Sumber: Konfrontasi, No. 8, Tahun 2, September-Oktober 1955, hlm. 48-52.
Barang siapa memasuki ruang pamer Balai Budaya di Jakarta pada beberapa minggu yang lalu, dan tiba-tiba mendapatkan dirinya berhadapan dengan lukisan-lukisan Affandi, yang dari keseimbangan konvensional beralih kepada gelora yang meluap-luap, maka tidaklah mudah baginya untuk menemui tanda-tanda khas dari suatu aliran tertentu mana pun dalam diri pelukis ini. Kumpulan lukisan yang dipamerkan, sebanyak 40 lukisan minyak, sebuah plastik, dan 4 sketsa, sekalipun hanya mengutarakan sebagian kecil dari keseluruhan buah tangannya —selama dua tahun perantauan Affandi telah menyudahkan 200 buah lukisan— memberikan, biarpun tidak pada sekaliannya, suatu kesan kebulatan tentang perkembangan seni lukisnya.
Buah tangannya yang terdahulu —sekaliannya potret-potret menunjukkan bahwa seniman yang tumbuh sama sekali secara otodidak itu masih berada dalam tingkat permulaan dari perkembangannya. Namun tiada sangsi lagi, mereka sudah mencatatkan satu pembawaan yang kuat. Gambaran dan sapuan cat menyatakan tangan yang kukuh dari seorang yang berbakat dan terutama sekali dalam “Ibu” dan “Potret Sendiri” tampak keharuan batinnya, keharuan mana diredakan dengan teknik dan gerak konvensional; lukisannya bagus namun tidak menyayat hati, ia berbicara dengan nada penuh keindahan, tapi tidak mengisak sebagaimana kebanyakan hasil tangannya yang kemudian.
Segera kebebasan jiwa pun menyusul. Affandi yang tidak pernah mengecap pendidikan akademi, seorang yang berbakat alam, yang mencari jalan sendiri, pada permulaannya sebagai guru sekolah rakyat menetap di Bandung. Ia —boleh dikatakan— tidak mendapat kesempatan untuk mengambil pelajaran dari contoh-contoh lukisan besar dan asli, sumber-sumber ilhamnya adalah reproduksi-reproduksi sederhana dalam berbagai majalah serta kehidupan sekitar, yang diresapinya tidak saja dengan indera penglihatan melainkan lebih-lebih dengan jiwa seniman, drama penghidupan yang tidak lagi melepaskannya, dan dimanapun ia berada mendorongnya keluar dari kongkongan hidup yang “burgerlijk” ke dalam hidup seniman yang bebas dari tradisi dan serba prasangka, kepada pengakuan-pengakuan yang tidak terikat, mulai dari keselarasan yang indah mesra sampai kepada kesumbangan-kesumbangan yang menyolok, dan dari batas-batas tanah air yang sempit ke dunia lain yang pada hakekatnya bermakna serupa.
Kemudian dapatlah ia melawat ke India dimana ia bermukim selama dua tahun dan dimana ia —sebagai dikatakannya sendiri— memperoleh ilham yang paling kuat. Dari India ia pergi ke Eropa, ke Nederland, ke London, dimana ia menetap pula selama dua tahun, ketika mana ia telah menjadi seorang pelukis yang diakui. Sesudah London menyusul Paris, kemudian biennale di Sao Paulo pada tahun 1953 dan akhirnya Biennale Venesia di tahun 1954.
Pokok dan bahan ciptaan-ciptaannya didukung oleh jiwa kaya, mereka bersilih ganti dari pemandangan-pemandangan alam, potret-potret kepada tanggapan-tanggapan di jalan-jalan dan pemandangan dalam ruang. Cara pengutaraannya serba ragam sebagai juga bahan lukisannya.
