HENDRA, PELUKIS RAKJAT?

Sumber: Indonesia, No. 5-6, Tahun VIII, Mei-Juni 1957, hlm. 241-244.

Menulis tentang pameran HENDRA yang baru-baru ini diadakan di ruang hotel Des Indes tidaklah gampang. Selain lukisan-lukisannya terlalu banyak ragamnya, dunianya yang masih dalam keadaan gerak yang terlalu cepat, juga sikap si pelukis itu sendiri terhadap keseniannya sering bertentangan satu sama lain. Ditambah pula dengan cara pameran dibawakan melalui kata pengantar yang termuat dalam daftar lukisan yang sama sekali sudah keluar dari bidang seni lukis, penggunaan istilah-istilah politik yang tidak kulihat gunanya sama sekali selain untuk memberi tekanan pada keyakinan politik si panitia itu sendiri. Semuanya ini menyebabkan aku sering merasa sedang berhadapan dengan sebuah teka-teki silang saja dalam usahaku menemukan Hendra. Sebab apa lagi yang penting dari suatu pameran lukisan, kalau bukan si pelukis itu yang mau keluar dengan dunia jiwanya sendiri melalui paletnya, objek perhatiannya, temanya dan tekniknya? Dan kita yang telah merasa perlu membuang waktu dan uang ongkos opelet untuk mengunjungi suatu pameran, bukanlah karena kita terlalu iri hati untuk mengetahui apa objek perhatian si pelukis, apa temanya dan apa warna-warna yang disukainya. Kesemuanya ini dapat diteruskan kepada kita (kalau memang penting) melalui sebuah pemberitaan dalam suatu kabar saja misalnya. Jadi sekali lagi, yang penting dari suatu pameran itu ialah menemukan si pelukis, dunia manusia kreatif. Berhasil tidaknya ia menyampaikan dunianya kepada kita, tergantung dari berhasil tidaknya ia mengalahkan alat-alatnya, materinya dan seterusnya. Simpatik atau tidak simpatik dunia pelukis itu, bisa atau tidaknya kita menyesuaikan diri dengan materinya adalah soal kedua yang tidak usah sampai mengurangkan kekuatannya sebagai hasil seni dan sekali-kali tidak dapat menentukan suatu kriterium seni atau bukan seni.

Konsepsi dan pelaksanaannya

Apa yang tidak usah dicari sampai jauh-jauh di pameran ini ialah bahwa si pelukis itu mau menunjukkan atau menceritakan kepada kita, bahwa ia mempunyai perhatian yang luas sekali kepada kehidupan yang berlangsung dalam masyarakatnya (rakyat): episode-episode revolusi, pasar batik, jajan es, main layangan, barongsai, jantung pantai, ibu dan anak, dan sebagainya. Melalui istilah “pelukis rakjat” tidaklah pula terlalu sulit bagi kita untuk dapat menduga sikap apa yang dikehendaki oleh si pelukis-pelukis dengan keluasaan objek perhatiannya itu, yang perumusannya tidak akan kucobakan disini. Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah: apakah objek-objek perhatian saja sudah cukup untuk dapat meyakinkan kita tentang sesuatu sikap seni lukis, bahkan sikap apapun juga? Jawabnya tentu mudah sekali, yaitu tidak. Sebab dengan menyebutkan saja perhatian kita terhadap kehidupan rakyat dengan segala duka dan sukanya, belumlah tentu orang sudah punya kontak langsung yang mesra terhadap kehidupan itu sendiri. Pada si politikus ukuran dicari dalam program politiknya, atau lebih jauh lagi ke dalam pandangan hidupnya yang mau melahirkan suatu program. Dari seorang seniman diharapkan suatu kepaduan antara objek perhatiannya dengan jiwanya sendiri. Kebenarannya dicari dalam kepaduan inilah. Kalau objek perhatian dengan jiwanya, masih seperti minyak di atas air, maka dikatakan objek perhatian itu dalam suatu hasil kesenian tidak benar atau “palsu”. Sudah barang tentu disini kematangan jiwa memegang peranan yang penting juga.

Penganten Revolusi

Adanya minyak di atas air pada Hendra dibuktikan oleh sebagian besar dari lukisan-lukisannya. Dengan istilah seni lukis yang lain kenyataan ini dikatakan: cat masih memegang warna tubenya. Lukisan “Penganten Revolusi” memberi bahan pembicaraan yang bisa agak panjangan.

