PERTUNJUKAN PELUKIS-PELUKIS INDONESIA (II)

Sumber: Pemandangan, Tahun IX, No. 104, 12 Mei 1941, hlm. 2.

Dengan menyebut S. Soedjojono, S. Toetoer, Agoes Djajasoeminta dan Soeromo (dalam “Tari Timoer”), kita menunjukkan keempat haluan yang terutama dalam seni lukis Indonesia pada waktu ini.

Nama-nama mereka itu disusun dengan sengaja: menurut derajat “kenyataan” haluannya dan derajat sifat “Timoer” (Timur Lama) yang ada didalamnya.

Yang paling lemah pada waktu ini ialah haluan yang keempat, bahkan wakilnya dalam pertunjukan ini memperlihatkan, bahwa ia tak yakin benar akan “baiknya” haluan itu: ia mengirimkan lukisan yang lain pula, yang meninggalkan pokok aliran tadi dan yang terletak antara haluan Agoes Djajasoeminta dan Soeromo.

Kita tidak tahu bagaimana susunan seteling ini, kalau sekiranya juri Bataviasche Kunstkring menurut ukuran-ukuran yang lain. Kita tidak tahu berapa banyaknya lukisan yang ditolaknya yang bersifat sebagai “Tari Timoer” itu. Kita dengar ada lebih kurang 160 buah yang dikirimkan, sehingga boleh jadi antara yang lebih kurang 100 lukisan, yang tidak dianggap baik itu, ada beberapa yang mewujudkan percobaan mencari dorongan dan bahan dalam seni. “Timoer”, seni Indonesia. Kita cuma bisa membicarakan yang ada dalam pertunjukan ini.

Sesungguhnya bagi pelukis-pelukis kita sukar sekali memandang kepada yang sudah ada, sebab yang sudah ada tidak berapa: hanya lukisan-lukisan Bali. Selanjutnya mereka itu mesti melihat kepada wayang, candi, seni kayu, batik, tenunan (warna). Dengan perkataan lain: hubungan seni lukis Indonesia pada masa ini tidak bisa kuat sekali hubungannya dengan suatu seni lukis Indonesia lama. Dalam pada itu “semangat Indonesia” tentu dapat mereka wujudkan dalam pekerjaannya dan memangnya bagaimanapun condongnya Soedjojono dan Toetoer ke “Barat”, semangat Indonesia kedapatan juga dalam lukisan-lukisannya. Selebihnya kita cuma bisa mengajukkan azas-azas, akan tetapi pada akhirnya sekaliannya ditetapkan oleh perjalanan seni, oleh apa yang diperbuat ahli seni dengan azas-azas itu. Kita mesti menerima lukisan-lukisan yang sekarang dan menunggu bagaimana perjalanan seni lukis Indonesia (baru).

Kepada ahli-ahli seni kita cuma bisa dikatakan mewujudkan jiwanya sendiri dalam bentuk yang paling cocok dirasanya baginya.

Pekerjaan kritikus pada waktu ini tidak bisa lain dari pada mencoba melihat jiwa tiap pelukis dan mengukur lukisannya atas dasar penglihatan itu.

Dengann demikian kita tidak hendak mengatakan haluan mana yang paling baik.

Kita peringatkan pula, bahwa meskipun atas dasar Timur Lama mungkin terjadi perlanjutan.

Dengan lebih nyata: kita melihat semangat Indonesia dalam sekalian lukisan itu dan kita melihat pula, bahwa “kenyataan” pada pelukis-pelukis berlain-lain derajatnya akan tetapi kita tidak hendak mengatakan mana yang sebaik-baiknya.

Itu sebabnya kita menghargai sekalian aliran dan itu sebabnya kita memandang pelukis-pelukis dalam lingkungan pokok seninya sendiri.

Kemudian pun azas kritik seperti inilah yang sebaik-baiknya pada perasaan kita, akan tetapi dalam zaman perbincangan tentang “kebudayaan baru” ini ada artinya yang khusus.

