REOG SEBAGAI KESENIAN RAKYAT: DIPENTASKAN OLEH BADAN KESENIAN KEPOLISIAN NEGARA DI JAKARTA

Sumber: Star Weekly, No. 800, Tahun 16, 29 April 1961, hlm. 18.

Dalam sepuluh tahun yang terakhir ini kecenderungan untuk memberikan tempat kepada kesenian rakyat tampaknya makin bertambah kuat. Hal ini dapatlah dipahami, apabila kita mengingat, bahwa rakyat yang sebagian besar tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati kesenian, karena kesenian tersebut dalam kenyataannya hanya memberikan kesempatan kepada sebagian kecil dari rakyat kita, harus mendapat kesempatan pula untuk menikmati mesranya dorongan estetik dari kesenian. Berdasarkan pengertian ini adalah wajar apabila pemerintah membantu dengan sebesar-besarnya kecenderungan untuk memberikan kepada sebagian terbesar rakyat kesenian rakyat ini. Demikianlah sebagai salah satu aspeknya kita mengenal usaha menghidupkan kesenian rakyat yang berupa reog oleh Badan Kesenian Kepolisian Negara sebagai salah satu instansi pemerintah. Kita bergembira mendapat kesempatan untuk menyaksikan prestasi kesenian rakyat tersebut yang pada tanggal 8 April yang lalu dipentaskan di Gedung Kesenian. Adapun pementasan tersebut dimaksudkan untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri dan menyelenggarakan suatu acara yang dinamakan “Rejog [Reog] Tiga Dimensi”. Dikatakan demikian, karena pementasan itu dilakukan oleh tiga rombongan reog, yang pertama Rejog Parahyangan (asli), yang kedua Rejog Ponorogo (asli), dann yang ketiga Rejog Nasional Badan Kesenian Kepolisian Negara.

Jika menulis tentang reog sebagai kesenian rakyat dalam ruangan ini, maka bahan satu-satunya yang kita pergunakan tidaklah lain dari pementasan itu sendiri, karena sebagai pengertian kita sendiri tidak mengetahui apakah arti yang sebenarnya, sedangkan dalam kamus Purwadarminta yang boleh dikatakan kamus terlengkap sia-sia kita mencari perkataan itu. Akan tetapi mengadakan observasi langsung dengan pementasan reog tersebut sebagai kenyataannya, kita dapat mengambil dua kesimpulan, yaitu, bahwa di satu pihak reog adalah suatu drama kerakyatan yang bersifat terbuka, dan di lain pihak reog adalah suatu macam kabaret yang biasa diselenggarakan di negeri-negeri Barat dan kita sendiri. Meskipun demikian disini kita ingin menambahkan persoalan kita dengan satu persoalan lagi, yaitu masalah kesenian rakyat sebagai kesenian dan kebudayaan.

Reog sebagai drama kerakyatan

Yang menyebabkan kita menarik suatu kesimpulan, bahwa reog adalah suatu macam drama kerakyatan adalah acara kedua dalam pementasan yang kita saksikan itu, reog Ponorogo. Kesenian ini juga sangat terkenal di daerah Jawa Tengah dan biasanya terdiri dari suatu rombongan yang berkeliling untuk mencari uang, dibawah pimpinan seorang sutradara. Keadaan semacam ini dapat juga disaksikan di Birma dan Malaya, dimana rombongan drama kerakyatan itu dipimpin oleh seorang shaman (pendeta) dan di Malaya disebut pawang. Pada mulanya memang sangat primitif, ceritanya sangat sederhana, dan mempergunakan daya magis, umumnya hendak mempertontonkan kepada publik kekebalan peran utamanya, karena dapat makan padi yang belum ditumbuk, pecahan gelas, jarum-jarum, dan sebagainya. Dalam hal ini tidak ada, maka supaya dapat menarik publiknya dimainkan sebuah cerita, yang dikarang sendiri oleh sutradaranya. Bukan tidak mungkin apabila seni ketoprak yang sangat terkenal di daerah Jawa merupakan kelanjutan dari drama kerakyatan ini, hanya saja tidak lagi di arena, melainkan telah dipindahkan ke pentas. Tetapi perkembangan ini belum memberikan kesimpulan yang pasti, karena disamping wayang orang yang dimainkan berdasarkan epos-epos Ramayana dan Mahabharata, reog Ponorogo yang kita saksikan itu pun telah mempergunakan juga epos-epos tersebut untuk melakonkan permainannya.

Kesukaran pertama yang harus dihadapi oleh publik ialah mengenai bahasa yang dipergunakannya. Reog Parahyangan umpamanya mempergunakan bahasa daerah Sunda, sehingga mereka yang tidak mengetahui bahasa daerah tersebut tidak dapat menikmatinya. Demikian pula reog Ponorogo mempergunakan bahasa daerah Jawa, sehingga mereka yang tidak mengetahui bahasa daerah tersebut tidak dapat pula menikmatinya. Itulah barangkali raison d’être reog Nasional yang tidak mempergunakan bahasa daerah, melainkan bahasa Indonesia. Kelihatannya pementasan itu telah berhasil baik, karena suasana menunjukkan hampir-hampir tak adanya momen, dimana terjadi putusnya hubungan publik dengan pentas.

Sebagai drama kerakyatan kita belum berani mengambil sikap terhadap kemungkinan-kemungkinan reog itu, tetapi usaha yang sungguh-sungguh dan hidup kiranya tidak akan sia-sia belaka.

