PAMERAN GABUNGAN PELUKIS INDONESIA PADA ULANG TAHUN KE-III B.M.K.N. (II)

Sumber: Indonesia Raya, Tahun VI, No. 89, 18 April 1955, hlm. 3.

Dalam jangkauan pengertian inilah Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional (BMKN) mengadakan pameran lukisan. Yang tampil ke depan umum ialah buah kerja pada anggota Gabungan Pelukis Indonesia (GPI), sebanyak 48 buah.

Ruangan dalam gedung menampakkan pemandangan yang menyedapkan, sungguhpun sederhana, suatu bukti bahwa pengatur-pengaturnya mempunyai pengertian dan selera baik tentang penyusunan pameran, hal mana masih jarang kita jumpai, meskipun di ibukota. Melihat isi pameran pun segera kita mendapat kesan, bahwa para pelukis yang ikut itu sebagian besar orang-orang yang sederhana, baik dalam sikap hidup maupun dalam cara mengemukakan perasaannya. Jumlah semuanya ada 17 orang, masing-masing mempunyai aliran, selera dan interpretasi sendiri-sendiri, hal mana menunjukkan perkembangan yang aneka ragam. Keragaman ini sudahlah menggembirakan, tapi kita harus segera ingat bahwa bukan aliran atau gaya yang penting, melainkan nilai. Bahwa sekian banyak aliran yang hidup di Indonesia pada waktu yang bersamaan, tiadalah mengherankan, karena sejarah seni lukis Indonesia masih muda serta mengejar perkembangan-perkembangan yang Eropa misalnya melingkupi zaman berabad-abad. Salah satu ciri seni lukis Indonesia ialah mengolah masalah-masalah kesenian yang di lain-lain negeri berlaku selama beberapa angkatan itu dalam waktu yang pendek saja. Hal ini membuktikan kesanggupan para pelukis kita dalam hal mengejar kemajuan, sampai tak ketinggalan lagi oleh bangsa lain.

Kesederhanaan sikap hidup dan cara melukiskan perasaan yang kami sebut tadi terutama nampak pada Nashar, Mardian, Sesangka, Sjahri dan Zaini. Nashar hampir tak pernah memakai variasi dengan alat-alat yang lahiriah; variasi ditemukannya dalam menyelami soal hakekat; orang ditariknya langsung pada yang hakiki itu yang baginya selalu penuh dengan hidup. Kepenuhan ini memberi isi yang mantap. Kemantapan ini menjadi faktor tetap yang menjadi dasar, boleh dikatakan suatu tenaga alam atau “oerkracht”; dan sesungguhnya jiwa Nashar sendiri adalah tenaga alam dan karena itu sangat dekat pada jiwa kerakyatan. Disitu letak keindonesiaan Nashar yang merupakan kekuatannya. Caranya mewarnai lukisannya yang tunggal nada (monoton) itu sesuai dengan kesederhanaan kealamannya, maka ketunggalnadaan itu barangkali menyebabkan, mengapa ia dengan alat konte yang hitam saja sudah mencapai keharuan yang sama dengan lukisan-lukisan berwarna.

Pelukis yang juga mempunyai corak kerakyatan yang kuat ialah Mardian, malahan nampak lebih jelas lagi kerakyatannya itu daripada Nashar. Ini disebabkan karena Nashar mencari bentuk-bentuk dan warna-warna sendiri, sedangkan bentuk-bentuk dan warna-warna yang dipakai Mardian itu sangat mirip sekali pada lukisan-lukisan rakyat yang banyak dijual di jalanan. Menyebut hal ini bukannya merendahkan buah kerja Mardian, seperti mungkin disangka orang. Tidak, malahan sebaliknya! Pelukis ini telah mengangkat derajat seni rakyat dengan memberinya anasir kepribadian yang pada seni rakyat seringkali telah beku. Yang beku itu dialirkan oleh Mardian, diberinya hidup baru serta makna baru. Meskipun ketiga potretnya ini mengingatkan juga pada Modigliani, seorang pelukis Italia, namun perpaduan apa yang disebut Timur dan Barat ini oleh Mardian diolah menjadi ciptaan baru dan ini penuh vitalitet. Istimewa pada Potret Pemuda (no. 15) vitalitet ini nampak dengan jelas, pun disitu ditambah dengan sesuatu pernyataan, yakni penggambaran tentang jiwa pemuda sekarang menurut pengidealan si pelukis. Pemuda itu tegap lahir-batinnya kuat menghadapi tantangan; ia adalah representan dari jenisnya. Ia berdiri di depan kita seolah ada penyiar melukiskannya, epis meskipun tenang. Mardian telah melukis epik kejantanan dengan sangat bersahaja. Agaknya kalau ditilik benar-benar, masih ada juga kelemahan sedikit, yaitu latar belakangan biru yang kurang membantu plastisitet epiknya dan malahan agak romantik dan lunak.

Sesangka mempunyai sebuah akuarel yang kuat, sebuah cat minyak yang sedang saja nilainya dan beberapa sketsa yang bagus. Kelurusan hati dalam akuarelnya itu sayang telah melembut dalam cat minyaknya yang kami pandang kurang sesuai dengan pribadi pelukisnya.

