Sumber: Panorama, No. 144, Tahun III, 14 September 1929.
Dengan pailitnya Nansing Film Corporation, perusahaan film Tiongkok yang kedua di Indonesia sudah gulung tikar. Kongsi film yang pertama ada The South Sea Film Company di Batavia, yang lantas mogok setengah jalan ketika baru saja keluarkan satu film, yaitu “Lily van Java”. Nansing Film Corporation pun lantas jatuh pailit ketika baru keluarkan satu produk, yaitu “Resia dari Boroboedoer”, di mana Miss Olive Young ada pegang hoofd-rol.
Menurut orang punya cerita, sebab yang paling terutama dari jatuhnya itu dua kongsi film ada dari lantaran kekurangan capital. Inilah memang boleh jadi, karena dalam semua perusahaan, baik yang besar ataupun yang kecil, capital cukup ada yang paling penting. Tapi kita merasa sangsi, apakah sesungguhnya kekurangan capital saja yang menjadi sebab dari jatuhnya itu dua kongsi film? Bukankah pada sebelumnya bekerja, promotornya sudah hitung dan bikin begrooting lebih dulu dari ongkos-ongkos yang perlu dan hasil yang bakal didapat? Mengapakah ketika hasilnya sudah mulai dipetik, yaitu masing-masing bisa keluarkan satu film, justru itu dua-dua kongsi putus napasnya? Di sini mesti ada apa-apa yang kurang beres, baik dari caranya memakai ongkos atau dari kualitasnya itu film.
Tentang hal ongkos-ongkos kita tidak dapat tahu dan bukan ada kita punya urusan. Tentang kualitasnya itu film-film yang dipertunjukkan, kita sudah pernah bicarakan juga dalam ini weekblad dan unjuk segala catatannya. Kita dapatkan dua-duanya ada jauh dari memuaskan. Bukan saja jalannya cerita, hanya aturannya ada serba besay, sebab rupanya orang terlalu kepengen akan selesaikan itu film selekas-lekasnya dengan ongkos yang paling murah hingga orang bekerja asal jadi saja.
Orang bisa berbuat begitu dalam urusan komedi opera bangsawan atau lain-lain pertunjukkan. Tapi orang tidak bisa gegabah dalam hal membikin film karena penduduk di sini, yang sudah biasa saksikan juga film-film kelas satu buatan Amerika yang ongkos bikinnya menghitung miliaran dolar, tidak nanti gampang akan lantas terima baik film yang sembarangan, yang segala-galanya ada kalah jauh dengan film-film Amerika atau Eropa yang sederhana. Kuli-kuli Bantam atau Madura yang bodoh sekarang mulai bisa mengerti film yang baik dan bangpak, hingga satu film yang dikerjakan dan diatur dengan sembarangan, tidak banyak harapan bisa berhasil bagus.
Kalau begitu, apakah di Jawa tidak ada harapan lagi buat orang berdirikan satu kongsi film? Inilah kita rasa ada bergantung pada besarnya ongkos-ongkos yang dipakai oleh itu kongsi. Dari satu ahli film, kita dapat keterangan bahwa di antero Hindia Nederland, ada terdapat kira-kira 300 rumah bioskop. Kalau satu bioskop umpamanya menyewa film buat f 100 dalam tiga malam, hasilnya itu film ada f 30.000. Kalau cuma dibikin satu saja, akan itu film kelilingin itu 300 rumah bioskop mesti ambil tempo kira empat tahun, tapi kalau satu film diafdruk jadi delapan umpamanya itu f 30.000 bisa didapat dalam tempo enam bulan. Maka kongsi yang hendak keluarkan film mesti bisa reken semua ongkos yang dipakai buat bikin itu film dan yang bakal dikeluarkan dalam enam bulan berikut, apa yang ditutup oleh itu hasil yang akan datang atau tidak.
[sebagian besar dalam paragraf ini, tulisan hilang]
Kita tidak tahu apa hitungan…
ada betul atau salah. …
yang tuturkan itu pada…
rasa ada besar harapan…
ken satu kongsi film…
dengan berhasil. Kalau…
capital cukup hingga…
setiap bulan satu…
membikin ongkos-ongkos…
ringan daripada…
keluarkan satu…
tempo enam bulan.
