IN MEMORIAM TRISNO SUMARDJO

Sumber: Horison, No. 6, Tahun III, Juni 1969, hlm. 170-171.

Dalam saya duduk-duduk termenung sendirian, dipermainkan oleh macam-macam bentuk lintasan, dalam keadaan itu saya tak luput dari lintasan bayangan wajah Trisno Sumardjo yang belum berapa lama meninggal dunia. Dalam lintasan itu saya dibawa ke alam pengalaman yang lalu di daerah jalan Bendungan Hilir, dia pernah berumah di situ. Di ruangan tamu yang bersatu dengan sanggar, dimana dia bekerja melukis, di situ hampir setiap hari kami mengobrol sambil minum kopi. Sepengetahuan saya, selama tinggal di rumah itulah dia mengalami hidup yang paling menderita selama dia berjuang dalam kesenian. Fisiknya terlalu lemah, mengalami tekanan darah tinggi dan sebelah kakinya lumpuh, dia sedang mengalami kesepian yang memuncak.

Terlintas pula keadaan masyarakat di waktu itu, tiap-tiap orang hidup dalam ketakutan, sedang kesenian terarah untuk kepentingan orang-orang politik yang digerakkan oleh orang-orang Lekra. Kebebasan individu makin sempit. Dalam keadaan seperti itu Trisno Sumardjo berkata kepada pelukis Zaini dan saya: “Kalian sebagai seniman jangan hanya melukis saja, lakukanlah sesuatu yang lebih luas lagi.”

Dibelakang suaranya yang lantang dan sikapnya yang keras dan kaku, terbayang oleh saya segala keinginan dan cita-citanya terutama dalam kesenian. Semangatnya meluap-luap untuk melakukan sesuatu demi kesenian. Tiap ada kesempatan dia ikut bergerak. Dia banyak bicara-bicara dan mengemukakan buah pikirannya dalam kongres-kongres kebudayaan, simposium-simposium, ceramah-ceramah dan pertemuan-pertemuan antara seniman, dan budayawan.

Dalam bidang seni lukis dia banyak menulis kritik di samping dia sendiri melukis. Tulisan-tulisannya bertebaran di koran-koran atau di majalah-majalah. Dia banyak menulis kritik seni lukis, karena dia banyak melihat hal-hal dimana seharusnya seorang pelukis itu tahu menggunakan kebebasannya, tapi kenyataannya tidak demikian. Masih terbayang oleh saya sebuah pameran seni lukis di Jakarta sekitar tahun 1950, dengan pameran ini mereka menganjurkan, supaya tiap-tiap pelukis melukis secara realisme. Trisno Sumardjo mengangkat penanya. Dia berontak terhadap anjuran-anjuran itu karena realisme yang dimaksud, melukis bentuk-bentuk menurut bentuk-bentuk benda yang dilukis adalah penghalang besar untuk sampai kepada hakekat ucapan batin yang sedalam-dalamnya.

Begitu juga dalam tahun-tahun berikutnya banyak pelukis-pelukis ingin dianggap pelukis modern, mereka mengambil teknik melukis dari Eropa tanpa pengolahan. Dalam hal ini Trisno Sumardjo pernah menulis: “Malahan kami berpendirian, bahwa apa yang telah dicapai oleh Eropa dan selebihnya itu hendaknya kita anggap belum selesai, maka kitalah sedapat mungkin ikut mencoba menyelesaikannya. “Etika” inilah pada hemat kami menjadi alamat, bahwa kebudayaan kita mempunyai getaran hidup serta melepaskan kita dari bahaya epigonisme. Inilah gerak pembebasan diri yang paling bernilai.”

Trisno Sumardjo adalah pejuang kebebasan. Bukan hanya untuk diri sendiri, terutama untuk kebebasan orang lain, para seniman. Dia cepat naik pitam, jika ada seniman-seniman yang hanyut atau menyuruh ke dunia ketidakbebasannya. Mungkin karena caranya terlalu kasar, kaku, dan keras yang memang telah menjadi wataknya, maka banyak seniman-seniman yang tak menghargai tulisannya: “Dan meskipun saya alami berkali-kali, bahwa kepicikan orang menyebabkan dia marah kalau tidak dipuji.” Dia banyak mendapat tantangan secara langsung atau tidak langsung dari para seniman. Kelihatan dia selalu berusaha untuk menabahkan hatinya dalam menerima segala konsekuensinya. Karena merasa dia punya tugas untuk menulis kritik, maka tak henti-hentinya dia menulis, tak mengenal waktu, hingga sering sekali melupakan kesehatan tubuhnya sendiri.