Sjahri pun sederhana, meskipun orang mungkin tak akan mengakui hal ini, lantaran warnanya sangat mencolok mata. Sjahri memilih objek-objek kecil sehari-hari seperti itik, rumah bambu, kakus, ditambah sekelumit lingkungan seperti lorong, pohon separuh, dan sebagainya. Macam warnanya juga terbatas, terutama kuning keras dengan memakai biru tua sebagai kontras dan bayang-bayang. Tarikan pensilnya seperti Affandi dan Van Gogh. Sjahri memang berdarah pelukis, sebab kekuatannya terutama visual, tanpa banyak pemikiran. Ia tidak banyak mengaji perasaannya, tidak pula banyak mempertimbangkan komposisi dan hukum-hukum teknik lainnya. Dunia visual si pelukis ini paling kuat dinyatakannya dalam lukisan Kakus (no. 26). Warna-warnanya yang meriah itu kadang-kadang membawanya pada kemanisan yang hanya sesaat saja menarik; kekurangan perhitungan menyebabkan lukisan (Ajam, no. 24) kurang hidup dan agak ceroboh, sedangkan latar belakang pada Bunga Dalam Pasu (no. 27) agak mengganggu. Sebaliknya, potret Orang Tua (no. 28) memberi coretan psychis yang merupakan pendalaman pada tangkapan Sjahri. Mungkin anasir ini adalah pembaruannya, dan mungkin pembaruan tangkapan kelak diperlukan oleh pelukis ini, agar menjaga diri dari kebosanan.

Zaini mempunyai empat lukisan pastel yang berlain-lainan corak dan gayanya. Rumah2 (no. 45) mendekati abstraksi dengan disaringnya sesuatu, hingga tinggal ekstraknya saja, tanpa detail. Ekstrak ini mengandung bibit yang mengembung, bibit yang mencapai saatnya akan keluar dari perut ibunya, dan bibit ini bersifat demenis; barangkali inilah sifat keindonesiaan Zaini. Melihat ini, teringatlah kita pada sajak Chairil Anwar: Tjerita buat Dien Tamaela. Pemandangan (no. 47) bergaya dekoratif dengan dipakainya detail-detail, mengingatkan pada kain-kain Bali. Penari (no. 48) adalah impresionistis, dimana garis dan bentuk hanya sekedarnya saja diambil untuk menyatakan kesan.

Potret (no. 4) oleh Baharudin merupakan studi kepribadian seseorang yang berhasil. Oesman Effendi mengirimkan 50 lukisan pena kecil-kecil yang merupakan siklus. Berbagai gaya yang dipakainya membuktikan kecekatan teknis. Dalam koleksi ini yang dilahirkan oleh pemikiran dan fantasi dengan bertolak dari relief-relief candi-candi, Oesman Effendi berhasil melukiskan keluhuran dan keabadian manusia dengan nada liris.

A. Wakidjan berhasil menangkap suasana dalam Ikan kering (no. 34) dan Pemandangan (no. 37), yang pertama lebih kompak dari lainnya yang lincah itu tapi kurang mendalam. Pasar Ikan nya (no. 35) agak beku dan dingin, mungkin disebabkan karena percobaan romantik ini tak serasi dengan sifat pelukis. Alimin menganut realisme yang “mengerikan”, karena terlampau teliti, sungguhpun menunjukkan kecakapan teknis. Pemandangannya di Puntjak (no. 1) mengingatkan kita pada layar-layar di panggung sandiwara rakyat, namun kami rasa bukan beginilah cara yang baik untuk melanjutkan seni kerakyatan itu, sebab kebekuan tidak dilenyapkan, karena terlalu menyerah pada “alam nyata”. Cukilan kayu Wim Nirahua dapat diterima baik, tapi Lapangan Merdeka nya hanya merupakan kemanisan belaka, demikian pula Lapangan Merdeka (no. 19) oleh Puranto Japung. Lukisan Bambu (no. 18) Puranto tak kami mengerti mengapa sampai masuk dalam pameran ini. Sunter (no. 20) oleh Rozali cukup bagus, tapi masih mendatar. Koleksi Sutiksna sebagian besar mendatar pula, satu-satunya Potret (no. 5) oleh pelukis ini adalah yang terbagus dalam koleksinya, meskipun masih tinggal pada melukiskan kehalusan saja. Demikian juga halnya dengan Nasjah. Yang paling tidak berhasil dalam eksposisi ini ialah Zainudin yang lukisan-lukisannya terasa hampa. Sebaliknya, Potret (no. 5) serta Perahu oleh Burhanudin merupakan primeur-nya yang cukup memberi harapan.

Sekianlah pemandangan kami tentang isi pameran. Alhasil, GPI, telah mengadakan koleksi yang berarti, cukup mencerminkan bakat serta keragaman —dan dengan begitu sifat eksperimental— dari para anggotanya. Hal ini sesuai dengan kata pengantar katalogus oleh BMKN yang mengatakan bahwa tiap pameran bukan hanya pengenalan, tapi juga janji yang sanggup melahirkan sesuatu yang selalu meningkat mutu dan ragamnya. Dengan begitu pula terbukti bahwa ada kehidupan dan gerakan seni lukis di ibukota yang dinamis, suatu pencapaian yang penting bagi berlangsungnya kebudayaan yang hidup.

Jakarta, 14 April 1955

PAMERAN GABUNGAN PELUKIS INDONESIA PADA ULANG TAHUN KE-III B.M.K.N. (I)