Sekiranya kita tidak diberi tahu oleh suatu keterangan dalam daftar lukisan, tidaklah kita tahu bahwa pengantin laki-laki yang berpakaian baju tentara itu adalah rakyat biasa yang untuk perayaannya telah meminjam baju pahlawan dewasa itu.

Marilah kita maafkan keterangan dengan kata-kata ini, walaupun sebenarnya telah mengandung kelemahan si pelukis yang seharusnya cuma berbicara dengan catnya saja, untuk memberi jalan bagi suatu sikap si pelukis itu. Walaupun begitu, justru karena adanya keterangan ini maka nada pincang si pelukis dalam menghadapi objeknya tambah nyata keluar. Simbolik apakah yang mau dibawa oleh baju tentara (pahlawan) ini? Penghormatan rakyat kepada pahlawannya, dengan mengenakan pakaiannya itu tidaklah mendatangkan suatu kegembiraan pada wajahnya, malah satu-satu muka dalam perayaan itu tampak tertekan. Katakanlah suasana tertekan yang sampai mirip kepada suatu arak-arakan kematian itu bukan disebabkan oleh baju pinjaman itu (dalam hal ini kompleks rakyat kepada pahlawannya), tetapi oleh tradisi. Sekiranya demikian, maka baju pinjaman itu tidak membawa perubahan apa-apa dalam dunia jiwa yang tertekan, malah memberi tekanan pada tragisnya keadaan. Kalau simbolik itu mau berkata tentang ke-eratan hubungan rakyat dengan pahlawannya, tidaklah lebih baik ditinggalkan saja keterangan bahwa baju itu adalah barang pinjaman, dengan perkataan lain si pengantin laki-laki itu adalah pahlawan itu sendiri yang sudah satu dengan kehidupan rakyat. Walaupun demikian lukisan ini tidak juga terselamat dari suatu humor yang pahit. Ingin sekali aku tahu bagaimana Hendra dapat melewati dengan enak saja muka-muka yang ketekan itu ditengah-tengah warna yang dari segala penjuru mau bergembira. Tidakkah kegembiraan warna itu, humor itu, cuma ada pada dua orang pejuang yang dilukiskan dengan gagahnya, sambil bertolak pinggang, menyaksikan peristiwa itu? Dimana lagi tinggal penghormatan si pelukis yang begitu cinta sama rakyatnya? Kalau rakyat dilukiskan dalam kenaievannja saja sedang si pejuang dalam heroismenya? Kita juga bisa berbicara bahwa lukisan ini sebenarnya terdiri dari dua buah lukisan: Yang pertama lukisan rakyat dengan wajah tertekan ditengah-tengah warna si pelukis yang mau bergembira. Yang kedua lukisan kepahlawanan yang dilukiskan dengan warna-warna yang gelap. Sekiranya baju pahlawan itu ditukar dengan baju militer lain, NICA misalnya, dan yang berdiri menyaksikan peristiwa itu bukan pejuang, tetapi dua orang serdadu NICA, apa jadinya dengan lukisan ini? Inilah bahayanya suatu simbolik yang belum diendapkan.

Apa yang mau aku katakana dengan analisa ini, ialah, bahwa antara konsepsi dengan pelaksanaannya masih ada jarak yang jauh sekali, masih ada masa pertumbuhan, masa perjuangan dan masa kematangan. Penghargaan kepada suatu hasil kesenian bukan karena kerapihan dan kebenaran suatu konsepsi. Suatu konsepsi diketemukan, lalu dirumuskan setelah diketemukan dalam hasil kesenian itu sendiri. Suatu konsepsi yang mau memaksakan dirinya lebih lekas menghambat suatu pertumbuhan yang sehat, karena jiwa manusia yang menciptakan hasil kesenian itu, menolak ditangkap oleh kekakuan suatu perumusan.

