TRISNO SUMARDJO SEBAGAI PELUKIS

Sumber: Budaja Djaja, No. 17, Tahun II, Oktober 1969, hlm. 614-617.

Kalau kita memperingati seratus hari meninggalnya Trisno Sumardjo adalah karena kita mau menghargai beliau sebagai seniman. Di kalangan seniman dan budayawan namanya tak asing lagi. Beliau telah banyak berbuat sesuatu dan seluruh hidupnya hanyalah untuk kesenian dan kebudayaan. Beliau juga berusaha untuk menjadi seorang pelukis. Beliau melukis. Hasil karyanya sering dipamerkan dalam pameran-pameran lukisan bersama-sama pelukis lainnya.

Sekarang beliau sudah tidak ada lagi. Beliau meninggal tanggal 21 April tahun 1969, seratus hari yang lalu. Ini berarti kerja beliau telah selesai. Salah satu hasilnya adalah lukisan-lukisan yang dipamerkan di ruang ini.

Kalau kita mau memperingatinya tentu ada sebabnya. Apakah lukisan-lukisannya cukup berarti sebagai karya yang bermutu seni? Dan untuk menilai lukisan itu apa ukurannya? Apakah perlu diambil perbandingan dengan karya-karya tokoh dunia atau dengan karya-karya pelukis setanah air? Apakah dalam cara melukisnya banyak meniru atau terpengaruh oleh pelukis lain atau punya cara tersendiri? Apakah lukisan-lukisan itu dimanis-maniskan untuk menutupi jiwanya sendiri? Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang bisa timbul berkenaan dengan itu.

Maka dalam kesempatan ini saya mencoba untuk membicarakan lukisan-lukisannya.

Ada suatu hal yang perlu direkam dalam pembicaraan-pembicaraan antar pelukis kita, ialah keinginan masing-masing untuk menemukan dirinya pribadi dalam karyanya. Sekarang soalnya menemukan diri pribadi dalam keadaan bagaimana dan apa ciri-cirinya? Apakah dalam keadaan tidak meniru pelukis lain atau tidak terpengaruh, artinya telah bisa mengatasi kedua-duanya, sehingga yang tinggal hanya dirinya berada dalam pola tertentu? Atau harus menemukan pola baru sama sekali?

Saya melihat dalam lukisan-lukisan Trisno Sumardjo ada suatu pergulatan pelukis dengan dirinya. Tiap-tiap pergulatan dalam diri adalah suatu keadaan, di mana seorang berada dalam transisi dari satu taraf menuju ke taraf yang lain. Pergulatan semacam ini hanya ada pada mereka yang berjiwa dinamik. Dan Trisno Sumardjo memiliki jiwa ini. Hal ini pun terlihat dari semangatnya yang tak padam-padam selama dua puluh tiga tahun semenjak dia mulai terjun ke dunia kesenian hingga saat akhir dari hidupnya. Sebagai pelukis cukup berat perjuangannya. Dia harus gigih mempertahankan keindividuannya dalam menghadapi segala tantangan. Kalau dia sangat kagum pada Oesman Effendi, baik pada pemikirannya maupun lukisan-lukisannya, kalau dia sangat kagum pada Vincent van Gogh, Paul Cezanne dan tokoh-tokoh dunia lainnya maka sebenarnya sikap seperti ini banyak bahayanya. Seseorang bisa tenggelam di bawah pengaruh orang yang dikaguminya, maka jadilah dia seorang epigon. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi Trisno Sumardjo. Dan salah satu kekuatan Trisno Sumardjo adalah dalam menghadapi tantangan semacam ini. Pada hasil-hasil lukisannya, ia mempunyai cara dan gaya sendiri. Tiap-tiap goresan dan susunan warna-warnanya merupakan ekspresi si pelukisnya.

Dari tulisan-tulisannya berupa kritik seni lukis nampak sikapnya yang keras dan tegas. Misalnya, terhadap pelukis-pelukis yang menyebut dirinya modern padahal yang modern hanya bentuk-bentuk lukisannya saja. Lukisan itu sendiri bukan hasil sikap jiwa yang modern. Demikian juga pelukis-pelukis yang mengawinkan seni modern dengan klasik pada hakekatnya hanya mementingkan cara melukis tanpa disertai sikap jiwa modern. Semua itu dihantamnya habis-habisan tanpa ampun. Memang, cara menulisnya sangat kasar, sebab itu kebanyakan pelukis-pelukis dan pembacanya tidak menaruh simpati kepada tulisan-tulisannya itu. Bagaimanapun tidak simpatiknya tulisan-tulisannya itu tapi dia telah menyatakan sikapnya secara tegas dan jelas. Kalau dihubungkan dengan lukisannya sendiri, maka akan terlihat sikapnya yang seirama: Lukisan Trisno Sumardjo adalah lukisan Trisno Sumardjo, kata dan perbuatannya sejalan. Ini bisa dicapai, karena dia setia pada dirinya dan cita-citanya.

Dari kehidupannya yang saya ketahui dan dari cerita-cerita pengalamannya semenjak kecil, Trisno Sumardjo adalah orang yang mencintai alam, terutama alam pegunungan. Setelah dia terjun dalam dunia seni lukis, hal itu menjadi sumber ilham, yang dilukisnya dengan sikap telah dewasa. Dia selalu terpesona bila berhadapan dengan bukit atau gunung yang menjulang dari tanah rendah, seakan-akan ada suatu tenaga gaib yang menggerakkannya. Dia merasa dirinya jadi kecil tak berarti apa-apa. Hal ini disadarinya benar. Maka dia merasa harus bergulat dengan dirinya sendiri supaya tidak tenggelam oleh kebesaran gunung itu. Trisno Sumardjo memang memiliki kesanggupan untuk mengendalikan emosinya. Dalam lukisan-lukisan gunungnya dia tidak puas hanya dengan kemenjulangan gunung saja, tapi dibentuknya gunung itu hingga terasa padat dan keras seperti kepadatan dan kekerasan besi baja atau batu granit. Dia senang sekali melukis seperti itu, karena memang begitu caranya dia mengemukakan adanya suatu tenaga hidup. Padat dan menjulang adalah ciri-ciri yang bisa ditemui pada hampir tiap-tiap lukisannya.

Ada suatu hal yang perlu diketahui, ialah dia suka pada hal-hal yang tegas, karena ketegasan mengandung sifat keberanian dengan segala resikonya. Hal ini bisa terlihat pada kejelasan sapuan-sapuan kuasnya yang pendek-pendek atau panjang melingkar, suatu ciri kekhasan lukisan Trisno Sumardjo.

Demikian bagi saya lukisan Trisno Sumardjo, membayangkan irama seluruh hidup pelukisan sendiri. Pancarannya tentulah berbeda antara satu lukisan dengan yang lain. Perbedaan ini wajar sebagai yang selalu kelihatan pada tiap-tiap pelukis. Dan kekuatan pancaran antara seorang pelukis dengan pelukis lainnya pun berbeda pula. Dari adanya pancaran inilah, bagi saya, Trisno Sumardjo sebagai pelukis mempunyai arti di tengah-tengah seni lukis kita.

Berasal dari kata sambutan pada pembukaan pameran lukisan Trisno Sumardjo di gedung Seni Sono, Yogyakarta.