“RESIA BOROBOEDOER” SATU FILM BARU BUATAN KONGSI TIONGHOA DI JAVA

Sumber: Panorama, No. 136, Tahun III, 20 Juli 1929, hlm 800-802.

Sudah lama juga di Batavia ada berdiri lagi satu kongsi buat usahakan film dengan nama Nansing Film Corporation. Orang banyak sudah dapat tahu bagaimana itu kongsi sudah undang Miss Olive Young, itu bintang film yang terkenal di Tiongkok, buat ambil bagian pada itu kongsi punya film yang hendak dibikin. Orang banyak kagum pada keroyalan itu kongsi yang membayar gaji buat Miss Young saja setiap bulan f 2000, tapi belakangan ternyata, itu bayaran bukan buat main di film melulu, hanya itu bintang film mesti pergi keliling akan pertunjukkan dansa dan menyanyi yang, dengan mengingat namanya yang kesohor dan reklamenya yang bagus, memberi kahatsilan bukan sedikit.

Tentang itu film “Resia Borobudur” yang sudah begitu lama diributkan, kita sudah perlukan menonton pada tanggal 7 Juli yang lalu malam meski juga beberapa sobat dan famili yang nonton duluan semua bilang “besay” dan “goerem”, hingga ia orang beri nasihat lebih baik jangan lihat. Tapi kita sendiri mesti perlukan akan menonton juga, bukan buat puaskan mata, hanya supaya bisa bikin satu pemandangan buat pembaca tentang ini film baru buatannya satu kongsi Tionghoa di Java. Dulu pun kita sudah pernah bikin kritik tentang itu film “Lily van Java” bikinannya South Sea Film Company yang sekarang sudah gulung tikar. Lain-lain surat kabar banyak yang puji habis-habisan, tapi kita tidak bisa dustain pembaca dengan membilang bagus apa yang kita tahu ada bangpak.

Tentang keguramannya itu film “Resia Boroboedoer” hampir tidak berbeda dengan “Lily van Java”. Inilah sebagian besar ada dari jeleknya hawa udara di sini, yang tidak bisa bandingkan dengan California. Maka buat itu keguraman, orang tidak boleh terlalu tumpahkan pada kongsi yang membikin itu film.

Tentang jalannya cerita, ada seperti di bawah ini:
Seorang Tionghoa ada datang dalam hutan di Sumatera akan beli cula gajah pada seorang Bumiputera. Ketika lagi omong-omong ada datang tiga penjahat yang lantas menyerang, hingga terjadi pergulatan saling jotos a la Jack Dempsey antara itu orang Tionghoa dengan dua dari itu tiga penjahat. Akhirnya itu dua penjahat dapat dikalahkan hingga itu orang Tionghoa dapat sempat akan tolongin itu orang Bumiputera dari terkamannya itu perampok yang satunya lagi, hingga terlepas dari bahaya maut. Akan tanda terima kasih, pada waktu itu orang Tionghoa hendak berangkat pulang ke Tiongkok, itu orang Bumiputera telah kasih persent satu buku… huruf Tionghoa! Pada sobatnya itu, dalam mana ada diceritakan rahasianya candi Borobudur.

Bagaimana seorang Bumiputera di tengah hutan besar di Sumatera ada punya buku huruf Tionghoa tentang rahasianya candi Borobudur, itulah cuma si pengarang dari itu lelakon film yang bisa tahu sendiri! Memang cerita-cerita film ada banyak yang bersifat botjingli, tapi toch tidak perlu orang mesti mendusta dengan begitu kasar, karena penonton yang ada punya pengertian sudah tentu menjadi jemu. Orang pun boleh ubah dengan bikin itu buku tentang rahasianya Borobudur kedapatan di satu tempat di Tiongkok, tertinggalnya Sam Po Toalang (yang orang Bumiputera di sini biasa namakan Djoeragan Dampoe Awang) yang sudah pernah kunjungi Java, karena ini ada lebih masuk di akal.

