Untuk berbicara mengenai Seni Grafis Indonesia dan Perkembangannya, menurut pendapat saya masih terlalu pagi, karena seni grafis dalam arti yang lazim dimaksud, yaitu sebagai ungkapan cipta rasa, kehadirannya di Indonesia belum begitu lama, dengan demikian bahan yang diperlukan untuk suatu tinjauan masih terlalu sedikit. Namun melihat kehadiran karya-karya grafis Indonesia dewasa ini, baik pada pameran-pameran dalam negeri, maupun luar negeri sudah dapat memberikan perasaan optimis yang meramalkan akan suatu perkembangan yang bisa diharapkan akan bertumbuh dengan baik.
Membicarakan Seni Grafis Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari perkembangan seni lukis Indonesia, terutama karena banyak seniman grafis Indonesia pada umumnya juga seorang pelukis atau pematung. Selain dari itu, kegiatan berkarya dengan media grafis, baru akhir-akhir ini mendapat perhatian, baik dari kalangan seniman sendiri, maupun dari masyarakat penggemar.
Untuk suatu batasan tentang pengertian karya seni grafis, ada baiknya untuk meninjau terlebih dahulu, karya yang bagaimana yang dianggap “karya seni grafis”.
Pada umumnya yang dimaksud adalah karya seni dua dimensional, terlaksana di atas kertas sebagai akibat dipertemukannya dengan tinta atau pewarna lainnya, melalui cara cetak-mencetak mempergunakan batu lito, lempengan logam, lembaran lino, sebongkah kayu atau sebuah sablon, dan lain-lainnya, di atas mana sebelumnya seorang seniman grafis telah mengungkapkan cita rasa seninya dalam bentuk goresan, cukilan, torehan, guratan, sapuan dan lain macam cara.
Karya cetak, cukilan kayu yang tertua ditemukan di Cina kira-kira pertengahan abad ke delapan, sedangkan di benua Eropa, cukilan kayu baru dikenal kira-kira permulaan abad kelima belas.
Melalui cara cetak-mencetak ini yang pada umumnya terbatas pada cara cetak tradisional yaitu melakukannya dengan tangan atau setengah mekanis telah dimungkinkan mendapatkan jumlah hasil cetakan dalam bentuk ganda.
Asal mulanya kegiatan cetak-mencetak karya grafis ini memang bertujuan untuk memperbanyak jumlah karya cetak dengan jalan membuat reproduksinya, tetapi lambat laun berkembang menjadi suatu bentuk kegiatan berolah seni yang berdiri sendiri secara otonom, sejajar dengan bentuk seni rupa lainnya, seperti seni lukis, seni patung dan lain-lain.
Sebagai akibat proses mencetak, jumlah hasil ganda ini, tidaklah tidak terbatas, karena ada semacam kesepakatan yang kemudian dirumuskan dalam sebuah konvensi yaitu bahwa pelaksanaan proses cetak-mencetak ini dari awal sampai akhir seluruhnya harus dilakukan oleh-atau di bawah pengawasan langsung senimannya.
Hasil yang diperoleh dengan cara cetak offset dan foto mekanis, tidaklah dapat dianggap sebagai karya seni grafis, melainkan tak lebih dari sebuah reproduksi, yang bagaimanapun juga tepat dan sempurnanya, baik dari sudut pelaksanaannya maupun dari sudut estetisnya, tidaklah dapat diterima sebagai karya seni “asli”.
Pada umumnya hanya ada “satu” karya asli (specimen unicum) dari seorang seniman, yaitu sebuah karya yang betul-betul merupakan hasil langsung dari penanganannya sendiri.
Tak lazim dan mustahil seorang seniman akan mengulang karyanya sendiri untuk kedua, ketiga kalinya atau lebih.
Dalam menghadapi karya seni, pendapat di mana hanya ada “satu” karya asli, ada perbedaan, yaitu karena diterimanya kehadiran lebih dari satu karya seni grafis, yang juga dianggap “asli” dan “orisinal” itu.
