Sumber: Indonesia Raya, Tahun VI, No. 88, 16 April 1955, hlm. 3.
Berkat kerjasama antara Gabungan Pelukis Indonesia dan Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional yang merayakan ulang tahunnya ketiga, maka oleh badan yang tersebut terakhir ini diselenggarakan pameran lukisan di Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia 47, Jakarta, pada tanggal 12 sampai dengan 26 April.
Ini adalah pameran terpenting di ibukota selama tahun yang baru lampau sampai sekarang, disebabkan oleh mutu pameran, oleh tampilnya beberapa pelukis muda yang berarti dan oleh jitunya penyusunannya. Terlalu sering orang mengumpulkan koleksi secara komersil, ataupun secara “asal-jadi” belaka, berdasar pada nafsu hendak buru-buru dillihat publik dan orang-orang terkemuka, dengan tak mengingat taraf kematangan serta tanggung jawab terhadap umum yang diperlukan untuk tiap-tiap pameran. Amat sering juga penyusunan eksposisi tidak sesuai dengan maksud yang dikandung oleh pameran kesenian, hingga lebih mendekati penyusunan bazar jual-obral.
Pemandangan kami tentang pameran ini perlu disertai kata ikhtisar sedikit, agar dapat dilihat dengan proporsi yang sewajarnya. Perlu juga dicatat usaha BMKN untuk mengundang para pelajar SMP, SMA dan mahasiswa serta membawa mereka menghadapi lukisan dengan diberi penjelasan (rondleiding), mungkin juga disertai ceramah: ini akan dilakukan pada tanggal 18 dan 22 bulan ini jam 10.00 di Balai Budaya. Ini adalah usaha pertama ke jurusan menambah pengertian dan kesadaran kepada publik akan arti seni lukis oleh BMKN: hendaknya dianggap pendahuluan untuk usaha-usaha selanjutnya. Yang kami maksud ialah kalau sudah ada art gallery (balai seni rupa) dan museum seni modern di ibukota (Wah! Kapan, ya?), maka hal itu dapat dijalankan tiap hari, tak hanya untuk pelajar-pelajar, tapi untuk seluruh rakyat.
Usaha urgent ini telah menunggu 9½ tahun, sedangkan tenaga-tenaga pembimbing dan kebutuhan khalayak sudah lama ada. Pertama kali ini dimulai dengan para pelajar, terutama mahasiswa, karena merekalah calon-calon intelek bangsa, yang mesti mempunyai pemandangan luas, apalagi pengetahuan serta kecintaan terhadap kebudayaan dan kesenian bangsa sendiri. Menurut pengambil inisiatif ini, Prof. Bahder Djohan, para mahasiswa umumnya enggan diajak menyaksikan pameran-pameran kesenian dan usaha-usaha lain semacam itu, karena konon terlalu sibuk belajar, hingga tak ada waktu. Sebetulnya sikap mereka ini berpangkal pada kurang adanya kesadaran kebudayaan. Menurut orang lain, mereka lebih punya waktu untuk menghafalkan Riwayat Esther Williams, berapa kali kawinnya, bintang-bintang film asing, lebih gemar melakukan dansa-dansi, dan lain-lain. Dilihat dari segi sikap BMKN sendiri, usaha ini juga menunjukkan kemajuan kesadaran, yakni kesadaran akan usaha-usaha praktis untuk menyalurkan hasil budaya kepada umum, hal mana lebih bermanfaat daripada kongres-kongres, rapat, pidato-pidato resepsi yang menjadi mode belaka, dan sebagainya, itu yang hanya tinggal diatas kertas atau hilang di ruang sepi tak berkumandang di masyarakat. Mudah-mudahan pembiayaan untuk kongres-kongres dan sebagainya itu di hari-hari mendatang lebih dialirkan kepada usaha-usaha praktis seperti ini; alangkah baiknya jika dipakai untuk mendirikan art gallery yang pertama di Indonesia. Tak adanya satu pun art gallery di ibukota suatu negara yang berpenduduk 80 juta ini suatu hal yang memalukan sekali!