Buah tangan Affandi sukar dimasukkan ke dalam suatu aliran seni lukis mana pun. Agaknya ia paling dekat bisa digolongkan dengan para ekspresionis, dengan siapa-siapa ia sejiwa dalam kegundahan-kegundahan batin, pergulatan dahsyat, nuansa-nuansa eksentrik, pemusatan pikiran yang habis-habisan serta bentuk-bentuk yang ekspresif. Berpendidikan otodidak seperti kebanyakan pelukis Brücke di Jerman, ia hanya dikuasai oleh hasrat memberi bentuk, yang tumbuh dalam pertemuan-pertemuan gemuruh dari apa yang disebut penghidupan. Dan sebagai juga kebanyakan dari pelukis-pelukis lainnya ia pun berhutang kepada van Gogh, dengan sadar atau tidak sadar, hal mana tidak merupakan soal, yang dalam banyak hubungan kejiwaan adalah pelopor aliran modern. Reaksi Affandi sendiri atas pertanyaan semacam itu adalah: “Benar, beberapa kritikus telah menyatakan adanya pengaruh van Gogh dalam lukisan-lukisan saya.” Tidak saja dalam sapuan cat yang berantakan, juga dalam kuning berputar-putar dari suatu matahari menonjol unsur-unsur van Gogh, bahkan pola-polanya menunjukkan adanya suatu pengaruh —atau suatu kesejiwaan— potret seorang ibu merana dalam sebuah ruang yang serba tidak lengkap, seorang tamu dalam restoran (“Orang di Restoran”). Tapi apa benarlah arti pengaruh bagi nilai seni seorang pelukis? Ia tidak bisa diambil patokan bagi kebesaran suatu hasil seni. Seorang Raphael pernah belajar pada seorang Perugino, namun betapa jauh lebih agung buah tangan si murid dari gurunya. Dimana unsur-unsur yang mempengaruhi masih merupakan suatu tubuh asing, maka disana nyatalah bahwa tingkat si seniman yang sesungguhnya belum tercapai. Juga Affandi telah membuat lukisan-lukisan yang masih berbau van Gogh dan belum khas mengutarakan pribadinya sendiri, sebagaimana juga disamping hasil-hasilnya yang terbaik bergantung buah tangan yang lemah bahkan lukisan-lukisan yang tidak mengandung pemusatan pikiran yang menyeluruh. Bagian-bagian yang sumbang, yang tidak saja tanpa cahaya kejiwaan bahkan tanpa penentuan bentuk yang bagaimana sederhana sekalipun, justru ditemui pada beberapa lukisan-lukisannya yang terkuat. Tapi itu kurang penting. Seorang seniman dihargai menurut hasil-hasil tangannya yang terbaik dan Affandi bisa mengemukakan lukisan-lukisan yang mutunya tinggi membubung ke atas tingkat kebanyakan pelukis-pelukis muda Indonesia ataupun Eropa.
Adapun seni lukisnya, bukanlah suatu kesempurnaan dalam bentuk yang telah diolah licin, sebab memang bukan itu tujuannya. Kekuatannya terletak pada kesungguhan pengakuannya, dan memang banyak yang hendak dinyatakannya, baik tentang duka cerita penghidupan, maupun tentang keriaannya yang melonjak-lonjak atau kelembutannya dan keindahan-keindahan mesra dalam penjelmaan-penjelmaannya.
Barangsiapa melihat pandangan hebat dari ayam-ayam jago dalam pertandingan, yang jelas sekali mengemukakan bakatnya untuk seni potret —yang mana oleh pelukis Brücke, Ernst Ludwig Kirchner pernah disebut pelukisan batin manusia— barangsiapa menyaksikan potret-potret ini hampir-hampir tidak bisa mempercayai kemesraan yang tak terhingga serta kesayangan pada lukisan potret cucunya (“Satu Hari Dengan Tjutju”). Ini adalah salah sebuah dari buah tangannya yang terbagus, satu komposisi yang lahir dari perpaduan antara kenyataan dan bawah sadar, sebuah lambang dari bentuk asal penghidupan. Juga lukisan potretnya sendiri dengan cucunya laki-laki (“Saya Dengan Tjutju”) diliputi kemesraan ini, tapi disini dihadapkan dengan kekerasan penghidupan. Suatu pernyataan pribadi sendiri yang asing dari segala keindahan yang palsu. Hidup yang masih harus ditempuh anak yang tidak berdaya itu seperti mendapat ketentuan dalam penghadapannya dengan kepala kakek yang bergurat-gurat dan seperti digoreskan oleh takdir itu.
