SUATU CABANG LAGI DIPENUHI

Sumber: Mimbar Indonesia, Tahun II, No. 40, 2 Oktober 1948, hlm. 17-18.

Perpusatan intelektual dunia, baru terdapat, bila orang-orang di tempat itu cukup mempunyai inisiatif untuk menegakkannya dan menarik semua aliran dari tiap-tiap aliran di segala lapangan. Soal inisiatif dan soal menegakkan ini adalah soal hidup, atau soal tumbuh atau lebih lanjut lagi soal jiwa yang mau memperlihatkan bahwa dia itu hidup, dan menunjukkan bahwa dia itu sanggup hidup. Kesanggupan hidup dan sampai kemana kuatnya kesanggupan ini —termasuk juga, masih ada atau tidak lagi kekuatan yang menyanggupi tumbuhnya selanjutnya— akan dapat menentukan nilai dari hasil itu dan nilai dari usaha pemusatan.

Semua usaha pemusatan-pemusatan kita selama ini dan sampai kini belum dapat lagi mendirikan satu pusat yang riel, tapi tidaklah dapat kita hilangkan harga dari usaha-usaha untuk memusatkan itu. Seorang yang hidup dan tidak iri hati terhadap apa-apa yang hidup pula, sudah pada tempatnya kalau kita perhatikan soal hidup sesuatu diluar kita itu, dan menghargai nilai kerjanya itu, dengan tidak melupakan hubungannya yang besar dalam usahanya untuk memusatkan riel.

Suasana yang berisi maksud inilah yang menarik perhatian kita di dalam “kata pengantar” dari “Pantjaran Pertama”, sebuah album kumpulan pahatan lino dari Mochtar Apin, yang terbitnya diusahakan oleh perkumpulan kesenian Gelanggang bersama penerbit “Pustaka Rakjat”. Kita kutip satu kalimat yang makin menegaskan pula: “Semoga bertambahlah perhatian umum untuk cabang seni lukis yang baru ini di negeri kita.”

Perhatian! Perhatian dari kita terhadap yang harus kita leburkan dalam usaha yang belum atau masih kurang kita kerjakan. Padahal yang memusatkan pada keinsyafan kita bahwa kita dapat mengerjakannya juga bagi orang luar, sehingga terbuka matanya, bahwa orang-orang disini mempunyai kesanggupan. Usaha yang macam ini bukan propaganda, tapi dia menyorongkan kenyataan, atau bukti yang beku sekali.

Dan bila perhatian-perhatian ini telah menjadi wujud —dari pihak kita dikerjakan dengan sibuk dan tekun, dan dari pihak luar dituruti dan menjadi soal dan persoalan bagi mereka— maka satu pusat yang imaginair telah dapat kita capai.

Melihat usaha baru dengan penerbitan “Pantjaran Pertama” dari sudut pandangan ini sungguh menggirangkan. Apalagi mengingat bagaimana sulitnya bagi seni lukis, yang mempergunakan kain, kertas, cat sebagai alat, dan bagaimana sulitnya pula untuk membuat reproduksi lukisan-lukisan berwarna, maka lukisan hitam putih dalam album pahatan lino ini sebagai bagian seni lukis, sungguh lebih beruntung dan lebih mudah menjumpai orang-orang yang meminatinya.

Biarpun pahata lino (juga pahatan kayu) adalah sebagian dari seni lukis, tapi ada perbedaannya dalam konsepsi untuk bisa mendalami seni pahatan yang direproduksi. Pada melukis biasa, si pelukis hanya meletakkan garisnya, warnanya dan lain-lain. Berhasil atau tidak lukisannya itu tergantung pada bagaimana ia meletakkannya itu. Tapi pada lukisan pahatan yang direproduksi, si pemahatnya, bukan melukiskan apa yang dikehendakinya, tapi konsepsi lukisan itu lebih bersifat suggereren, dia berusaha untuk bagaimana nantinya. Jadi gambarnya yang sebenarnya waktu dia bekerja itu, hanya ada di dalam pikiran, sedang yang “dilukis”-nya bukanlah gambar itu.

Bekerja semacam ini sungguh membutuhkan pemusatan tenaga mencipta yang tekun. Dan memang disinilah pula letak keindahan lukisan-lukisan pahatan. Tenaga memusatkan sugesti itu pindah ke dalam garis-garis dan bidang-bidang dalam lukisan-lukisan pahatan itu. Rasa, lebih keras dan tajam terasa padanya sehingga lukisan ini lebih menuju ke rasa yang mendalam dan berat.

Bahaya besar dalam membuat lukisan dengan memahat cara ini adalah si pemahat itu membiarkan dirinya bebas dan melukis di linonya atau di kayunya itu. Biasanya hasil kerja begitu hanya berupa gambar (picture, tekening). Usaha melihat “yang nanti” tidak ada, sedang gambar begitu kalau sudah direproduksi hilang-hilang. Barangkali indah lukisan itu hanya ada pada lino atau kayu itu sendiri, tapi tidak pada reproduksinya.

Pada “Pantjaran Pertama” ini, kedua-dua faktor ini nyata kelihatan. Kadang-kadang beradu-adu dalam satu lukisan. Rupanya Mochtar Apin tahu apa yang harus dilakukannya, tapi belum dapat melepaskan dirinya dari desakan melukis pada bahan yang dipahatnya. Dan kalau sudah: toh bagus juga, pikirnya. Ini dapat kita lihat dalam: Pengemis, Peladjar, Penjair Muda.

Pada Orang Tidur, nyata benar peraduan dua faktor ini. Hitam dimana kepalanya hilang, sekitar jarinya tapak kakinya, nyata baik dalam konsepsi yang disugerirnya. Sedang yang lain-lain lebih jelas memberikan bentuk suatu gambar. Lompat Tinggi, hanya gambar saja. Pengemis, bagian muka saja yang cukup kuat.

Tapi yang perlu mendapat perhatian: Wanita, Telandjang, Perempuan Solo, Tjakap Pinggir Djalan.

Telandjang, biarpun belum seluruhnya telah dapat membuat perhitungan dengan mencari efek-efek yang bersifat lukisan, telah dapat nilai-nilainya dengan hanya membagi-bagi hitam dengan putih. Juga Tjakap Pinggir Djalan, dapat membuat perhitungan itu.

Pada Wanita dan Perempuan Solo, Mochtar Apin dapat memberikan dan menyimpan ketenangan keseluruhan yang liuk lampai (lenig en soepel) biarpun alat-alatnya memaksanya kejang, tegang, dan persis (zuiver).

“Pantjaran Pertama” ini baru pancangan, yang menunjukkan tempat dimana harus mendirikan. Mudah-mudahan pelukis pemahat inii dapat menghidupkan terus apa yang dikehendakinya dan pun juga dapat menyelesaikan kehidupan itu.

Seni Grafis Indonesia dan Perkembangannya