunyai kepandaian berbicara atau menulis dan pada lukisan-lukisannya yang ekspresionistis lebih kentara heroisme yang meluap-luap melalui warna, bentuk dan tema. Walaupun kita akui bahwa garis warna dan bentuk dalam lukisan mempunyai fungsinya sendiri, tetapi psikologis lukisan-lukisan Affandi menunjukkan pergulatan terhadap kemelaratan rakyat. Juga dari sini kita akan lekas mendapat keterangan mengapa Affandi kemudian menamakan golongannya “pelukis rakjat”.
Tempat dan masa yang dihidupi oleh Sudjojono, Affandi dengan kawan-kawannya lekas membikin seni itu cuma suatu alat untuk mencapai tujuan yang berada di luar seni sendiri. Dalam hal ini lukisan-lukisan Sudjojono dari tahun-tahun sebelum perang menunjukkan bahwa ia lebih kuat dari yang lain. Kalau di Prancis hidup seorang Matisse yang merebut daerah sendiri bagi seni lukis, yang menjadikan dia sepotong tangan kursi dimana manusia bisa beristirahat sebentar dalam keadaan masyarakat yang meletihkan dan membosankan, di Indonesia ini seni lukis (dalam zaman Jepang lebih kentara) mau membawa dinamit hidup ke dalam jiwa rakyat.
Anehnya dalam hal ini seorang penganjur dari pemimpin rakyat yang besar seperti Bung Karno lebih menyukai bentuk klasistis gaya yang agung seperti pada Michelangelo dan Rubens, tidak hidup bergerak seperti pada van Gogh. Jiwa revolusionernya supaya cuma terbatas pada soal politik saja. Orang bisa menghargai hasil seni dari setiap masa, tetapi smaak kita minta diperhitungkan dengan masa kita sendiri.
Kedua orang pelopor senilukis Indonesia mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Betapa besarnya penderitaan dan pengorbanan mereka, dapat kita baca dalam suatu tulisan Sudjojono sendiri, “Dan pelukis yang demikian kalau tidak mau dimakan penyakit TBC, lebih baik menjadi guru, atau mencari pekerjaan klerk statistik, sebab menantikan waktu baik bilamana gambarnya laku lama lagi datang.”
Sesudahnya di dalam masyarakat yang ekonomis lemah, masyarakat yang baru mau tumbuh keluar dari himpitan penjajahan, kepada senimannya diminta ketabahan hati yang sangat besar. Dari mereka diminta pengorbanan yang mutlak. Dengan memelihara suasana merdeka dalam melukis dan menumbuhkan pribadi-pribadi yang kuat diantara murid-muridnya kedua orang pelopor itu berusaha ke arah pertumbuhan seni lukis Indonesia yang membawa coraknya sendiri. Pengaruh-pengaruh yang datangnya dari Barat, seperti aliran-aliran impresionisme dan expressionisme yang dirasai oleh kedua pelopor dalam dirinya, diusahakan jangan banyak mempengaruhi murid-muridnya.
Kesadaran dan visi dalam seni lukis inilah yang mempunyai arti besar dalam pertumbuhan seni lukis merdeka Indonesia. Disamping mendidik dan memimpin Sudjojono tidak berhenti-hentinya mengeritik aliran romantis dan akademis yang hidup terus dari masa yang dahulu pada diri pelukis Basuki Abdullah, anak Raden Abdullah Suriosubroto. Pelukis Indonesia ini sebelum pecahnya Perang Pasifik tidak pernah mendapat kesempatan untuk mensetelengkan lukisan-lukisannya di tempat yang pantas. Mereka hidup terpencil dalam kampung.
Baru dengan masuknya tantara Jepang pelukis-pelukis itu mendapat kesempatan dan penghargaan. Dengan maksud yang kurang baik Jepang telah menggabungkan seluruh seniman Indonesia dalam satu badan Pusat Kebudayaan. Tetapi walaupun demikian, tidak dapat disangkal bahwa ia telah mendatangkan kebaikan bagi seni lukis Indonesia. Kesempatan yang disediakan oleh pemerintah Jepang telah digunakan sebanyak-banyaknya dan Sudjojono yang mendapat atelier, dimana ia dengan leluasa dapat mendidik murid-muridnya telah berhasil menjaga kemerdekaan.
Bantuan material Jepang telah membawa kebaikan. Pelukis-pelukis yang tadinya tidak dikenal masyarakat sekarang sering mengadakan seteleng. Dengan begini orang mulai berkenalan dengan barang-barang yang baru dalam seni lukis. Berbagai-bagai aliran baru tampak dalam seteleng: Naturalisme, impresionisme, expressionisme.
Nama-nama pelukis yang pada waktu itu mulai dikenal masyarakat: S. Sudjojono, Affandi, Agus Djajasuminta, Otto Djajasuminta, Hendra, Basuki Resobowo, Emiria Sunasa, Henk Ngantung, Mochtar Apin, Sundoro, Trubus, Kerton, Baharudin dan Sudarso. Tidak semua dari pelukis-pelukis ini sebelum pecahnya perang mempunyai hubungan satu sama lain. Dengan adanya kesempatan yang luas itu banyaklah muncul pelukis-pelukis atau calon-calon pelukis yang tadinya tersembunyi sendiri-sendiri.
Sampai pada masa itu Sudjojono kelihatan masih menguasai keadaan. Sebuah motto yang ditulisnya dalam lukisannya tentang atelier nya sendiri dimana murid-murid sedang bekerja, berbunyi: “Mencari corak persatuan Indonesia,” menunjukkan dengan tegas betapa besarnya pengaruh kesadaran politik Indonesia yang menuju persatuan nasional mempengaruhi dia. Ini dibuktikan lagi dengan nyata-nyata waktu revolusi pecah di Indonesia. Sudjojono mengambil bagian yang aktif dalam babak pertama. Dengan kuas dan cat ia ikut mengadakan revolusi.
Sesudah revolusi, muncul di lapangan seni lukis Indonesia nama-nama baru, seperti Zaini, Oesman Effendi, Suromo, Hendra, Kusnadi, dan Sutiksna. Orang-orang ini di waktu Jepang masih jadi murid atau belum keluar dalam seteleng.
Terutama pada Oesman Effendi dan Zaini seni lukis Indonesia mendapat kelanjutannya. Walaupun tinggal di pusat perjuangan nasional (Jogjakarta) mereka masih sanggup melihat dengan jernih. Dengan tidak hanyut dalam arus politik mereka menunjukkan kedalaman. Mereka sudah dapat lampaui masa perjuangan merebut kemerdekaan pribadi. Kemerdekaan pada mereka tidak lagi menjadi tujuan, tetapi sudah menjadi milik yang sudah dipunyai. Dengan bersihkan diri dari segala pengaruh, mereka menunjukkan keaslian-keaslian yang sederhana.
Walaupun pelukis-pelukis muda ini belum menghasilkan lukisan-lukisan yang besar, namun dengan lukisan-lukisan cat air, pastel, dan coretan-coretan pena sudah menunjukkan, bahwa mereka sedang memulai halaman baru bagi seni lukis Indonesia. Zaini yang baru berumur 24 tahun telah menunjukkan pengertian tentang garis dan warna dalam seni lukis. Baik pada Zaini, maupun pada Oesman Effendi kelihatan pengaruh seni lukis abstrak. Dengan mengadakan eksperimen-eksperimen dengan warna dan garis mereka memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi pertumbuhan seni lukis Indonesia di hari yang akan datang. Kejernihan dan keaslian pada kedua pelukis muda ini menjadi pokok. Demikianlah kita lihat: dari romantis yang akademis, melalui impresionisme dan expressionisme dalam satu generasi seni lukis Indonesia sampai pada seni lukis yang abstrak.
M. Balfas (M.B.)
Tulisan ini juga dimuat dalam majalah Pendidikan dan Kebudajaan, 1950.