Dengan memakai azas ini kita bisa mengatakan, bahwa Soedjojono dan Agoes Djajasoeminta telah membawa kecakapannya ke tingkatan yang sangat tinggi dan mewujudkan haluannya dengan caranya yang mengagumkan.

Mereka itulah yang paling markant, yang paling kentara antara pelukis-pelukis yang mempertunjukkan buah tangannya dalam seteling ini, meski Agoes Djajasoeminta masih terlalu banyak mengadakan percobaan: dari segi twee-dimensionaal, bersegi dua, sampai kepada van Gogh.

Penghargaan tinggi pula kepada Toetoer, terutama dalam “Pemandangan” atas Megamendung dan mesti dipuji Sjoeaib Sastradiwirja No. 37 “Oeboeg”), Soekirno (No. 4 “Chrysanten”), Soeromo (“Tari Timoer”), Soemitro (No. 47 “Memotong Padi”), Iton Lasmana (No. 36 “Kembali Kekandang”) baik juga, mengandung sifat sendiri. Soerono paling tetap dalam “Alam Dengan Djembatan” (No. 50). Lukisan-lukisannya kekurangan semangat, terlalu condong kepada gambaran menurut contoh benar. Hal ini lebih jelas lagi pada Abdoel Salam (No. 1, 2, dan 3). Lukisan-lukisannya mendekati kunst photo’s, foto-foto berwarna yang bagus. Rameli masih harus mengembangkan kecakapannya (No. 53 dan 54). Lukisan-lukisan Herbert Hoetagaloeng terlalu dekoratif. Ia terlalu suka kepada “perhiasan”, sehingga lukisan-lukisannya terlalu “manis”, zoeterig, tidak menimbulkan perasaan apa-apa.

Raden Soediardjo humoris, gemar kepada yang lucu-lucu. No. 38, “Membatja Talkin” baik sekali. No. 39 lucu juga, tetapi dalamnya ada pula kesungguhan, baik dalam artinya, maupun dalam bentuknya.

Emiria Soenassa Wama’na Poetri Al ‘Alam (lahir di Tanawangko, Selebes Oetara) menduduki tempat yang tersendiri. Ia mencari dasar dalam seni daerah Indonesia sebelah timur, bukan saja tentang acaranya, tetapi tentang bentuknya, susunan warnanya (alasan hitam) pun juga, terutama dalam No. 59, “Pekoeboeran Dajak Pnihing” dan No. 61, “Orang-orang Papoea”. Dalam No. 60, “Kampoeng Diteloek Rumbolt”, ia melangkah dengan bimbang, ke arah pelukis yang lain-lain. Ia boleh dikatakan hendak membarui seni “primitif”, seni Indonesia yang kuno sekali, hendak membawa perasaan dan bentuk “etnik” (golongan bangsa yang hidup dalam masyarakat tertutup) ke dalam lingkungan “Indonesia masa sekarang”.

Alhasil? Kita bersuka cita melihat, bahwa bangsa kita sanggup menimbulkan pelukis-pelukis yang cakap. Ini bukti, bahwa bangsa kita sesungguhnya hidup, berchairait.

Kita girang, bahwa lukisan-lukisan Indonesia banyak sekarang. Ini tanda kekuatan semangat: tiap buah seni ialah hasil penunggalan jiwa, ketabahan hati, kemauan yang keras.

Akhirnya: di negeri yang lain-lain pemerintah atau badan-badan yang dibantu oleh pemerintah menyokong penerbitan majalah atau buku-buku tahunan yang berisi reproduksi, gambar-gambar yang berwarna dari pada lukisan-lukisan yang paling baik yang tercipta di negeri-negeri itu. Demikian di Prancis, demikian di Amerika Serikat, di Jepang, di Inggris, di India.

Sampai sekarang bukan demikian di Indonesia, sedang perlu untuk peringatan (lukisan disimpan dan susah dilihat oleh publik lagi) dan untuk memperkenalkan lukisan-lukisan kepada orang yang tidak dapat mengunjungi pertunjukan-pertunjukan.

Pertunjukan Pelukis-Pelukis Indonesia