AUGUSTIN SIBARANI SEBAGAI SENIMAN

Sumber: Bintang Timur-Bintang Minggu, No. 26, Tahun III, Minggu, 8 Mei 1960, hlm. I & IV.

Selama seminggu lebih kita dapat menikmati hasil karya Sibarani yang baru-baru ini diadakan di Gedung Pemuda, dari tanggal 25 April sampai dengan 2 Mei 1960. Kita rasa cukup luas dan cukup lama dan ada waktu untuk mempelajari hasil-hasil karyanya.

Siapakah Sibarani ini sebenarnya? Tidak ragu dan tidak takut-takut kita mengatakan bahwa dia adalah seniman nasional. Kesenimanannya orang akan melihat bila sudah mengikuti lukisan-lukisannya terutama karikaturnya. Memang Sibarani memutuskan untuk menjadi pelukis adalah sejak tahun 1948, dan menjadi karikaturis sejak tahun 1950. Dan hasil-hasil karikaturnya dapat dilihat dalam hampir semua harian dan majalah, seperti di Merdeka, Pedoman, Siasat, Mimbar Umum, Pemuda, dan sejak 4 tahun terakhir ini Sibarani masuk menjadi anggota keluarga redaksi Bintang Timur-Bintang Minggu.

Dua buah bukunya: 1. Senyum Kasih Senyum; dan 2. Si Utjok sudah lama diterbitkan.

Apakah Sibarani semata-mata seniman lukis (pelukis)? Tidak, tidak hanya itu. Dia juga seorang pengarang yang baik, dan turut aktif dalam dunia film. Kadang-kadang kita akan sukar menentukan apakah Sibarani itu pelukis atau pengarang. Sebab karangannya begitu menarik sehingga biasanya kalau seseorang membaca karangannya selalu membaca habis sekaligus, dengan rasa lahap dan puas. Seorang yang paling bisa menggambarkan situasi dan memberikan dialog dalam sebuah karangan (cobalah baca tentang reportase atau kisah perjalanan, kisah pendeknya di Bintang Timur atau Bintang Minggu).

Tapi sudahlah, kita membicarakan lukisannya.

Dalam pameran yang kita sebutkan di atas, Sibarani memberikan empat macam teknik melukis, tidak hanya teknis tapi juga dia mengajar beginilah mestinya melukis, berisi dan bernilai, berpolitik dan berseni. Kita tekankan, Sibarani adalah melukis berpolitik tapi juga berseni. Semua lukisannya berpihak, berpolitik, bahkan tendensius. Soalnya kepada siapa? Berpihak, berpolitik kepada rakyat, kepada rakyat, benci penindasan, pro kedamaian, pro sosialis tidak perlu sosialis ala apa saja, pokoknya sosialis untuk rakyat.

Yang kita maksudkan empat macam teknik melukis adalah empat bentuk yang dia lukis.

Pertama, karikaturnya yang sebanyak 131 buah; kedua, lukisan cat minyak yang sebanyak 11 buah; dan ketiga, lukisan conte sebanyak sebuah; dan keempat, lukisan cat plakat sebanyak sebuah.

Mengenai Karikatur

131 karikaturnya yang kebanyakan sudah dimuat di surat kabar-surat kabar, tidak perlu mendapat perhatian yang khusus atau dibicarakan dengan mendalam. Apa yang harus kita bicarakan dengan mendalam kalau karikatur itu sendiri sudah memang dalam, toh lebih baik bicara yang lain. Semua karikaturnya adalah kuat dan mendalam. Kalau orang masih juga mau bicara tentang karikaturnya, bicaralah tentang kelemahannya, sebab sebagian besar, bahkan semua karikaturnya adalah kuat. Karena kita tidak melihat kelemahannya yang menonjol, maka sukar untuk membicarakan kelemahannya. Bicara tentang kekuatan, tak perlu lagi, memang dia kuat dalam karikatur. Semua karikaturnya mendalam, kuat, dan indah. Semua karikaturnya penuh dengan humor, tapi juga sinis plus satire plus kritik plus way out-nya sekalian. Semua karikaturnya berpihak dan berpolitik. Politik nomor satu, dan kesenian nomor dua, inilah lukisan Sibarani! Karikaturnya ideologis dan artistik. Betapa tidak, terang-terangan dia berpihak kepada rakyat, anti penjajahan, anti subversif, anti penindasan dan anti kapitalisme. Dalam kata sambutannya sendiri tidak kurang dari lima folio dia menerangkan bahwa sumber kejahatan adalah kapitalisme.

Kalau dia sudah berbicara dengan karikaturnya tentang imperialisme, kapitalisme, dan subversif, maka kita akan lihat tokoh pemimpin Amerika Serikat.

Mau tahu? Tentang Dulles saja dia bicara dalam 18 lukisan karikatur, tentang Eisenhower sendiri dia bicara dalam 3 lukisan karikatur dan tentang modal asing dia berbicara dalam lima lukisan karikatur. Tidak hanya itu, bagi Sibarani yang penting bukanlah siapa dia, akan tetapi apa perbuatannya. Lihat lukisan nomor 68, 69, 70, dia juga bicara tentang Sumitro bangsa awak sendiri bahkan dia bicara tentang Subandrio, Sjafrudin (lihat nomor dari 105 sampai dengan 111, 7 lukisan tentang tokoh pemberontak ini).

Karikatur yang penuh sindiran, lucu, pedas, menusuk, pahit dan way out nya: janganlah berbuat demikian seperti karikatur itu.

Hidung Dulles yang digambarkan bagai pisau beracun, gambaran dolar adalah realisme sosialis.

Dan tokoh Ike yang kepala gundul akibat terlalu banyak memikirkan negeri orang lain bagaimana cara mengeksploitasinya demi untuk kepentingan kapitalisme, digambarkan secara tepat dan jitu. Tak usah Sibarani tulis bahwa itu Ike atau Dulles atau de Gaulle atau Mitro, orang akan tahu bahwa itu adalah watak orang-orangnya. Demikian jauh Sibarani tentang teknik, mendalam-dalam kejituan, tapi juga tepat isinya.

Tapi tidak hanya tokoh-tokoh itu, Sibarani pun pelembut dalam arti menghargai orang yang benar. Dengan jitu dia menggambarkan tokoh-tokoh rakyat, tokoh sosialisme seperti Mao Tse-tung (no. 91 dan 92), Ho Chi Minh (no. 86), bahkan Khrushchev (no. 93, 94, 95) dengan politik persahabatan dan perdamaian.

Tentang realisme, tentang sosialisme tentang apa saja ada. Sebuah lukisan no. 35 atau no. 131 yang bernama Minal ‘Aidin wal-Faizin, digambarkan seorang kapitalis besar atau tokoh borjuis yang besar perut pergi ke bawah jembatan untuk berhalal-bihalal dengan penduduknya yaitu si melarat, sedang di atasnya sebuah mobil yang mentereng. Lukisan ini boleh ditambah satu judul lagi: inikah sosialisme ala Indonesia (yang kini banyak didengungkan akan tetapi samasekali tidak sosialis).

Dalam karikatur Sibarani sebenarnya tidak hanya pelukis nasional tapi juga pelukis berkaliber internasional. Lukisannya berpihak dan berpolitik dan indah, mudah dimengerti. Seorang rakyat akan begitu tergila-gila dengan karikaturnya, karena rakyat begitu mengerti dan simpati sebab yang digambarkan Sibarani adalah rakyat itu sendiri. Dan memang Sibarani berpihak dan berpolitik untuk membela rakyat sesuai dengan bidangnya yaitu melukis, sebagai seniman, kalau perlu dengan senjata seperti masa revolusi dulu di Madiun (Sibarani menjadi pemimpin pemuda di daerah Madiun pada masa revolusi).

Sebuah lukisan bermotto internasional tentang rasialisme di Afrika Selatan yang berbunyi: not the colour of the skin, my dear, but of the HEART! adalah betul-betul bersifat internasional yang tidak kalah dengan karikaturis bangsa manapun juga.

Berbahagialah Indonesia punya Sibarani.

Tentang Lukisan Lain

Tentang lukisan lain, kita hanya tertarik pada lukisan cat minyaknya. Kalau kita perhatikan betul-betul maka sebenarnya lukisan-lukisan ini tidak banyak perubahannya dengan karikatur hanya catnya saja, teknik saja. Misalnya lukisan nomor 11 yang bernama Tantangan jang sudah dimiliki Sdr. Zulka Siregar, adalah sebuah karikatur yang dicat minyak.

Penggambaran yang bernama Tantangan dengan orang yang cacat miskin dikonfrontasikan dengan seorang tokoh gede perut karena kemewahan (bukan odem atau beri-beri) yang ada diselipkan tahun 59 (ingat tahun tantangan kata Bung Karno).

Lukisan yang paling kuat adalah Orang (no. 1), yang penuh guratan ulet, tanda penuh perjuangan hidup di negara kapitalis seperti Indonesia ini (kapitalis untuk sebagian kapitalis nasional dan asing dan sebagian besar rakyat yang menderita). Penggambaran muka orang yang penuh temperamen buruh dan tani tapi juga si melarat yang masih punya tenaga dan hati, seolah-olah masih ada yang dinanti, hari itu akan datang juga baginya. Lukisan lainnya seperti Gubuk (no. 4) adalah penuh pembelaan kepada rakyat. Kuat dan tepat dengan situasi sebenarnya, saya kira Sibarani sendiri waktu melukis lukisan ini benar-benar pernah pergi ke gubuk rakyat dan lama berada di sana.

Lukisan minyak yang bernama Dibawah djembatan (no. 2) sebuah keluarga di bawah jembatan adalah tema biasa dari lukisan Sibarani, yaitu tema kemelaratan rakyat.

Penuntut (no. 5) penuh penggambaran dinamik dari para penuntut hak-haknya, sebuah lukisan bukan hanya penggambaran orang tapi juga jiwa orang itu.

Tentang cat, saya kira Sibarani tidak beda dengan Affandi atau Sjahri, yaitu cat tebal dan nomplok, terutama cara mengecatnya, bukan warna dan isi, hanya cara mengecat menekankan kuas.

Kesimpulan kita semua lukisan Sibarani adalah berpihak dan berpolitik yaitu berpihak pada rakyat untuk kepentingan rakyat, tapi juga lukisan-lukisannya penuh dengan keindahan artistik. Inilah yang kata orang cukup ideologis dan penuh artistik. Memang benar bagi kapitalis, imperialis, subversif, dan borjuis tentu tidak akan senang melihat lukisan Sibarani yang tajam, pahit, menusuk itu. Tapi yang senang ialah rakyat. Saudara Sibarani ketahuilah oleh Saudara bahwa lukisan Saudara semuanya disenangi rakyat, rakyat yang tertindas, diam-diam Saudara adalah kepunyaan rakyat, Saudara telah membela haknya, bukan saja rakyat Indonesia tapi rakyat di dunia Afrika Selatan, Amerika, dan lain-lain.

Musuh Saudara yang terbesar adalah kapitalis, imperialis, subversif, kaum sovinis dan borjuis besar, tapi kawan terbesar Saudara adalah rakyat! Rakyat dimana saja! Saudara telah berpihak, saudara telah berpolitik, kepada rakyat. Saudara tidak hanya pelukis, tapi juga pengarang, juga pejuang yang bukan veteran tapi terus dan terus sampai akhir hidup.

Daya Gugah Sibarani