Untuk membedakan karya grafis yang orisinal dan yang tidak, maka pada hasil cetakan si seniman membubuhkan tanda tangannya di sebelah kiri bawah berikut nomor urut dan jumlah banyaknya cetakan.
Tanda tangan, nomor urut, dan jumlah cetakan, lazimnya ditulis dengan pensil, cukup menjamin keaslian karya itu.
Ada kalanya seorang seniman grafis, untuk kepentingan dan keperluan sendiri, di sebelah tanda tangannya menuliskan tambahan artist’s proof atau epreuve d’artist dan baru nomor dan jumlah cetakan dengan angka Romawi; pada umumnya tambahan cetakan ini tak lebih dari enam eksemplar. Biasanya karya yang akhir ini dimiliki oleh senimannya dan tidak diperdagangkan, tak jarang pula di sebelah bawah kanan terdapat tulisan hors commerce.
Kelebihan utama dari karya seni grafis adalah kehadiran jumlahnya yang ganda itu, memungkinkan mencapai lebih banyak penggemar, dan terbukanya kesempatan untuk memiliki sebuah karya asli dengan harga yang relatif jauh lebih rendah jika dibanding dengan harga sebuah lukisan atau sebuah patung.
Tak jarang pula seni grafis dijuluki sebagai seni yang paling demokratis, karena sifatnya yang khusus itu memungkinkan lebih berkesempatan untuk memasyarakat luas.
Sejalan dengan menghasilkan gambar dengan proses mencetak, maka olah seni grafis dapat pula digolongkan dalam empat golongan, sesuai dengan proses pelaksanaannya, yaitu cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar, dan cetak saring.
Cetak-tinggi, adalah suatu teknik cetak, dimana permukaan cetak yang lebih tinggi yang menerima tinta dan bila kemudian dicetakkan tinta atau gambar berpindah ke atas kertas.
Tergolong dalam cetak tinggi ini adalah cukilan kayu (woodcut), toreh atau tera kayu (woodengraving), dan cukilan lino. Perbedaan cukilan dan tera kayu bukan saja terletak pada perbedaan macam bahannya, tetapi juga alat-alat yang dipergunakan, dengan demikian juga menghasilkan karya yang nilai artistiknya berlainan pula.
Pada umumnya yang dipakai untuk cukilan kayu adalah kayu yang berpenampang vertikal; pelaksanaannya tidak sesulit toreh atau tera kayu yang mempergunakan kayu berpenampang horisontal dan alat yang dipergunakan pun lebih runcing dan tajam.
Kebalikan dari cetak tinggi adalah cetak dalam, dimana garis atau bidang yang menerima tinta berada lebih rendah dari permukaan cetak, sehingga bila diperlakukan tekanan yang cukup keras, tinta atau gambar akan berpindah ke atas kertas. Daya hisap dan kualitas kertas akan sangat berpengaruh untuk mencapai hasil yang sempurna.
Untuk teknik cetak dalam ini biasanya dipergunakan lempengan tembaga atau seng, yang digores, ditoreh, dengan semacam alat tajam yang disebut busut dengan tujuan memperoleh alur-alur yang cukup dalam.
Termasuk dalam cetak dalam ini adalah antara lain etsa, aquatint, goresan langsung (drypoint) dan mezzotint.
Lempengan logam yang akan dipergunakan untuk membuat sebuah karya etsa dilapisi terlebih dahulu dengan cairan aspal untuk melindunginya dari gigitan asam.
Di atas lapisan dasar ini si seniman membuat gambarnya memakai semacam jarum tajam dengan jalan menggores, menggurat, menoreh, sehingga terjadi jalur dalam yang membuka lapisan aspal, dengan demikian jalur-jalur ini tersingkap untuk dapat tergigit oleh asam, mengakibatkan terjadinya jalur-jalur dalam pada logam yang nantinya berperan untuk menampung tinta.
