Sumber: Zenith, No. 4, Tahun 3, April 1953.
Kepada Sudjatmoko,
Sebenarnya untuk dapat memulai pertukaran pikiran yang jelas garisnya, sekitar penjelasan Sam Udin mengenai kedudukan seni dan seniman, ditinjau dari sudut sejarah, ilmu kebudayaan dan masyarakat, pertama-tama harus ditetapkan dulu kesatuan pengertian tentang seni dan kemudian tentang seniman. Tapi jelaslah bahwa hal ini tak dapat dirumuskan begitu saja. Melainkan lebih dapat didekati, artinya bila ditinjau dari sudut bukan ilmu, dan bukan dengan mencoba jelaskan apa itu seni, tapi dengan mencoba mengerti dorongannya pada pencipta dan akibatnya pada penikmat. Keselarasan warna, garis, bentuk dan sebagainya, berganti-ganti ukuran penentuannya dari zaman ke zaman, dari kebudayaan ke kebudayaan. Jadi ini pun susah dijadikan pegangan buat membicarakan seni pada umumnya.
Tiap dorongan pada seni dan akibat seni dapat dirumuskan sebagai berikut: Seni ialah penolakan terhadap yang kacau, bersumber pada naluri akan keseimbangan dan daya penolak ini memancar dari keselarasan, dalam mana bentuk dan isi, dorongan semula dan jamahan seniman, berpadu. Perumusan yang agak panjang pula. Setelah kita terima patokan keselarasan dalam buah tangan seniman, tinggal pertanyaan: Kenapa suatu bangsa tak menganggap baik hasil bangsa yang lain, kenapa satu zaman mempunyai ukuran-ukuran lain dalam penentuan keselarasan dengan zaman lain? Saya yakin soal ini hanya timbul dari pandangan yang kurang mendalam saja. Karena tidak “biasa”. Soal membiasakan diri pada isi dan bentuk sesuatu seni, jadi pada cara penolakan kekacauan (kekacauan dalam arti luas), sebenarnya soal belajar, mempelajari kata-katanya dan yang dimaksud dengan itu. Belajar mendengar suara dalam warna, warna dalam suara, gerak dalam garis, garis dalam gerak, dimensi dalam lubang, dan sebagainya, atau biasa saja: belajar melihat warna sebagai warna, mendengar suara sebagai suara yang beranekawarna, nuance dan paduan nuance. Siapakah yang menentukan logat dan paramasastranya? Kehidupan itu sendiri dan disini kita melangkah ke taraf metafisis: bakat seniman, bahkan alam. Tapi jelas bahwa sejak puak-puak yang pertama menghuni bumi, manusia telah menyumbangkan kata-kata ke dalam logat keselarasan ini dalam bentuk seni rakyat dan poesi rakyat. Tapi puncak-puncaknya selalu diciptakan oleh seniman enkeling, seniman seorang, sebagai gejala kehidupan sendiri. Dan kemauan untuk mengerti akan pesan manusia dari bangsa lain dan atau dari zaman lain, pasti cukup untuk membawa siapa saja ke jalan pengertian, bahkan pengenalan kembali ukuran-ukuran yang dikenalnya di lingkungannya sendiri terutama dalam daerah seni rakyat. Differensiasi sosial dan dipertegasnya individualiteit memang telah menjauhkan manusia sebangsa, bahkan dari satu golongan sosial, akan tetapi ini hanya soal derajat dalam perkembangan. Yang paling penting ialah kesempatan membiasakan diri, kesempatan belajar kenal, sebab sebenarnya seni dan seniman itu sendirilah yang mendesakkan ukuran-ukurannya pada “umum” sejak dari zaman dahulu. Sejak zaman Borobudur dan Chartres dengan seniman yang dikatakan anonim (ini saya sangkal tapi nanti). Disini pulalah pokok persoalan integrasi seniman dan seninya. Bila telah jelas mana seni mana tidak, boleh bicara perkara integrasi, tapi integrasi baru mulai sesudah seni tercipta, jadi hanya integrasi dalam pertemuan, berkenalan, lantas mengerti. Begitu Chartres, begitu Borobudur, begitu lain-lain hasil seni di seluruh dunia di seluruh zaman. Sebelum ia tercipta seni tak dapat ditangkap atau dibatasi dalam istilah sosiologi atau ilmu kebudayaan. Kelahirannya bukan proses ekonomi, sosiologi.