Reog sebagai kabaret

Dalam perbedaan gradual dibandingkan dengan reog sebagai drama kerakyatan fungsi reog sebagai kabaret adalah hiburan semata-mata, pusatnya terdapat dalam lelucon. Kalau kita mengatakan, bahwa pementasan reog Nasional tersebut cukup berhasil, maka sebagian besar disebabkan oleh kenyataan, bahwa lelucon-leluconnya cukup berani mengolah kenyataan-kenyataan. Memang, suatu lelucon yang tidak berdasarkan kenyataan tidaklah akan berhasil. Ia dapat diumpamakan sebagai suatu senda gurau, dimana orang yang mengambil bagian kadang-kadang memukul kawannya sendiri hingga kena, malahan mungkin sakit sedikit, tetapi orang yang kena pukulan itu tidak marah atau sakit hati, karena hal itu hanyalah suatu senda gurau, artinya tidak sungguh-sungguh. Dalam arti sungguh-sungguh orang yang kena pukulan sedikit saja merasa terhina, sehingga masuk diakallah, apabila ia marah atau sakit hati. Senda gurau itu adalah suatu permainan (game), sehingga mempunyai dua sifat yang paradoksal (bertentangan), disatu pihak main-main, dilain pihak jujur (sungguh-sungguh, tidak curang), artinya meskipun main-main, tetapi dijalankan dengan sungguh-sungguh. Suatu permainan sepak bola umpamanya jika dipergunakan untuk memenuhi ambisi, baik uang maupun tujuan, tidak bisa disebut permainan lagi. Sebaliknya apabilla permainan itu tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh, umpamanya sang kiper tidak bersungguh-sungguh dalam menjaga gawangnya karena “tegenzin”, permainan tersebut tak dapat disebut permainan lagi. Demikian pula lelucon apabila orangnya yang harus memainkan lelucon itu tidak dengan sungguh-sungguh, maka dengan “tegenzin” itu ia tidak akan berhasil mencapai tujuan lelucon. Sebaliknya apabila leluconnya itu dipergunakan dengan sadar untuk menghina orang lain, maka lelucon tersebut adalah melukai perasaan, sehingga tidak dapat disebut lelucon lagi. Tujuan lelucon adalah justru mengeliminasi suasana sentimental, karena itu antara publik dan badutnya (clown) harus ada saling pengertian, di satu pihak publik tidak boleh menerimanya dengan sentimen (perasaan), melainkan dengan rasio (akal pikiran), sehingga memiliki toleransi yang sebesar-besarnya, dan dilain pihak badutnya tidak boleh dengan sadar melukai perasaan orang lain, dengan perkataan lain, ia tidak boleh dengan sadar menyatakan leluconnya sebagai perasaan kejengkelan ataupun dendam kesumat, karena hal itu bertentangan dengan sifat azasi dari lelucon itu sendiri.

Apakah reog sebagai kabaret ini dapat memelihara dirinya dalam kondisi di atas? Menurut kesan kita setelah menyaksikan pementasan reog tiga dimensi itu dapat, meskipun terasa, bahwa lelucon-lelucon tersebut cukup berani. Supaya permulaan yang baik ini dapat berkembang dan tumbuh dengan subur, maka perasaan humor (zin voor humor) harus ditanamkan sebaik-baiknnya di kalangan masyarakat kita. Oleh karena lelucon ittu mendidik kita untuk berpikir sehat, maka pertumbuhan dan perkembangan yang lancar dan wajar dari perasaan humor itu mempunyai efek-efek yang sangat baik bagi pembangunan bangsa.

Masalah kesenian rakyat

Setelah kita meninjau kedua aspek dari reog sebagai kesenian rakyat kini kita meningkat pada persoalan yang terakhir, yaitu masalah kesenian rakyat itu sendiri. Masalah yang kita maksudkan itu ialah, bagaimana jalannya untuk mempertinggi tingkat mutu kesenian rakyat itu sebagai kebudayaan. Masalah yang menurut pendapat kita sangat perlu untuk diperhatikan ialah, bahwa kecenderungan untuk memberikan kesenian kepada rakyat yang tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati kesenian tinggi adalah sebagai reaksi belaka dari kenyataan tiadanya kesempatan itu. Jalan pikiran ini menurut pendapat kita adalah jalan pikiran yang tidak timbul dari jiwa yang dewasa, karena dengan hanya berpedoman padanya tidak mungkinlah kita meningkatkan mutu kesenian rakyat, sebaliknya malahan akan membuatnya menjadi suatu kesenian yang statis dan primitif karena tidak dapat menempuh jalan perkembangan. Kesenian sejati selalu bersifat progresif, karena itu tidak mungkin merupakan suatu reaksi. Jadi masalahnya ialah bagaimannakah caranya membentangkan jalan perkembangan bagi kesenian rakyat itu.

Dalam menghadapi persoalan ini sangat cenderunglah kita kepada usaha untuk memenuhi lebih dulu syarat material. Kehidupan ekonomi rakyat harus melewati jalan perkembangan, artinya kehidupan ekonomi rakyat itu makin hari harus makin baik. Tidaklah mungkin suatu rakyat atau bangsa yang tidak mempunyai perkembangan hidup ekonomi ke arah tingkat yang semakin baik akan mempunyai perkembangan kesenian dan kebudayaan yang semakin baik pula. Suatu perkembangan yang radikal harus tidak boleh meninggalkan kewajaran, karena kita tidak dapat memperkosa alam, apalagi memperkosa diri sendiri. Memperkosa alam tidak akan dapat menguasai alam, demikian pula memperkosa diri sendiri tidak akan dapat menguasai diri sendiri. Akibat dari tindakan yang salah ini adalah timbulnya disharmoni antara diri kita dan keadaan sosial kita, sehingga disitu kita hanya akan memperbanyak rintangan-rintangan yang mengganggu perkembangan kepribadian kita.

Mudah-mudahan sumbangan pikiran yang sedikit ini bukan tidak ada gunanya.

Jakarta, 11 April 1961