Proses ini dilakukan berulang kali sesuai kebutuhan dan selera si seniman untuk mencapai sasarannya.
Pelaksanaan proses teknik aquatint, merupakan bagian dari teknik etsa yang memungkinkan mencapainya efek dari bermacam nada warna. Teknik etsa dan aquatint sering dipakai secara baur untuk tujuan mendapatkan beragam efek teknik, maupun estetis. Teknik aquatint dilaksanakan dengan menaburkan butir-butir halur, tepung dari semacam dammar, yang kemudian sesudah dipanaskan menjadi lumer hancur tak merata, dengan kata lain antara butir-butir terdapat bagian-bagian logam yang tertutup lebih tipis, jadi lebih mudah dan lebih cepat tergigit asam. Perbedaan-perbedaan lamanya proses pengasaman ini menimbulkan pula bermacam efek gigitan asam yang mengakibatkan perbedaan nuansa pada hasil cetak.
Cara lain untuk mencapai bermacam nada warna, ialah etoda mezzotint, yaitu dengan terlebih dahulu membuat dasar yang akan digambari menjadi kasar dengan ampelas, atau semacam alat gores terbuat dari logam yang telah dipersiapkan untuk keperluan ini. Dengan membuat dasar kasar ini, dengan merubah arah jalur garisnya, kemudian secara setempat dihaluskan kembali, suatu kesibukan yang bisa mengasyikkan bagi seorang seniman yang kreatif untuk mencapai efek nada warna tak terbatas.
Untuk proses cetak datar atau planografi, dipergunakan batu litografi, belakangan ini juga banyak dipakai lempengan logam seng, karena lebih praktis di samping susahnya didapat batu litografi. Di atas batu atau seng itu dipersiapkan gambar yang akan dicetak memakai semacam pensil yang mengandung lemak, atau mempergunakan tinta khusus; gambar ini kemudian dimantapkan dengan menyapunya beberapa kali dengan asam yang lemah.
Sebelum mencetak batu dibasahi dahulu dengan air, kemudian diberi tinta dengan menggelindingkan rol tinta beberapa kali; yang menerima tinta hanya bagian yang digambari dengan pensil mengandung lemak atau tinta khusus tadi saja. Dengan mempergunakan alat cetak khusus untuk litografi gambar dipindahkan ke atas kertas.
Cetak saring, juga disebut serigrafi, merupakan perkembangan dari cetak stensil atau sablon, adalah proses cetak yang bekerja seperti proses penyaringan.
Untuk mencetakkan gambar ke atas kertas dipergunakan semacam karet tipis berbentuk pisau, dengan jalan menyapukan tinta di atas kain sutera atau nilon terentang dengan tegang sekali di atas bingkai kayu atau aluminium. Oleh karena pada kain sutera atau nilon yang sudah digambari oleh seniman, terdapat bagian-bagian yang tertutup dan yang terbuka maka tinta melalui bagian yang terbuka akan lolos ke atas kertas. Kain sutera atau nilon yang terentang tegang itu, bila sudah digambari, disebut klise; bila mempergunakan lebih dari satu klise dan bermacam-macam warna tinta secara kreatif, akan menjamin dihasilkannya karya yang kaya akan nilai-nilai artistik.
Satu hal yang patut menjadi perhatian ialah bahwa seni grafis tak luput dari pengaruh perkembangan teknologi, serta pengaruh perkembangan kebudayaan dan kesenian pada umumnya. Masuknya teknologi fotografi sudah tidak merupakan hal baru lagi dan banyak dimanfaatkan oleh seniman dalam batas-batas tertentu.
Meninjau sejarah seni rupa ke belakang, tidak usah terlalu jauh, katakanlah akhir abad ke-19, atau permulaan abad ke dua puluh, dengan aman boleh dikatakan tak ada seniman Indonesia yang mengerjakan seni grafis, apalagi mengkhususkan diri pada bidang ini. Tak terdapat bukti bahwa umpamanya pelukis Raden Saleh pernah mengerjakan karya grafis, begitu juga Mas Pirngadi, yang hanya membatasi diri pada pengerjaan ilustrasi dan gambar-gambar saja disamping melukis.