Bukti adanya tenaga metafisis pada rakyat untuk menciptakan seni jadi “menolak kekacauan”, jadi mengintegrasi gejala-gejala hidup yang dihadapi, selalu ada sejak manusia yang pertama hingga tukang becak yang sekarang. Jika tukang becak suka bak becaknya dilukisi atau dilukisnya sendiri dengan berbagai-bagai gambaran, pokok dari pada keinginan ini sama dengan lahirnya poesi rakyat dari dahulu sampai sekarang. Dan dari dahulu sampai sekarang semua ini terbuka bagi setiap orang yang mau membuka hatinya.
Dengar (bacalah) pantun atau perhatikanlah gambar-gambar di bak becak, lama kelamaan saudara akan mengerti, dari coba mengerti dulu. Dan cara ini lebih mujarab buat mengerti seni: kalau kita mulai menghadapi hasil seni dari orang yang tidak sedar “membuat seni”. Kalau sudah ditingkatkan “sedar”, di dunia individualistische kunstenaar, maka pelajaran itu menuntut alat-alat yang lebih banyak, dalam bentuk intelligensi, cita rasa, alhasil kebudayaan yang lebih luas.
Jadi pada satu pihak saya tunjukkan adanya tenaga seni potentieel pada “rakyat”. Tapi di lain pihak saya sinyalir adanya gejala kehidupan: seniman. Seniman dilahirkan. Pendidikan dan pengalaman dapat memperluas jangkauannya. Tapi bakat dulu.
Sam Udin mengemukakan 4 syarat umum buat pertumbuhan seni:
1. Keamanan dan ketertiban,
2. Jaminan ekonomi,
3. Ukuran-ukuran keindahan yang uniform,
4. Kebebasan.
Pasal 1 dan 3 terlalu tergantung dari pada keadaan, artinya selalu berlainan akibatnya pada tiap-tiap seniman. Contohnya banyak seniman yang hidup melarat, diburu-buru dan tak dimengerti bisa “bekerja”. Dostoevsky bukan anak manja ketertiban, jaminan ekonomi atau publik yang mengerti. Demikian Van Gogh dan banyak lagi.
Tapi kebebasan (pasal 4) itulah syarat mutlak. Kebebasan itu ada pada Eisenstein ketika mencipta Potemkin, bukan hanya kebebasan seniman, seniman individualis, walaupun dengan tidak disengaja, tapi disinilah letaknya berhasilnya film itu yang kemudian disinyalir oleh kritikus resmi sebagai hasil bourgois-individualisme. Setelah ini tak ada, Eisenstein “mati” walaupun ia hidup terus sebagai komunis. Untuk memperjelas kebebasan ini, hendak saya kemukakan situasi kritik di Moskow sekarang: Pada waktu belakangan ini kritikus-kritikus drama dari harian Pravda mencaci penulis drama Soviet tidak dapat lagi menghasilkan drama. Tapi biar kita tak pernah melihat drama Soviet itu, jadi dari jauh saja, kita tahu apa sebabnya, penulis-penulis drama Soviet kehabisan pokok soal. Paham bolsjewis itu sendiri yang mematikan penulis drama, membunuh drama secara resmi, sejak ia dengan resmi pula meniadakan adanya oer-menselijke motieven yang tergambar sejak tragedi-tragedi Yunani. Sekiranya ada surga manakah mungkin ada drama di sana, sebab semuanya sudah baik? Demikian pula halnya dalam heilstaat di dunia.
Jadi integrasi seniman hanya bisa berhasil kalau berlaku “kemudian” dan bukan-pengerahan terdahulu, ataupun kalau demikian kebebasan yang sesungguhnya harus ada seperti pada lahirnya Potemkin atau pada lahirnya Prambanan dan katedral Chartres. Perhubungan majikan-pelaksana disini berdasar kesukarelaan dan tidak mengenal kebebasan seniman, yang tak dapat ditangkap oleh “pemesan” dulu, tapi pemesan totaliter dalam abad kedua puluh telah mengungkungnya dengan pengawasan komisaris seni, alirannya, tendens, stiljnya, ya apa saja yang dapat dirumuskan dari aspek-aspek seni, menjadi objek pengawasan komisaris-kritikus. Dalam masyarakat liberal banyak juga penyakit kritik tapi halangan apa pun yang timbul disini, hal itu tidak bersifat preventif dan pun tidak punya sanctie badani atau rohani.