Banyak tahun telah lewat, dan itu orang Tionghoa sudah meninggal dunia, hingga itu buku jatuh ditangan anaknya perempuan nama Young Pei Fen, yang ketika membaca itu buku hatinya jadi sangat ketarik, karena di situ ada dibilang di belakang batu ukiran di tingkatan ketiga dari itu candi, ada terdapat satu guci dimana ada disimpan abunya Buddha Gautama. Merasa tertarik akan punyakan itu guci wasiat, itu gadis ambil putusan akan berangkat ke Java dengan seorang diri. Akhirnya kita lihat Miss Young turun dari tangga kapal Rotterdamsche Lloyd di Tanjung Priuk, hal mana menunjukkan kurang telitinya si pengatur, karena ada lebih betul kalau ia turun dari salah satu kapal J.C.J.L. yang ada punya perhubungan langsung antara Tiongkok dengan Java.

Kemudian dikasih lihat pemandangan dari beberapa straat di Batavia dan Weltevreden, sampai akhirnya itu gadis, dengan sendirian zonder bawa satu pengantar, naik spoor di stasiun Weltevreden akan pergi ke Muntilan di dekat mana ada letaknya Borobudur. Sebagian besar dari itu film di ini bagian cuma kasih lihat bagaimana Miss Young naik satu ebro dari stasiun Muntilan ke Borobudur kemudian ia dahar dengan dilayani oleh satu jongos, lantas datang orang Jawa tawarin sarung, dan lain-lain lagi yang membikin itu film jadi panjang tapi isinya… kosong!

Menurut ini cerita, Borobudur ada dijaga oleh seorang pendeta bernama Ghanda Soewastie, yang menurut tanda di jidatnya, membikin orang anggap ia ada satu pendeta Buddha. Tapi yang tidak masuk diakal, itu pendeta ada punya rambut scheiding yang panjang juga, sedang padri-padri Buddha biasa gunting pendek rambutnya, terkadang sampai lenang sama sekali. Lebih lucu lagi ia tutup kepalanya dengan semacam sorban seperti satu haji! Pakaiannya pun tidak ada miripnya seperti satu pendeta. Itu biji tasbih yang biasa tergantung di leher ia tidak ada punya. Itu pakaian ada lebih banyak mirip dengan pakaiannya satu bauw-lam daripada satu pendeta!

Orang semua tahu, dari mulai Borobudur digali dari dalam tanah sampai sekarang, di situ belum pernah ada satu pendeta yang jadi penunggu, tapi dalam satu cerita pun kelihatan orang ada merdeka akan ciptakan segala apa. Cuma saja sudah tentu orang mesti anggap aneh dan tidak masuk diakal, kalau buat bikin cerita film tentang hikayat Tiongkok yang sekarang ini, orang mau lukiskan di Nanking ada bertahta satu kaisar!

Juga ada satu hal yang harus dibilang aneh dan luar biasa, satu gadis yang baru datang dari Tiongkok zonder pakai juru bahasa, seorang lantas bisa bicara dengan tetes dan berunding panjang lebar dengan itu pendeta dan jongos-jongos orang Bumiputera. Dalam bahasa apakah ia orang bicara? (barangkali dalam bahasa beleketek zetter).

Begitu sampai di Borobudur, Miss Young lantas mulai periksa itu candi akan cari tahu tempat yang dirasa ada disimpan abunya Buddha. Lama sekali ia mengusut dan mengetok di sana-sini, meskipun dalam buku sudah diterangkan dengan tegas, itu guci yang muat abunya Buddha ada di tingkatan ketiga di belakang gambarnya orang yang menggotong satu joli. Mengapakah ia tidak cari dulu itu gambar, hanya mengetok di sana-sini dengan membuta?

Sementara itu, Ghanda Soewastie sudah dapat peringatan beberapa kali dari seorang halus bahwa ia mesti pasang mata pada itu gadis yang hendak mengganggu abunya Buddha. Itu pendeta lantas kasih peringatan pada Miss Young, tapi tidak diladeni, dan satu waktu, ketika ia lagi menggratak di itu candi, mendadak badannya Miss Young dibanyur dengan ludah sirih yang tidak katakan darimana datangnya, hingga ia terpaksa lari pulang ke hotel dengan pakaian kotor, ditonton oleh puluhan orang Bumiputera lelaki, perempuan dan anak-anak.