Hal yang sangat mengherankan, mengapa tidak dari sejak dahulu seni grafis berkembang di Indonesia, karena sepanjang sejarah kesenian Indonesia, seni tradisional, seperti mengukir kayu, tera bambu, menulis di atas lontar, membatik, mengukir wayang, dan lain-lain. Semua ini sebenarnya adalah, atau erat sekali berhubungan dengan teknik-teknik grafis; hanya terpisah satu langkah lagi, yaitu membubuhkan pewarna atau tinta dan mencetakkannya di atas suatu lembaran lain umpamanya kertas atau kain.
Berdirinya perkumpulan Persagi yang boleh dikatakan juga, sebagai suatu rangkaian gejala akibat kesadaran Kebangkitan Nasional, beriringan pula dengan kesadaran cita-cita dan kebebasan individu, dan seniman.
Namun hal ini belum sempat menggerakkan keberanian untuk mencari dalam bentuk-bentuk lain, mencoba-coba kemungkinan-kemungkinan baru dalam berungkap seni dengan media dan teknik baru; pelukis-pelukis Persagi belum keluar dari cara-cara dan teknik konvensional, diantara anggotanya belum ada yang melaksanakan kegiatan grafis, selain dari itu mereka masih saja diasyikkan oleh persoalan lukis-melukis, terutama pada waktu dan sesudah berlangsungnya pameran koleksi Regnault di Kunstkring Jakarta tahun 1937.
Untuk pertama kali pelukis Indonesia terbuka mata, bahwa ada seni lukis yang jauh berbeda dan sangat mempesonakan dari apa yang lazim pada waktu itu.
Seni grafis masih jauh dari perhatian apalagi untuk bereksperimentasi menggali kemungkinan-kemungkinannya. Pendudukan Jepang, sungguhpun bukanlah merupakan suatu periode yang menyenangkan namun telah mempengaruhi dan memperkuat keyakinan akan arti kebangkitan dan kemerdekaan. Pada masa revolusi, dalam memperjuangkan dan menentang kembalinya penjajahan, para seniman turut berjuang dengan penuh harga diri dan kebanggaan sebagai individu dan bangsa.
Menurut hemat saya, pada saat itulah dan boleh dipastikan bahwa seni grafis Indonesia modern lahir di dua ibukota yaitu, kota Jakarta sebagai kota internasional dan kota Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia.
Mengapa demikian, mungkin hal ini erat hubungannya dengan kebutuhan mendukung perjuangan, dalam arti dan tujuan menyebarluaskan hasil karya grafis itu untuk mengangkat derajat bangsa dan negara yang ber-Revolusi.
Dalam keadaan semakin sulit dan terkurungnya daerah Republik Indonesia oleh kekuatan kolonial Belanda, untuk mengadakan hubungan ke luar maupun di dalam adalah sukar sekali. Di bidang komunikasi di lapangan percetakan dan penerbit semakin terjepit.
Pada saat itulah karya grafis muncul sebagai media komunikasi dan dokumentasi, sering yang bernada kerakyatan dan bernafas perjuangan.
Dua nama bisa disebutkan, yaitu Suromo dengan cukilan kayunya, banyak melukiskan tema perjuangan dan Abdul Salam yang banyak membuat etsa. Sayang hampir tak ada dokumentasinya. Di Jakarta, pelukis Baharuddin dan saya sendiri sepakat untuk membuat sebuah album “Linograph” menyambut peringatan satu tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Penerbitannya dalam berjumlah terbatas, untuk kemudian disebarluaskan kepada negara-negara yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia.
Album ini kami kerjakan secara diam-diam di Balai Pustaka Jakarta. Untuk pelaksanaan karya ini kami mempergunakan linoleum.
Bapak Takdir Alisjahbana sebagai Ketua Perkumpulan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan pada waktu itu berkenan membuat “Kata Pengantarnya”.
Album ini merupakan kumpulan tera linoleum sebanyak 19 buah karya grafis, dicetak dengan jumlah sebanyak 36 eksemplar, pada tanggal 17 Agustus 1945. Album ini kemudian oleh Oeroesan Pemoeda Perhoeboengan Loear Negeri –Sekretariat Menteri Negara– Jakarta, disebarkan ke berbagai negara di seluruh dunia, sebagai simbol pernyataan bahwa pergolakan yang terjadi di Indonesia, adalah bergeraknya suatu bangsa yang sedang merebut hak-haknya kembali dengan penuh kesadaran.
Penerbitan semacam ini adalah yang pertama dalam sejarah kesenian Indonesia. Dan baru di tahun 1947 sebuah album pahatan lino terdiri dari 12 gambar dari saya sendiri “Pantjangan Pertama” diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, penerbitan milik bapak Takdir Alisjahbana, Jakarta.
Dirintisnya penanganan seni grafis sebagai media curahan rasa seni melalui teknik cetak, yang sebagian terbesar dikerjakan dengan tangan seperti umpamanya mempersiapkan klisenya dari kayu, linoleum, atau plat seng, tembaga, dan lain-lain. Kemudian mencetakkannya di atas kertas satu-satu dan warna per warna, kadang-kadang memakai mesin cetak yang dioperasikan dengan tangan.
Jadi, mungkin kita dapat mengambil kesimpulan, mengapa seni grafis sebagai ungkapan rasa seni lahirnya di tengah-tengah Revolusi, pada zaman perjuangan, sedikit banyaknya satu sama lain ada sangkut pautnya. Karena sifat seni grafis yang multipel itu bisa dengan biaya murah menghasilkan jumlah karya cetakan yang banyak, sungguhpun terbatas, untuk disebarluaskan sebagai ekspresi dari Revolusi. Memang nafas perjuangan terasa juga di bidang seni lainnya, seperti seni sastra dan musik.
Pada waktu Revolusi fisik agak mereda, seniman-seniman mulai membenahi diri, dengan kata lain, mulai mempertanyakan sikapnya, tugas dan tempatnya di dalam masyarakat, negara dan bangsa dan hubungan internasional; dirasakan sudah waktunya mempertanyakan sikap sebagai suatu bangsa yang merdeka, mulai membicarakan nilai-nilai kemanusiaan-humanisme universal. Hal ini dengan jelas tercermin pada “Surat Kepercayaan Gelanggang” (September 1950). Sebagai hasil dari diskusi-diskusi beberapa seniman dan budayawan muda pada waktu itu seperti Asrul Sani, Chairil Anwar, Rivai Apin, Baharudin, Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Zus Ratulangi, Henk Ngantung, dan lain-lain, ke luar rumusan sebagai berikut, antara lain:
“Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia —– Kami tidak akan memberikan kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. —— Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli, yang pokok ditemui ialah manusia ——.“
Dari “pedalaman” yaitu Yogyakarta dan Solo terdengar anjuran, sesudah masa perjuangan fisik, untuk —kembali kreatif, dan kembali berkembang untuk bangsa yang bercita-cita mempersatukan dunia…
Kepeloporan Soedjojono dalam menggerakkan semangat akan kesadaran sebagai seniman dari suatu bangsa yang sudah merdeka banyak berkesan pada tunas-tunas muda yang mulai berkembang. Dalam waktu sepuluh tahun sesudah berdirinya Persagi, seni lukis Indonesia mulai bisa diketengahkan ke taraf internasional. Pameran seniman-seniman Indonesia bergerak dengan penuh kepercayaan akan diri sendiri untuk mencari dan menemukan pandangan-pandangan baru yang luas serta dewasa. Masalah kepribadian Indonesia yang khas menjadi pusat perhatian.
