NASIB INDUSTRI DAN SENIMAN FILM NASIONAL

Sumber: Zaman Baru, No. 5, 15 Maret 1960.

Kalau ada peristiwa yang secara nasional menggembirakan dari dunia film kita di waktu-waktu akhir ini, maka persitiwa itu ialah “Musjawarah Film Nasional ke-I” Oktober tahun 1959. Dengan Musjawarah Film Nasional itu harapan kita bukanlah hanya semoga lahirlah sebuah konsepsi yang nasional bagi pembangunan industri dan seni film nasional kita, tetapi ada pula harapan pada kita agar berkembanglah hendaknya mentalitas yang nasional dan berkebudayaan dari pendukung-pendukung dan orang-orang yang berotoritet dalam dunia film nasional kita ini.

Sementara itu kita menampak dengan jelas bahwa selain petualang, tukang catut, showbusiness yang vulgar, dunia film kita juga ternyata mempunyai seniman-seniman yang baik, kapitalis film yang sadar akan arti kulturalnya film, dunia film kita juga mempunyai technikus dan pekerja-pekerja film yang tekun dan jujur. Karena itu harapan kita bukanlah hanya berarti harapan, tetapi harapan kita berarti keyakinan pada kekuatan nasional yang patriotik dan militan.

Musjawarah Film Nasional ke-I, memang telah melahirkan sebuah politik atau konsepsi yang pokok bagi pembangunan selanjutnya dari industri dan seni film nasional kita. Konsepsi itu bukan hanya teknis baik tetapi juga, cocok dengan arusnya revolusi kita sekarang, akur pula dengan Manifesto Politik serta Komando Bung Karno melawan kebudayaan ngak-ngik-ngok, melawan kebudayaan imperialis yang merusak.

Boleh dong kita heran atau menyesal, mengapa pemerintah tidak mengkonsolidasi hasil-hasil Musjawarah Film Nasional ini. Padahal kita, dan saya kira juga pemerintah tidak mungkin lupa atau melupa-lupakan bahwa pemerintah atau kabinet-kabinet selama ini secara cukup royal telah memasang beratus juta rupiah dan devizen selalu investasi pada industri film nasional kita. Sikap pemerintah terhadap industri film, dibanding dengan sikapnya terhadap lapangan kesenian dan kebudayaan lainnya, seperti kesusastraan, seni rupa, seni tari, musik, atau bahkan ilmu sekaligus, adalah cukup royal. Tetapi memasang beratus juta rupiah pada industri film nasional, tidak bisa disamakan dengan memasang dadu. Film disamping ia mempunyai segi industri dan dagang, ia juga punya segi kebudayaan, pendidikan dan politik. Pemerintah yang betul-betul pemerintah tentu tidak akan bersikap seperti tukang catut berhadapan dengan tukang catut dalam soal industri dan seni film nasional kita ini. Saya masih saja punya kepercayaan, bahwa pemerintah pada satu hari akan mengurus industri dan seni film nasional kita secara sungguh-sungguh dan menuangkan Manifesto Politik, Program Kabinet serta Komando Bung Karno anti kebudayaan imperialis dilapangan kebudayaan pada bidang film suatu bidang yang secara gigih dinyatakan oleh Sekjen Kempen Harjoto, bidang mass communication yang penting sekali.

Sekarang, apakah yang sudah dihasilkan oleh industri dan seni film nasional kita? Sudah tentu ada, tetapi sangat kurang, bahkan merugikan terbanding besarnya harapan serta pemasangan uang pada industri film ini. Dibanyak bagian pada produksi film kita, kita temuilah pula racun-racun bagi revolusi dan perjuangan bangsa. Sedang kuantitas dan kualitas produksi secara nasional sangat jauh dibawah kebutuhan dan kapasitas produksi dari industri itu sendiri. Inilah yang menyedihkan.