Integrasi seni dan seniman yang bersifat kemudian menunjukkan jalan mana yang harus ditempuh dalam hidup masyarakat. Titik pertemuan itu harus dicari dalam tempat pertemuan umum, dalam arsitektur, pembangunan kota dan sebagainya dan sebagainya, dimana seniman diberi kesempatan memperkenalkan “ukuran” nya pada khalayak, tak usah langsung dimengerti, sebab utilitet tempat itu sendiri telah cukup menarik publik, walaupun harus dijaga supaya jangan mengejuti publik, tapi ini hanya soal taktik dengan mundur-majunya. Juga pokok seni bisa disesuaikan tapi melangkahlah kita sudah ke daerah seni yang dilaksanakan, hal mana lebih susah dilakukan pada kesusastraan, musik, dan sebagainya. Tapi semua ini bukan mengenai inti dari pada seni itu tapi mengenai pengetahuan lakunya pada suatu ketika, buat golongan tertentu, di tempat yang tertentu, dicocokkan pada utilitet justru untuk menghilangkan kenyataan utilitet daripada materi yang dihadapi seperti stasiun, kamar tunggu, bangsal universitas dan sebagainya.
Akhirnya tentang seni sebagai gejala kebudayaan. Dalam heilstaat tak ada tempat buat kebudayaan (masalah dan pemecahan masalah tak ada lagi di sana) jadi juga tak ada bagi seni (dalam heilstaat semua sudah “selaras”). Dan keterangan ini pulalah menjelaskan pribadi seniman: Gejala seniman itu biasa saja dengan sifat-sifat dan kebutuhannya sebagai manusia, tapi istimewa sebagai tempat eksperimen hidup tempat bertumpunya masalah, serempak dengan itu merupakan katarsis dan katalisator, dalam hal mana ia mempunyai kesamaan dengan pendukung kebudayaan lain. Mereka di-“lahir”-kan untuk kebudayaan, jadi untuk masalah, mereka dilahirkan untuk masalah, jadi untuk kebudayaan. Pangkat “abadi” pada seni lahir dari keabadian masalah dan keabadian pemecahannya. Jika hal ini terbayang dalam tingkah laku ganjil dari seniman, harap maafkan, itulah ongkos yang harus dibayar hidup padanya untuk tempat bereksperimen.
Integrasi seni bukan dalam kerelaan seniman mengikuti mobilisasi umum atau partai, tapi dalam kesempatan memperkenalkan diri pada khalayak: sandiwara dipanggung, musik di gedung kesenian, seni rupa di museum-museum, di kebun-kebun bunga, di gedung-gedung, di sekolah-sekolah, di rumah sakit, di universitas-universitas dan sebagainya.
Tapi seni bukan pemberi keselamatan, ia hanya teman untuk mengerti hidup selalu mendampingi, ia lahir dari hidup itu. Dan pada saat-saat ia seakan-akan menyingkap tabir yang menutup keabadian ia justru membuka pemandangan pada kerelatifan. Itu pun kekuatan, juga dalam kekacauan alam pikiran berpolitik. Sehingga terhindar pemutlakan. Soal dan kesungguhan Paduka Jang Mulia. Sehingga ada tempat buat merenung bintang dan matinya lampu tukang becak, yang mendesak tenaga kuda.
Soal anonimiteit seniman di zaman ketika “desintegratie” belum masuk dalam hidup: Pertama saya tak percaya pada anonimiteit arsitek Borobudur dan Chartres, hanya karena saya tak kenal namanya sekarang. Pasti di zaman ia dikenal, baik sang arsitek utama, maupun tukangnya pasti dikenal orang dan mereka bangga akan kedudukannya. Itu soal penegasan individualiteit dan pula soal dagang. Di zaman sekarang keadaannya serupa juga. Hanya lebih tegas karena susunan ekonomi dan sosial serta pendaftaran penduduk dan soal visa, menuntut adanya pekerjaan yang jelas, misalnya komponis dan lebih banyak harapan dapat nafkah kalau nama dapat diapungkan di samudera perjuangan ekonomi zaman sekarang, yang jauh lebih hebat dari di zaman Borobudur. Hidup langlang buana, hidup boheme, sejak dari dulu syarat dari troubadour dan bagi pelukis zaman sekarang, untuk kelincahan bergerak di pasaran yang kurang tetap dan untuk menghindarkan ancaman terhadap kebebasannya yang terlalu lunglai, dan karena berbagai alasan psikologis, yang pasti tetap sama dari zaman bahari sampai pada saat sekarang dan seterusnya. Setiap saat harus siap menjadi tempat eksperimen baru atau ulangan eksperimen.
Arsitek Chartres tak menyangka ia akan dilupakan orang, kalau tidak ia akan mencatatkan namanya.