Semangat Heroisme Hendra

Lukisan-lukisan yang mau menceritakan episode-episode revolusi, bisa memberi kita keterangan mengapa Hendra belum pada pendekatan jiwa rakyat biasa di Tjibarusa itu, pada kesegarannya, kebersihannya dan elastisitetnya. Sekiranya ia lebih banyak memperhatikan jiwa rakyat Tjibarusa ini melalui keseniannya, seperti topeng misalnya, maka ia akan bertemu dengan suatu kekuatan humor yang cinis terhadap dunia luar yang mengungkung mereka, terhadap orang kuat, hero-hero, dan sebagainya.

Penting juga mengetahui tahun-tahun kelahiran lukisan-lukisan revolusi ini. Sekiranya lukisan-lukisan ini lahir ditengah-tengah revolusi (yang sangat aku ragukan mengingat royalnya Hendra memakai cat dan kanvas) ataupun dalam jarak waktu yang dekat, maka bisalah kita terima lukisan itu sebagai barang dokumentasi dengan catatan bahwa Hendra masih belum tenang menangkap revolusi itu, sehingga nafsu mengejar efek masih lebih berkuasa daripada suatu perasaan yang lebih dalam. Kontak antara si pelukis dengan korban revolusi masih diatur oleh kemarahan, oleh dendam kepada Belanda. Baik melalui objeknya, maupun temanya, heroisme kebangsaanlah yang berbicara disini dan bukan perasaan kerakyatan. Dengan perkataan lain nasionalisme disini belum menjadi perasaan kerakyatan, tetapi terucapkan sebagai semangat individual yang masih kasar.

Loncatan yang Jauh

Siapakah yang tidak akan heran dan merasa seakan sedang dikecohkan oleh si pelukis, setelah melalui kegaerahan melukis yang masih penuh nafsu itu, tiba-tiba kita disajikan suatu ketenangan jiwa yang harmonis dalam lukisan “Ngetjet Gentong”? Objek, tema, komposisi, dan warna merupakan suatu kepaduan yang harmonis, hampir klasik, mendukung jiwa yang indah dari si pelukis. Pilihan Presiden sekali ini (lukisan ini dibeli oleh bung Karno) sungguh simpatik sekali. Bukan saja dengan ini, beliau menunjukkan kebaikan seleranya, tetapi bahwa ukuran yang dipakainya juga bersih, yaitu ukuran kesenian semata. Tidaklah beliau sudi mengorbankan ukuran keseniannya untuk ukuran-ukuran politis.

Baik objek maupun tema lukisan ini sudah tidak lagi mau membawa sikap kerakyatan yang diberi accentuasi, tetapi sikap melukis semata dan fungsinya tidaklah keluar dari warna dan komposisi. Dengan perkataan lain, objek dan tema disini bukan lagi bahan cerita saja dalam lukisan.

Sikap seperti ini diketemukan juga pada lukisan-lukisan “Gadis Biru dengan Topeng”, “Gadis Hidjau dengan Topeng”, “Gadis Kajas dengan Topeng”. Sedang lukisan “Main Lajangan” yang juga menunjukkan ketenangan jiwa yang harmonis, kendati lukisan ini jauh lebih kurang sebagai hasil lukisan dari “Ngetjet Gentong”, unsur bercerita masih banyak sekali.

Sekiranya persoalan objek dan tema ini dijadikan terlalu penting untuk dapat mengenal Hendra, maka suatu kesimpulan bisa dibunyikan sebagai berikut: kelemahan-kelemahan Hendra dan kekuatan-kekuatannya, disebabkan oleh kesalahan dan kebenaran pemilihan objek dan temanya. Dalam hal ini lukisan-lukisan pemandangannya yang seyogianya dapat kita harapkan suatu ketenangan dan kejernihan, malah memberikan warna-warna suram dan susunan bidang-bidang sapuannya tidaklah lega, putus-putus tertekan.

Apakah lukisan-lukisan pemandangan ini hasil dari suatu masa yang jauh jaraknya dari “Ngetjet Gentong” misalnya? Sayang kita tidak diberi tahu.

Sungguh sulit mengenal Hendra dalam pameran ini, walaupun ia telah keluar dengan 37 buah lukisan dan tidak sedikit yang sampai lebih dari dua meter lebarnya. Sedangkan penghargaan dan penilaian pada suatu pameran baru dapat kita berikan sesudah bertemu dengan dunia si pelukis itu sendiri, tidak perduli apa juga keyakinan politik, dan pandangan hidupnya.