Dalam suasana rujuk, sejak dibukanya suatu “Lembaga Kerjasama Kebudayaan” (Stichting voor Culturele Samenwerking) antara Indonesia dan Belanda, mulai banyak diselenggarakan pameran lukisan baik dari seniman Indonesia, maupun Belanda, terutama seni lukis modern, juga banyak seniman Indonesia yang diundang ke negeri Belanda dan Eropa untuk memperluas wawasan kesenimanan.
Demikianlah sejak saat itu terlihat tiga perbedaan sikap dan pandangan seniman, secara umum dapat dikatakan: Yang berasal dari Jakarta, terutama dari Bandung, berorientasi modern, membuka diri terhadap pengaruh dari luar. Sedangkan yang dari Yogyakarta, Solo lebih cenderung mempertahankan sifat keaslian Indonesia dan membendung pengaruh dari luar.
Sementara itu kelompok yang ketiga yang dibentuk oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat, kelompok seniman Lekra berpedoman pada prinsip “Seni untuk Rakyat” dalam bentuk apa yang dinamakan “realisme sosial”.
Kesenian harus menggambarkan kenyataan dan kemajuan Revolusi, nilai artistik berdasarkan kebenaran dari sifat sejarah yang kongkrit, dan optimisme yang menuju masyarakat sosialis. Seni yang berasal dari Rusia lebih cenderung menjadi alat komunikasi politik.
Seniman-seniman Lekra, mungkin karena melihat ke Rusia dan Tiongkok dan negara-negara sosialis lainnya banyak memanfaatkan kemampuan yang tersedia pada seni grafis yaitu sifat multipelnya.
Kegiatan seni grafis bebas di Jakarta yang merupakan kelanjutan dari yang sudah ada, kemudian diperkuat dengan pindahnya pelukis Zaini dan Oesman Effendi dari pedalaman. Oesman Effendi menggali dari seni tradisional menyaring dan menelitinya untuk menemukan seni rupa Indonesia Baru. Dalam eksperimentasinya ia sangat meyakini dan konsekuen, ia boleh dikatakan cukup berhasil sampai pada inti dari irama dan bentuk-bentuk olahannya. Pada tahun 1962, terbit sebuah album grafis cukilan lino dari Oesman Effendi berisikan 25 gambar yang merupakan himpunan Kenang-Kenangan ’49-’59, terdiri dari 50 eksemplar, jumlah cetakan.
Pelukis Zaini banyak menghasilkan monoprint, obyeknya sederhana cenderung ke abstrak, banyak memanfaatkan dari teknik grafis yang sering secara tak sengaja menimbulkan efek-efek tertentu yang sering mendukung keberhasilan sebuah karya seni grafisnya.
Seniman Baharuddin di samping cukilan linonya yang ekspresif, banyak menarik manfaat dari lingkungan percetakan yang sangat akrab baginya, suasana ini meningkatkan kekreatifannya, terutama karena dirangsang oleh lembaran-lembaran percobaan cetak, yang sering sangat menarik, karena warna, bentuk huruf-huruf, sapuan-sapuan tak tersengaja olehnya dimodifikasi di sana-sini, ditambahkan kolase, untuk menghasilkan sebuah karya.
Di samping nama-nama yang dikemukakan tadi pada umumnya baik di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, kegiatan seni grafis sepi-sepi saja dan ini bukan saja karena kekurangan fasilitas dan bahan, tetapi adalah memang karena kekurangan perhatian dan pengertian-pengertian; seni grafis dianggap minor, bernilai di bawah cabang seni rupa lainnya seperti seni lukis dan seni patung, yang lebih populer dan lebih bergengsi.
Sungguhpun demikian, di perguruan tinggi Seni Rupa, seperti Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, atau Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta masih saja merupakan suatu pusat kegiatan yang sehat ke arah perkembangan dengan memupuk bakat-bakat muda yang mungkin nantinya diharapkan akan menjadi seniman-seniman grafis yang tangguh.