Terhadap pembaca kami minta maaf, kalau tulisan ini campur-aduk seperti gado-gado, setengah esai sederhana, setengah resensi. Maksud kami berpedoman pada sikap hendak mengutarakan sebanyak mungkin buah pikiran yang urgent dalam ruangan terbatas.
Gerakan seni lukis modern di Indonesia yang dimulai pada tahun 1938 itu selama perkembangannya sampai kini —yakni selama 17 tahun telah— telah menunjukkan kemajuan yang boleh dikatakan pesat. Kemajuan ini bisa kita lihat menurut kemajuan mendalam dan kemajuan meluas.
Kemajuan yang pertama itu mengenai bertambah matangnya tokoh-tokoh dan calon-calon tokoh selama ini, yakni tak hanya kemenangan mereka dalam pergulatannya menguasai cat dan kanvas yang akhirnya melahirkan kemenangan mereka sebagai seniman dalam menyalurkan pengucapan batin dalam bentuk seni yang baru yang tadinya belum kita kenal, tapi juga yang tak kurang penting ialah kemenangan mereka sebagai juru (vakman) dan sebagai anggota masyarakat atas tekanan ekonomi dan tekanan situasi sosial lainnya, sampai terciptalah suatu segi baru, suatu ruangan hidup baru dalam kehidupan orang di masyarakat Indonesia.
Kemenangan dalam pengucapan batin mungkin masih terbatas pada kemenangan seniman saja (an sich), sedangkan kemenangan yang berikut tadi tak hanya mengenai seniman saja, tapi juga mengenai kesosialan. Sebab dengan diakuinya para seniman kita sebagai anggota masyarakat yang mempunyai hak hidup di masyarakat, maka kemajuan mereka selanjutnya memberi kenyataan bahwa oleh para pendukung seni rupa kita itu telah terbuka cara hidup yang baru. Berarti bahwa kebudayaan kita diperkaya dengan satu cabang lagi. Keuntungan yang dibawa oleh cabang kebudayaan yang baru yang telah merebut ruang hidupnya sendiri ini tak hanya membuat kehidupan kita lebih mendalam, tapi juga lebih mempunyai variasi dan kedua-duanya menunjukkan adanya dinamik. Dan dimana variasi hidup ini diikuti oleh makin banyak anggota masyarakat, maka disitulah mulai suatu masalisasi atau popularisasi, dan inilah yang kami sebut tadi kemajuan yang meluas.
Hal ini sudah terbukti, karena kian banyak orang ingin menjadi pelukis dan banyak lagi yang sudah mulai gemar melukis sebagai hobi, artinya baik pelukis nafkah maupun pelukis amatir kian bertambah jumlahnya, dan ini sangat menggembirakan. Misalnya di pulau Jawa saja gerakan melukis sudah nampak dari Jakarta sampai Jember; demikian pula pulau-pulau lain. Di berbagai kalangan timbul kegiatan-kegiatan yang tadi-tadinya tidak kita sangka-sangka, kalangan pelajar misalnya, kalangan angkatan perang, bahkan kalangan wanita. Bagian akhir tahun yang lalu dan tahun kini bertubi-tubi orang mengadakan pameran. Sudah tentu kita tak boleh mengharapkan bahwa semua hasil yang dipamerkan itu memuaskan. Kitapun harus mewatasi seni profesional dan seni amatir. Kitapun tahu bahwa banyak avonturisme yang lebih mengarah komersialisme daripada mengarah kesungguhan hati. Tapi meskipun begitu, ditengah-tengah gerakan yang ramai ini tentu kelak hari akan timbul tokoh-tokoh atau calon-calon tokoh baru, dan ini perlu bagi terus hidupnya cabang-cabang kebudayaan, hingga berjalan terus-menerus dari angkatan ke angkatan, seperti dalam estafet, dan ini sudah sewajarnya dalam negeri yang kebudayaannya hidup.
Karena itu hendaknya dalam pameran-pameran itu disamping mencari nilai, kitapun mencari kemungkinan-kemungkinan untuk pembawa estafet itu, untuk mengetahui keragaman dalam pengucapan batin para pelukis dan dengan begitu pengucapan batin bangsa kita.
PAMERAN GABUNGAN PELUKIS INDONESIA PADA ULANG TAHUN KE-III B.M.K.N. (II)