Salah satu kekuatan Affandi yang utama adalah pengemukaan kemutlakan dan dramatisasi penghidupan sehari-hari. Dimana ia mencoba mengemukakan masyarakat kekotaan, menjamah permukaan penghidupan yang tampaknya indah, unsur mana menjadi pegangan bagi para impresionis, disana ia terpaksa sampai di bumi yang asing baginya. Jiwanya yang gelisah senantiasa menghadapkan satu keseimbangan yang laras dengan unsur-unsur kebalauan seperti dalam “Park di London” yang dalam pokok persoalannya mengingatkan kepada mazhab impresionis serta para pengikutnya, juga kepada beberapa tamasya alam dari kaum de Fauves, justru ia keluputan unsur-unsur khas dari aliran seni ini, yaitu suasana yang tidak tragis sama sekali dari sifat kekotaan yang dipaksakan, ini tampak benar baik dalam keliaran gelombang baju perempuan yang sedang berjalan mendudu dengan kereta anak, ataupun dalam sapuan cat cepat-cepat dari orang-orang yang memenuhi taman itu. Pemandangan yang nyaman dari para pelancong dilukiskan menara Eiffel dihadapkannya dengan tenaga mengancam yang menyeluruh dari menara Eiffel itu sendiri.
Suatu kerasukan yang berkecamuk tidak saja menguasai lukisan-lukisan manusianya, juga pemandangan-pemandangan alamnya, gunung-gunung dan lembah-lembah yang seperti liar bergerak-gerak, rumput yang tekuk merunduk dalam cuaca topan, dilontarkan dengan sapuan-sapuan cat yang berani. Tiada seorang umat manusia pun bisa mengganggu kehadiran mereka yang dahsyat. Alam yang sunyi, elok namun selalu mengancam!
Yang terindah yang diberikan pameran ini, adalah kumpulan sketsa-sketsa yang jelas menunjukkan bakat menggambar Affandi yang besar, yang bahkan masih tampak dalam lukisan-lukisan catnya yang paling intensif. Agaknya sebab sketsa-sketsa ini lebih langsung berbicara kepada kita karena kita tidak usah lebih dahulu melalui rintangan yang kelewatan dari sapuan-sapuan cat dan tidak konvensional itu.
Kerasukan yang irasional diteduhi disini oleh keniskalaan dari hitam putih gambaran-gambarannya, yang justru tetap merupakan pengakuan yang mempesona dari kehidupan manusia.
Betapa pun kuatnya para penonton tertarik ataupun merasa muak dalam menerima lukisan-lukisan itu, namun melengahkannya orang tidaklah mungkin. Lukisan-lukisan itu tidak membiarkan suatu pelengahan, bagaimanapun juga diputarbalikkan dan diperkosa suatu kenyataan.
Ini adalah terang. Dalam buah tangan Affandi bentuk dan isi adalah tunggal. Apa yang hendak dikatakan oleh seniman, ini apa yang harus dikatakannya, itu dilakukannya dalam bentuk, dengan alat-alat pengucapan, yang menjadi suatu keharusan dan suatu kesewajaran baginya. Tidak ada kekenesan dalam pekerjaannya. Lukisan-lukisannya tidak mengejar kepengaruhan melainkan kejujuran dan inilah merupakan nilai lukisan-lukisan Affandi.