Dan memang banyak dari bakat-bakat muda itu menghasilkan karya-karya yang menjanjikan banyak, berkualitas cukup tinggi, tetapi sayang dan sangat disesalkan, hampir sebagian terbesar dari mereka, begitu lulus dari pendidikan seni rupa, hampir tidak lagi, malahan sama sekali tidak lagi berkarya. Sering masalah ini kami dari kalangan pendidikan mempertanyakan. Jawaban sementara mungkin bahwa untuk hidup dari karya grafis sebagai seniman mandiri, oleh keadaan dan penerimaan masyarakat kita belum memungkinkan, karena itu kebanyakan dari mereka menjadi pedesain-pedesain lembaga-lembaga periklanan.
Namun demikian ada juga beberapa nama baru pada pertengahan tahun empat puluhan yang dapat diketengahkan seperti A. Soebakto yang sepanjang ingatan saya sewaktu ia belajar di Amerika Serikat, pernah menerbitkan karya grafis, berupa album puisi dengan ilustrasi tera kayu, yang sangat indah, tersusun dengan tipografi yang baik, A.D. Pirous, Kaboel Suadi, dan kemudian Soetanto, Haryadi Suadi, Priyanto, Setiawan, dan lain-lain, dan dari Yogyakarta nama Widayat sebagai seniman grafis sudah tak asing lagi. Pameran-pameran seni grafis internasional, seperti di Lugano, Tokyo, Warsawa, Belgrade, Jerman Timur, Dhaka, dan lain-lain, sudah sering diikuti oleh seniman Indonesia.
Di Bandung pada tahun 1967/1968, kami masih sempat menerbitkan sebuah album lagi, terdiri dari sajak-sajak Paul Éluard, Liberté (Merdeka), dalam dua bahasa, Perancis dan Indonesia. Terjemahannya dilaksanakan oleh Farida Soemargono. Karya grafisnya, terdiri dari 11 cukilan lino oleh 11 seniman: Ahmad Sadali, Popo Iskandar, But Muchtar, Zaini, A.D. Pirous, Srihadi S., Gregorius Sidharta, Kaboel Suadi, Jusuf Affandi, Angkama Setjadipradja dan Mochtar Apin.
Penerbitan dilaksanakan atas kerjasama Institut Teknologi Bandung print dan Ananta. Jumlah penerbitan sebanyak 87 eksemplar, yang 10 edisi lux.
Album berikutnya pada tahun 1971, dari Grup 18, edisi 350 eksemplar, terdiri karya grafis cetak saring. Seniman-seniman yang terlibat adalah: Ahmad Sadali, Mochtar Apin, But Muchtar, Srihadi Soedarsono, Gregorius Sidharta, A.D. Pirous, Kaboel Suadi, Jusuf Affandi, T. Sutanto, Arief, Haryadi, Erna, Sanento Yuliman, Umi Dachlan, Naryo, Surya, Samsudin, Rita.
Kemudian perlu dicatat penerbitan sebuah album lagi, karya Prijanto, media cetak saring, penafsiran secara kaligrafis, kumpulan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri, edisi 153 eksemplar. Mungkin masih ada terbitan-terbitan bibliofili lainnya, yang lepas dari pengamatan saya.
Demikianlah keadaannya sampai dewasa ini, di satu pihak sangat meyakinkan untuk peningkatan apresiasi, tetapi di lain pihak keadaan belum memungkinkan karena masih kurang perhatian dan pengertian seperti yang telah disebutkan di atas tadi.
Bagaimana selanjutnya terserah pada kita semua, dan meminjam kalimat Sudjojono almarhum dengan segala respek, “Seni Grafis Indonesia” kemana akan kita bawa, untuk itu marilah kita bertukar pikiran, karena memang rasanya sudah waktunya.
Ceramah ini dibacakan saat diskusi seni rupa yang berlangsung pada 19 Juni 1986 di Taman Ismail Marzuki, dengan Agus Dermawan sebagai moderator. Arsip Dewan Kesenian Jakarta.