Lantaran melihat Ghanda Soewastie ada punya kawan seorang perempuan yang makan sirih, itu gadis lalu menuduh yang dijalin padanya ada itu pendeta sendiri, maka dengan gusar ia datang cari di rumahnya dan lalu pukul padanya dengan satu kursi hingga Soewastie jatuh di tanah setengah pingsan. Kemudian datang sobatnya itu pendeta, nama Koesoemo, yang hendak ambil pembalasan, tapi Soewastie cegah, dengan alasan, ayahnya itu gadis sudah pernah tolongin jiwa ayahnya itu pendeta. Tapi Koesoemo tidak ladeni, hanya lantas pergi pada satu dukun lelaki nama Adjeng akan minta dibikinkan hikmat buat aniaya jiwanya itu gadis. Itu nama Adjeng tidak mesti dipakai oleh satu lelaki, lain perkara kalau itu dukun ada seorang perempuan.

Si dukun lantas keluarkan satu boneka kecil yang di bagian hatinya ditancapkan satu peniti, dan perintah Koesoemo taruh itu barang di bawah pembaringannya Miss Young yang lantaran itu jadi dapat sakit keras. Ketika dapat tahu itu nona dapat sakit lantaran bikinan sobatnya. Ghanda Soewastie jadi gusar pada Koesoemo dan ia sendiri lalu kunjungin kamarnya Miss Young ambil itu boneka yang terus dibakar, hingga sakitnya si gadis jadi sembuh.

Meski begitu, Miss Young masih terus membenci pada Soewastie dan coba lanjutkan niatannya akan curi abunya Buddha. Akhir-akhir ia dapatkan itu tempat yang sekian lama dicari, lalu beli satu linggis, dan di waktu malam coba bongkar itu dinding batu yang merupakan gambar orang-orang lagi memikul satu gotongan, buat ambil itu guci wasiat. Tapi ketika itu tempat baru terbuka sedikit, mendadak keluar asap beracun. Sebetulnya begitu itu asap beracun mulai muncul, itu gadis mesti lantas lari atau jatuh pingsan; tapi dalam itu film kelihatan ia bekerja terus dengan tidak perduli itu asap beracun, hingga akhirnya ia jatuh pingsan di pinggir itu dinding.

Ghanda Soewastia yang keluar jalan-jalan di itu malam, dapat lihat itu asap mengebul, maka ia lantas datang di itu tempat, lalu pondong Miss Young akan dibawa ke pondoknya, dimana ia bikin itu gadis tersadar. Kemudian ia tuturkan apa yang kejadian dengan ayahnya dulu, yang waktu berada di tengah hutan di Sumatera, sudah ditolong jiwanya oleh ayahnya itu nona, hingga akan balas itu budi, ia selamanya hendak lindungkan keselamatan itu gadis. Tapi dengan cara bagaimana Ghanda Soewastie bisa tahu ini gadis ada anaknya itu orang Tionghoa yang pernah tolong jiwa ayahnya, satu hal yang sudah kejadian begitu lama, inilah tidak diterangkan. Ini bagian pastilah membikin sesuatu orang yang menonton dengan gunakan pikiran tidak bisa merasa puas.

Bagian paling penghabisan melukiskan Miss Young telah buang niatannya akan curi abunya Buddha, dan lalu jadi pendeta bersama-sama Soewastie akan menjaga itu candi Borobudur.

Begitulah ada jalannya itu cerita “Resia Boroboedoer” yang meski titelnya bagus dan menarik, tapi jalannya sangat melantur, apalagi sebagian besar itu film ada kurang terang. Orang yang main pun cuma sedikit. Hampir di sepanjang itu cerita cuma orang lihat sikapnya itu gadis dan itu pendeta Buddha… tidak lebih dari dua orang yang jalankan hoofd-rol.

Tentang permainannya Miss Olive Young tidak bisa dicela, hal mana menunjukkan ia sesungguhnya ada satu film aktris yang ulung. Kalau orang kasih padanya rol yang lebih baik dengan disertakan film yang lebih terang, ia punya pekerjaan di Java harus dibilang ada satu sukses. Kalau itu film “Resia Boroboedoer” ada jadi satu kegagalan, itulah bukan lantaran kurang pandainya Miss Young, hanya karena salahnya hawa udara dan kelirunya orang yang atur itu cerita.