SENI-RUPA DIDALAM SUASANA JAWA BARU

Sumber: Djawa Baroe, No. 16, 15 Agustus 1943, hlm. 8.

Kebudayaan adalah cermin kebangsaan. Suatu bangsa yang tak mempunyai atau tak memelihara kebudayaannya adalah bangsa yang rendah, yang dipandang oleh mata dunia tidak berhak untuk berdiri disamping bangsa-bangsa yang terpandang sopan.

Banyak bukti-bukti dan juga telah diakui oleh riwayat dunia, bahwa rakyat pulau Jawa pernah mempunyai kebudayaan dan kesenian yang gilang-gemilang, yang boleh dibanggakan. Tetapi sayang, lebih dari 3 abad kebudayaan pulau Jawa ini terpendam, lumpuh tidak hidup, tidak mati, rakyatnya pun kehilangan aliran, bahkan umumnya mereka tergenggam oleh “hypnose”, bahwa mereka hanya mempunyai kebudayaan yang tak laku lagi dalam anggapan zaman. Dengan mudah kami dapat menyandarkan peristiwa ini kepada akibat suasana penjajah materialisme Barat, yang memang tak dapat dimungkiri lagi.

Akan tetapi perlu juga kami meraba rohani diri sendiri.

Walhasil bagaimanapun juga mencari-cari siapa yang harus menanggung jawab peristiwa ini “gua atau dia”, ini membuang tempo dan sia-sia belaka.

Maka timbullah sekarang suasana baru dengan pandangan yang luas untuk seluruh bangsa-bangsa Asia untuk mengejar kemerdekaan Asia Raya yang mulia dengan arti lahir dan batinnya.

Dengan berdirinya Poesat Keboedajaan di Jakarta dan cabang-cabangnya, yang berdiri sebagai juga “Poetra” ditengah-tengah masyarakat dan untuk masyarakat, pemerintah Balatentara telah mengajak pada kaum seniman dan seniwati supaya bangkit, membangunkan kembali kebudayaan Timur, yang hasilnya berarti pula kemenangan Timur.

Rakyat pulau Jawa telah sadar kiranya, bahwa kebudayaan bangsa itu bukan saja hak dan kewajiban para seniman dan seniwati, melainkan juga hak dan kewajiban seluruh lapisan rakyat.

Apabila nanti terbukti bahwa usaha ini sia-sia belaka dan rakyat pulau Jawa tak sanggup menghidupkan kembali kebudayaannya yang lumpuh itu oleh karena kelalaiannya, tetap kita akan bersifat sebagai rakyat yang hina dalam anggapan dunia.

Satu bagian dari usaha kebudayaan, yang boleh dianggap kertas blangko di waktu sekarang ialah Seni-Rupa, yang dapat terbagi atas 4 soal, yakni:
a. Seni-Rupa Sejati (seni lukis, seni arca, seni bangunan, dll.);
b. Seni-Rupa Propaganda (plakat, karikatur, reklame, poster, dll.);
c. Seni-Rupa Kerajinan (batik, barang-barang gerabah dan glasir seperti piring, cangkir; barang-barang ukiran emas, perak, gading, tulang, tenun, dll.);
Seni-Rupa Penghidupan (yakni seni yang harus memberi sifat keindahan, kepraktisan dan kesederhanaan pada segala benda yang dipergunakan untuk penghidupan sehari-hari, misalnya pakaian, kendaraan, dll.).

Tiap-tiap bagian tentu saling mempengaruhi, tetapi yang jelas terlihat dari bagian-bagian ini yakni bagaimana pentingnya Seni-Rupa untuk manusia. Terlihat juga bagaimana beratnya kewajiban kita ini, bagaimana sukarnya usaha kita, bagaimana tingginya cita-cita kita. Memang sesuatu bangsa yang hidup, seharusnya mempunyai cita-cita.

Apakah akan tercapai dengan seumur hidup generasi sekarang ini? Hanya waktu yang dapat menjawab ini, tetapi seluruh anggota angkatan baru yang belum mencoret dirinya dari register masyarakat Asia Baru, wajib berusaha dengan segala tenaga yang ada dalam tubuhnya, dengan semangat yang ada dalam dadanya dan akal di dalam otaknya untuk menyusun Seni-Rupa Zaman.

Kami para seniman dan seniwati sungguh harus merasa beruntung hidup didalam suasana ini. Meskipun berat, tetapi jika mungkin hendaknya kami ingin mati hidup seribu kali.

Yang amat perlu untuk menghidupkan kembali Seni-Rupa yakni dua pasal, yaitu tehnik dan tjorak asli yang berjiwa ketimoeran.

Soal tehnik ini (termasuk juga soal alat-alat) meskipun penting, tetapi tidak begitu sulit, sebab tiap-tiap anak negeri yang sedikit menaruh minat pada Seni-Rupa dapat mengejar ilmu membikin dan mempergunakan alat-alat Seni-Rupa, misalnya cat-cat minyak, batu, kayu, dan sebagainya. Kita sudah mempunyai beberapa ahli-ahli. Dalam mengejar ilmu ini, tak usah kita malu-malu menerima pimpinan dari siapa juga, sebab ada pepatah kuno yang berulang-ulang dikemukakan dan berbunyi: “Siapa sanggup belajar dari siapa saja, itulah yang sungguh bijaksana”.

Soal Tjorak: Ini soal yang sangat sulit dan boleh jadi memakan tempo yang agak lama; maklum oleh karena kami generasi sekarang harus menyeberangi jurang yang jaraknya lebih dari tiga abad.

Tjorak yang dimaksud ini ialah tjorak yang bersifat Timur yang hidup, yang bersemangat bergerak, yang dinamis.

Untuk mengejar ini perlu kiranya mengadakan sesuatu aliran pikiran (strooming), pergerakan dari semua pelukis Indonesia, yang menyelidiki dasar-dasar kesenian Seni-Rupa asli. Bukan maksudnya kembali serta mengikat diri kepada tendens-tendens pada kesenian kuno, tetapi mencari dan menemui dasar kesenian asli (kuno). Dan itulah hendaknya bagi para Seni-Rupa sebagai pangkal permulaan untuk mengejar dan menyusun Seni-Rupa zaman (baru).

Yang tak dapat dimungkiri yakni bahwa tjorak itu tak berlainan dengan watak (karakter) sang seniman. Watak dan tjorak Timur hanya bisa terdapat pada jiwa seniman Timur yang penuh dengan cinta pada bangsanya dan tanah airnya.

Lain kali kami akan uraikan lebih lanjut bagaimana usaha kita dalam mencari dasar Seni-Rupa kita. Tentu kami sedia dengan gembira untuk menerima beberapa sugesti dari pihak ramai.