Kita sendiri tetap anggap… [hilang] banyaknya film hanya kualitas ada yang paling penting. Betul surat-surat kabar Melayu Tionghoa umumnya tidak berani bikin kritik akan menyela, barangkali lantaran takut tidak dapat advertentie dari itu film, tapi orang pasti mengerti, penonton tidak ada begitu bodoh. Film “Lily van Java” dan begitu pun “Resia Boroboedoer” telah dipuji oleh surat-surat kabar Tionghoa Melayu di Batavia, dan cuma Panorama sendiri yang lahirkan kritik dengan sebenarnya, yaitu puji apa yang baik, dan cela apa yang salah atau jelek. Tapi meski begitu, sebab memang itu segala pujian dan reklame ka… [hilang] kurang betul. Orang ba… [hilang] jadi penonton telah me… [hilang] itu celahan dari yang… [hilang] paling dulu sudah me… [hilang] lekas sekali ke antero… [hilang] orang yang berniat non… [hilang] jadi batalkan… [hilang] kelamnya itu…. [hilang] yang memuji… [hilang] sudah tidak… [hilang]
… [hilang] segala pujian tidak mengandung maksud jelek dan… [hilang] buat tipu orang banyak… [hilang] selainnya buat keperluan… [hilang] akan dapat advertentie, juga ada yang mengandung niat buat majukan perusahaan film dari sesama bangsa, karena kalau di Java bisa berdiri lebih banyak lagi kongsi-kongsi film, banyak Hoakiauw akan dapat penghidupan dalam ini perusahaan baru yang sudah berjalan begitu subur di Amerika. Tapi menurut pikiran kita, sembarang memuji pada apa yang memang jelek, bukan satu pertolongan yang betul, malah membikin kualitasnya itu film jadi semakin buruk, karena lantaran tahu pers Melayu selalu menunjang dengan pujian, orang bekerja tidak hati-hati akan adakan film yang baik, hingga kesudahan itu film tidak disukai oleh publik dan itu kongsi yang terbitkan terpaksa gulung tikar. Maka dalam hal ini, kritik yang jujur kita rasa ada perlu buat kebaikannya itu kongsi sendiri, supaya jangan bekerja dengan gegabah.
Satu hal lagi, yang membikin kita jadi heran pada sikapnya pers Melayu Tionghoa di sini, adalah, mereka punya acara sembunyikan kejelekan Nansing Film Corporation. Kira dua bulan yang lalu, beberapa surat kabar Belanda ada wartakan bahwa gajinya Miss Olive Young sudah tidak dibayar, karena kontrak yang dibikin oleh itu kongsi film buat membayar f 10.000 pada itu filmster dianggap tidak sah karena bukan diteken oleh direkturnya. Lantaran itu, antara Nansing dan Miss Young katanya sudah timbul perkara di pengadilan, karena yang tersebut belakangan sudah serahkan ini urusan di tangan satu advokat.
Betul tidaknya ini kabar, kita tidak tahu, tapi kita merasa heran tulisannya itu surat kabar Belanda tidak semua surat kabar mau petik. Barangkali lantaran di antaranya ada yang hendak lindungkan namanya itu kongsi film. Lebih bagus lagi ini lelakon… [hilang] sedikit minggu sesudahnya tersiar itu kabar dalam surat-surat kabar Belanda. Nansing Film Corporation muat advertentie dalam beberapa surat kabar Melayu Tionghoa akan cari aktris yang berusia belum lewat 24 tahun buat main film, dengan dijanjikan pembayaran paling tinggi sampai f 10.000. seperti yang itu kongsi sudah bayar pada Miss Olive Young.
Kita tidak tahu berapa banyak misses-misses yang sudah kirim potretnya lantaran tertarik oleh itu advertentie, yang sebenarnya cuma satu politik saja. Miss Olive Young sudah lama tinggal kepater di Batavia dan menumpang pada satu kenalannya. Ini keadaan dan bagaimana urusannya dengan Nansing, banyak orang sudah tahu. Cuma pers Tionghoa Melayu yang tidak dapat tahu, hingga muatkan dengan zonder curiga itu advertentie akan cari film aktris dengan bayaran f 10.000 dari satu kongsi film yang hampir bangkrut!
Pers bisa menolong banyak akan bikin habis itu lelakon permainkan orang banyak dengan segala advertentie nonsense tapi dalam hal ini kelihatan pers Tionghoa tinggal adem. Inilah bukan cara yang betul akan perlindungan perusahaan bangsa sendiri.