Apa soal pokok bagi industri dan seni film nasional kita hingga dewasa ini? Sederhana, tetapi cukup berat. Dominasi film-film imperialis Amerika di Indonesia, bukan hanya telah menghisap dan merusak sebagian besar penonton-penonton Indonesia, tetapi, dominasi itu telah menyikut film-film nasional ke jurang krisisnya yang kronis. Krisis, tidak hanya dalam hal peredaran, perdagangan, tetapi juga isi dan mentalitas dunia film kita menjadi penyakitan. Begitulah kita lihat petualangan, croosboyisme, showbusiness yang merendahkan martabat seniman-seniman dan kesenian film dan bermacam penyakit lainnya yang hanya bisa sembuh kalau musuh pokok film nasional kita, yaitu dominasi film-film imperialis di tanah air kita disikat, paling sedikit kita batasi dan kita kuasai. Mengapa bioskop-bioskop dan penonton-penonton kita, kita gadaikan begitu saja kepada dominasi film-film imperialis hanya untuk mendapatkan sekedar pajak dan rurni? Sepuluh tahun pengalaman mengajar kita dan saya pikir cukup juga untuk mengajar pemerintah, bahwa dominasi film-film imperialis ini, lebih banyak mendatangkan celaka bagi industri dan seni film nasional kita, daripada laba material dan kultural. Sekarang sudahlah datang masanya bagi pemerintah untuk meninjau meretool sikapnnya/politiknya dibidang film ini, kalau, kalau pemerintah betul-betul mau melaksanakan Manifesto Politik, Program Kabinet dan Komando Bung Karno melawan kebudayaan imperialis. Menteri Maladi sudah meretool PFN. Tetapi PFN bukanlah maskapai atau agen film imperialis yang berbahaya PFN itu hanyalah kurang terurus.

Dalam hari-hari ini timbul soal baru yang sudah lama, yaitu “ikut sertanya Indonesia dalam apa yang dinamakan Festival Film Asia di Tokyo”. Festival ini tidak diorganisasi oleh pemerintah-pemerintah tetapi oleh gabungan kapitalis film dari Taiwan, Hongkong, Singapura, Makau, Filipina, dan beberapa lagi.

Festival ini sudah yang ke-7 dan boleh dikata setiap festival Asia itu, ada saja yang datang dari Indonesia sebagai wakil yang “absah”. Masalah kita ialah, apakah ada untungnya kita hadir dalam festival Asia yang justru tanpa Asia. Pengalaman menyatakan tidak. Tidak ada untung. Malah banyak ruginya. Rugi moral, rugi material, apalagi politik dan kebudayaan. Kalangan film menamakan festival ini sebagai festival film SEATO. Ini dibenarkan oleh Amir Jusuf selaku wakil ketua PPFI (baca tulisannya Bintang Timur 25 Februari).

Sementara itu, banyak seniman dan sutradara film telah memprotes ikut sertanya film-film Indonesia pada festival SEATO itu.

HR Sport dan Film dalam berita-beritanya secara jelas telah mengemukakan bahwa ikut sertanya film-film Indonesia pada festival SEATO itu, tidak pernah menguntungkan dan tidak ada yang bisa membuktikan, juga pemerintah saya kira, bahwa kita diuntungkan oleh festival SEATO itu. Hingga hari ini ekspor film Indonesia ke Jepang, ke Filipina, ke Hongkong, ke Taiwan tetap tidak ada. Tetapi film-film mereka lenggang-lenggang kangkung saja menyedot duitnya penonton-penonton kita. Juga ke Singapura atau Malaysia ekspor film kita praktis nol, dan kalau ada hanya satu, yang satu itu pun tidak diperedarkan. Itulah kalau kita melihat secara hubungan dagang film kita dengan kapitalis-kapitalis yang bergabung dalam gabungan kapitalis film Asia tanpa Asia itu. Secara artistik dan kultural, bantuan apa yang sudah diberikan oleh film-film yang pada umumnya dekaden itu? Sudah tentu ia membantu kita, tetapi membantu kita untuk merosot dan sehingga pasaran film kita bisa dimamah bulat-bulat oleh film-film imperialis.

Soal ini hendaklah jelas bagi pemerinntah dan dunia film sendiri. Janganlah politik film kita disamakan dengan akal-akal catutisme. Menyerahkan leher ke blok SEATO di lapangan kebudayaan atau film rasa-rasanya jauh dari sikap atau politik pemerintah sekarang ini.

Mudah-mudahan pemerintah berkenan untuk tidak membiarkan nasib dunia film nasional kita diakali terus-menerus oleh petualang-petualang dan kaum reaksioner. Untuk itu seniman-seniman, sutradara, artis, pekerja-pekerja, dan buruh film sudah bergulat dan pergulatan itu akan terus. Yakinlah.