Tugas yang dipikulnya ini adalah tugas yang diberikan oleh sejarah adalah suatu kesadaran diri untuk memberi makna dan arti hidup manusia dalam zamannya. Bagaimanakah sejarah nanti menilainya, sejarah itu sendiri yang menentukan. Manusia berbuat dan melakukan sesuatu kebajikan. Trisno Sumardjo telah berbuat sesuatu: “Kritikus yang berdiri antara seniman dan publik juga bekerja untuk masyarakat, tak ubahnya dengan seniman,” tulisnya.

Sudah dua puluh tiga tahun lamanya sejak tahun 1946, dia bergerak dalam kesenian. Seluruh hidupnya hanyalah untuk kesenian. “Kesenian adalah hampir seperti agamanya,” kata seorang pelukis, kawannya. Kesenian adalah masalah kebenaran, ia dinyatakan dan diperjuangan. Trisno Sumardjo telah memperjuangkannya. Kebenaran yang diungkapkan dalam kesenian adalah “kata hati” yang jujur. “Kesenian sifatnya selalu mengangkat derajat manusia ke tingkat yang paling tinggi,” ucapannya yang selalu didengung-dengungkannya. Ucapannya ini atau seperti ucapannya yang lain selalu mendapat tantangan, meski dari kawan-kawannya sekalipun. Mereka bosan mendengarnya, “Ucapan klise,” jawab mereka. Tapi Trisno Sumardjo tak memperdulikannya, yang penting baginya adalah menyadarkan kembali dan meletakkan sesuatu hal pada tempatnya, karena dia banyak melihat seniman-seniman yang menyeleweng, “Kesenian bukanlah alat untuk mengejar materi atau untuk mencari keharuman nama,” katanya. Memang hal-hal seperti itu adalah merupakan suatu penyakit dalam gerak kesenian dan Trisno Sumardjo sangat peka akan hal tersebut.

Disamping melukis dan menulis kritik seni lukis Trisno Sumardjo juga banyak menulis sajak, cerita pendek, novel, dan drama dan masing-masing telah ada yang diterbitkan berupa buku. Semuanya itu dikerjakannya bukanlah sebagai penyenggang waktu, tapi adalah merupakan pengisi hidupnya yang banyak berkehendak. Keinginannya untuk menyatakan cita-citanya selalu melonjak-lonjak dalam tubuhnya, rasa-rasa tak tertahan oleh tubuhnya yang lemah itu. Dan dengan jujurnya dimuntahkannya semuanya itu dalam segala bentuk kesenian yang bisa dilakukannya. Dia tak perduli norma-norma kesenian yang bagaimana yang diletakkan oleh orang lain pada ciptaannya. Sebab itu dia tidak banyak mendapat penghargaan, juga dari kawan-kawannya seniman. Banyak diantara pengarang menganggap dan menyatakan: “Lebih baik Trisno Sumardjo mengalihkan perhatiannya ke seni lukis, dan lebih pelukis dari sastrawan.” Sebaliknya di kalangan pelukis: “Trisno adalah seorang sastrawan tapi bukan pelukis.”

Semua pendapat tersebut diketahui dan didengarnya dan dia berusaha untuk tidak perduli. Tapi Trisno Sumardjo adalah manusia. Saya sering melihat, bahwa dia sering tercekam oleh pendapat tersebut. Dia sering bertanya kepada saya dengan nada suara seakan-akan berkata kepada dirinya sendiri: “Apakah saya ini sudah pantas digolongkan seorang pelukis atau pengarang atau kedua-duanya?” Sebelum sempat saya atau dia sendiri untuk menjawabnya biasanya lekas-lekas dia mengalihkan pembicaraan ke soal pekerjaannya sebagai penerjemah. Katanya: “Kapan, ya, ada orang atau suatu badan yang bermurah hati akan memberi saya sekedar modal untuk menyelesaikan terjemahan dari seluruh karangan-karangan Shakespeare ke dalam bahasa Indonesia?” Dia ingin sekali menyumbangkannya untuk memperkaya perbendaharaan kesusastraan Indonesia. Pertanyaannya itu susah untuk dijawab dan pertanyaan itu tetap tinggal pertanyaan sampai dia meninggal dunia tanggal 21 April 1969.

Dan sebuah gagasan yang telah lama menjadi idam-idamannya, yaitu sebuah “kebun kesenian” sekarang telah menjadi suatu kenyataan, ialah “Taman Ismail Marzuki”, didirikan pada akhir tahun 1968 di Jakarta.

Jakarta, 9 Mei 1969.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *