Sumber: Indonesia, No. 3, Tahun I, April 1949, hlm. 144-148.
Sandiwara Indonesia dewasa ini sudah kehabisan darah. Darah serta ketumbuhan baru yang mulai mengaliri tubuhnya pada masa pendudukan Jepang telah tak kelihatan lagi bekas-bekasnya. Apa yang tinggal sekarang ini hanyalah pecahan dan runtuhan belaka dari sebuah gedung yang belum selesai pula. Sandiwara-sandiwara usaha yang secara kecil-kecilan mencoba mendirikan pondok-pondok dan hidup di atas runtuhan itu, semata-mata menemui kegagalan.
Untuk menghindarkan salah paham, baiklah disini ditegaskan sekali lagi, bahwa yang dimaksud dengan sandiwara Indonesia ialah sandiwara modern yang nyata-nyata menerima pengaruh dari Barat. Kata sandiwara dipakai di sini dalam arti theatre (toneel) untuk membedakannya dengan pengertian drama (lakon). Pada hakikatnya, dibandingkan dengan cabang kesenian Indonesia yang lain, seperti kesusastraan atau seni rupa, kesenian sandiwara Indonesia merupakan suatu bagian yang merasa. Kesusastraan Indonesia pada zaman Pudjangga Baru misalnya sedikit banyak telah meresapkan hawa kesusastraan dunia yang sehat meskipun pandangan terlalu dihadapkan kepada pujangga-pujangga ’80. Sedang sandiwara pada masa itu telah merasa puas dengan cangkokan dan barang tiruan yang diambil dari kesenian Barat yang sangat diragui nilainya. Nyatalah, bahwa dasar tumbuhnya dari semula sudah tidak sehat. Meskipun demikian, hal ini tidak perlu mengherankan benar, jika diperhitungkan siapa yang biasanya memenuhi bangsal-bangsal pertunjukan pada masa itu. Bagian masyarakat yang merupakan penonton tonil itu memang tidak meminta lebih daripada yang disajikan pada mereka. Sedang bagi kaum sandiwara sendiri selera penonton itulah yang dijadikan ukuran baik tidaknya pertunjukan mereka. Jika dibandingkan kualitas pembaca karangan-karangan para Pudjangga baru dengan kualitas penonton “Bolero” atau “Miss Ribut” misalnya, tampaklah suatu jurang yang lebar yang memisahkan dua golongan masyarakat ini. Tetapi akan jelas pula bahwa dalam jumlah penonton “Bolero” itu jauh lebih besar dari pembaca buku-buku yang bernilai kesusastraan.
***
Tidak dapat disangkal sandiwara adalah kesenian bagi masyarakat luas, yang tidak ada duanya. Sandiwara tidak dapat bermewah-mewah dalam memilih penontonnya karena baginya yang menjadi syarat hidup yang terpenting adalah perhatian yang besar dan ruangan yang penuh. Karena suatu pertunjukkan sandiwara dengan tiadanya penonton, meskipun bagaimana bagusnya cerita dan indahnya permainan para pelaku, tetap akan kelihatan edan dan tiada mempunyai arti. Jelaslah, bahwa kesenian sandiwara lebih dari kesenian-kesenian yang lain, maju mundurnya tergantung kepada perhatian masyarakat ramai, serta tinggi rendah mutunya dipengaruhi sangat oleh derajat kebudayaan masyarakat itu. Sepanjang penyelidikan penulis tentang sejarah sandiwara dan lakon, belum pernah terjadi suatu keadaan, waktu kesenian sandiwara mengalami kemegahannya, sedang masyarakat ramai berpaling diri. Adakalanya memang sandiwara itu mencapai puncak yang gilang gemilang berkat junjungan sebagian masyarakat yang kecil, misalnya dalam lingkungan istana dan keraton raja-raja. Tetapi ukuran ini tidak laku lagi dalam abad kedaulatan rakyat dewasa ini.
Saling pengaruh antara masyarakat dan sandiwara kita jumpai dalam sejarah dalam berbagai keadaan dan ragam. Masyarakat yang sedang mengalami kedamaian dan kemakmuran rohani dan jasmani akan memuja dan menimang-nimang sandiwaranya, karena sandiwara bagi mereka akan merupakan kolam rohaniah tempat bersenang-senang dan bepuas diri ataupun tempat menangguk nilai-nilai bagi perbekalan kerohaniaan. Tetapi masyarakat yang sedang terlibat dalam kesukaran-kesukaran, atau sedang mengalami percobaan-percobaan besar tiada akan berkesempatan lagi untuk menikmati keindahan dan kesenian, paling banyak orang mengunjungi sandiwara hanyalah untuk lari dari kepahitan dan kekecewaan hidup. Dan dalam keadaan demikian tiada ada diminta, selain dari hiburan dan pelupaan, maka jadilah para seniman sandiwara serta keseniannya budak belaka yang terserah kepada muak-benci masyarakat yang menghidupinya.
***
Satu keadaan yang agak khas ingin penulis kemukakan di sini. Pada masa pendidikan Jepang misalnya, kita lihat sandiwara Indonesia mengalami masa maju yang belum pernah dilaluinya sebelum itu. Banyak “pendekar-pendekar kebudayaan” bangsa awak yang tidak dapat atau tidak mau melihat kenyataan sebesar gajah itu, sebab bagi mereka yang tampak hanyalah hasil-hasil “seniman kapas” dan “seniman pengkhianat” yang dengan sengaja mereka tonjol-tonjolkan ke depan untuk membuktikan bagaimana “suci” dan “sakti”-nya mereka pada masa itu. Dengan demikian mereka tidak bersikap adil dan sportif terhadap hasil-hasil yang sesungguhnya sudah tercapai dalam zaman pendudukan Jepang dalam berbagai cabang kesenian. Baik dalam seni suara (Simandjuntak) ataupun dalan seni rupa (Affandi!) dan kesusastraan (orang suka membeda- bedakan yang “resmi” dan yang “di bawah tanah” !) belum pernah terdapat ketumbuhan serta perkembangan yang demikian suburnya, baik sebelum perang maupun di zaman merdeka. Orang suka lupa memperhitungkan dua faktor yang dapat menjelaskan keadaan yang sepintas lalu kelihatan aneh ini. Pertama, bahwa waktu itulah masa kebangkitan serta kelahiran baru bagi bangsa Indonesia, waktu manusia Indonesia mendapat kembali harkat serta harga diri sendiri.
Kedua, bahwa Jepang menjalankan suatu politik kebudayaan yang bermaksud menjepangkan bangsa Indonesia dan karena itu mau tidak mau terpaksa membuka saluran-saluran yang selama ini tertutup, yang berarti membuka kesempatan bagi perkembangan kesadaran kebangsaan, meskipun “dalam lingkungan Asia Timur Raya”.
Bahwa eksperimen ini berakibat “senjata makan tuan” terletak pada kesalahan pandangan serta perhitungan pihak Jepang. Tetapi tetaplah kemajuan itu menjadi jasa para seniman indonesia sendiri yang telah sanggup mewujudkan gelora kebangunan mereka ke dalam bentuk-bentuk yang nyata, meskipun belum dan jauh dari sempurna.
Tiadalah mengherankan, jika masyarakat Indonesia yang sedang meresapkan semangat kebangsaan pada dirinya, menyambut usaha-usaha mempertinggi derajat kesenian nasional itu dengan rasa bangga serta spontan, tambah lagi untuk mendemonstrasikan terhadap jepang kesanggupan bangsa dewek yang sering dengan sengaja, dengan cara menghina diejek-ejek oleh “putera-putera dewata” ini.
Demikian Sandiwara Indonesia telah sanggup memberikan kepada masyarakat tidak saja kesadaran baru tentang harkat dan harga diri sendiri, tetapi juga menyediakan buat mereka suatu tempat untuk melupakan kepahitan serta kekecewaan hidup sehari-hari. Dan bagi para seniman sandiwara berlakulah pepatah: Siapa tidak berkesempatan memerintah dunia, jadilah dia raja di atas panggung.
***
Adakalanya pula masyarakat terkungkung perhatiannya pada soal-soal yang menentukan hidup matinya, karena kehidupan itu senantiasa dalam keadaan terancam, baik oleh bahaya dari luar ataupun dari dalam. Dan dapatlah dipahamkan bahwa masyarakat itu tidak akan banyak mempunyai kesempatan untuk memelihara ketumbuhan kesenian sandiwara yang memerlukan zat hidup dari padanya, seperti keadaannya dalam Republik sebelum dan diantara gerakan-gerakan militer Belanda. Usaha-usaha mempertinggi derajat serta mutu kesandiwaraan umumnya yang terutama berpusat pada Serikat Artis Sandiwara telah menemui jalan buntu disebabkan kegelisahan masyarakat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah politis dan ekonomis. Dan banyak kali pula kepentingan-kepentingan kesenian terdesak sama sekali ke belakang oleh kepentingan-kepentingan politis, hingga timbul sebuah anggapan, bahwa kesenian itu adalah suatu kemewahan dalam zaman perjuangan dan revolusi. Sedang mereka yang harus berjuang melawan segala prasangka ini yang sering kali pula disertai dengan tuduhan-tuduhan yang semena-mena, masih tetap mereka yang sejak zaman kependudukan Jepang tidak mendapat kesempatan beristirahat, hingga dapatlah dipahamkan, bahwa daya pendorong (pushing power) yang ada pada mereka pun sudah sampai pada batasnya. Dan mereka yang tadinya “bergerak di bawah tanah” dan membangga-banggakan, bahwa mereka adalah seniman yang sesungguhnya hanyalah pandai menepuk-nepuk dada dari pinggir jalan.
Sejak semula, juga orang-orang pemerintah yang bertanggung jawab terbawa-bawa dalam prasangka yang tidak pada tempatnya itu. Bukan dimaksud disini untuk “menepuk air didulang”, tetapi mendengar banyaknya suara-suara yang timbul akhir-akhir ini yang dengan sengaja atau tidak memberikan gambaran yang berat sebelah sekitar masalah-masalah kesenian kita pada masa yang lalu dan dewasa ini dan dengan demikian menarik kesimpulan-kesimpulan yang keliru, perlulah di sini diluruskan mana yang bengkok, supaya jelas duduk perkara yang sebenarnya.
Tiga tahun lebih sejumlah “kuli-kuli kesenian” di berbagai tempat di Jawa ini bersusah payah untuk menggiatkan perkembangan kesenian nasional tetapi dengan mengingat keadaan dan kesempatan yang ada, yang pada hakekatnya belum pernah didapat dalam sejarah kesenian bangsa Indonesia, tiadalah usaha-usaha mereka itu mendapat sambutan yang layak diperolehnya. Terutama hal ini dapat dibuktikan pada kesenian-kesenian sandiwara yang pada umumnya memang jadi kaca masyarakat yang tidak membohong.
Sesudah Kongres Kebudayaan di Magelang pada pertengahan tahun yang lalu, mulai agak ketara suatu politik kebudayaan yang agak pasti dan didirikanlah suatu Cine Drama Instituut yang mendapat sokongan penuh dari pemerintah. Tetapi umurnya hanyalah beberapa bulan karena suatu gerakan militer telah mengakhiri terlaksananya suatu rencana yang mungkin bagus dan indah. Meskipun bagaimana, suatu pelajaran yang pahit, suatu tragis dan suatu ironi nasib!
***
Meninjau ke masa depan yang masih serba kabur, hanyalah suatu kenyataan yang dapat dikemukakan sekarang ini. Jika sandiwara mau hidup subur dan megah, hendaklah pula dia mempunyai masyarakat penonton yang luas dan makmur pula, yang berkesempatan memberikan perhatian yang selayaknya pada hal-hal kesenian. Sandiwara Indonesia membutuhkan masyarakat yang berkesadaran kebudayaan Indonesia, dia membutuhkan masyarakat besar yang tinggi kecerdasannya. Karena meskipun bagaimana para pemuka “avant garde” kesenian sandiwara Indonesia berjingkrak-jingkrak ingin membawa keseniannya kepada mutu yang tidak memalukan, jika dia cuma dapat bicara dengan sebagian kecil masyarakat yang cerdas saja, tiadalah akan tercapai yang dicita-cita. Dan masih jauh terletak “angan-angan si Melayu” yang rindukan sebuah lakon dapat dipertunjukkan sampai berbulan-bulan berturut-turut seperti di Broadway. Masalah yang terbesar bagi dunia sandiwara Indonesia dewasa ini ialah, mau terlalu meningkat tinggi, andai kata kesanggupan memanjat itu ada, akan lenyaplah perhubungan yang begitu diperlukan dengan masyarakat ramai; mau ke bawah lagi dari tingkat yang sudah dicapai sekarang pastilah semua akan berakhir pada keruntuhan.
Pada hakekatnya, masalah ini juga menjadi persoalan bagi cabang-cabang kesenian yang lain —dan tidak saja di indonesia ini, tetapi tidaklah dia mencapai kesulitan-kesulitan yang demikian besarnya seperti pada sandiwara. Pedoman bagi kaum “avant garde” ialah mencari angka pembagi yang terbesar antara kedua ujung ini, dengan tidak mengabaikan usaha mencapai tingkat yang setinggi-tingginya meskipun hanya untuk ditujukan kepada penonton yang terpilih saja. Sementara itu janganlah hendaknya sandiwara Indonesia itu terputus hubungannya dengan massa dan hendaklah diusahakan, supaya sandiwara-sandiwara rakyat mendapat dasar serta bahan-bahan perumahan yang lebih kokoh. Semua ini hanyalah dapat dilaksanakan secara total dan kolektif.