Sumber: Pembangoenan, No. 15, Tahun I, 10 Juli 1946, hlm. 228.
Arus revolusi Indonesia yang pada mulanya meluap kuat meruntuhkan dan menghancurkan tiap-tiap sesuatu yang menghalang-halangi, dengan saluran kebijaksanaan pikiran yang tentu dan tenaga hidup yang kuat, sehingga tidak saja mempunyai kesanggupan “menghancurkan”, tetapi juga kesanggupan “membangunkan”.
Tenaga hidup atau roh dinamik yang dikandung revolusi ini bukanlah lahir dengan sekaligus saja, tetapi lebih dahulu melewati beberapa fase hingga cukup dewasa dan kuat untuk melahirkan (menciptakan).
Bagi orang yang mengetahui yang sebenarnya tidaklah dapat menerima tuduhan, bahwa Republik Indonesia yang dilahirkan oleh roh dinamik ini semata-mata buatan fasis Jepang, yang pada hakekatnya berusaha hendak mematikannya dengan menghilangkan kemerdekaan pertumbuhannya.
Pada zaman penjajahan Belanda sudah nyata roh dinamik bangsa Indonesia ini dalam hidupnya sehari-hari, dalam caranya berpikir, dalam seninya…
Si penjajah tahu bahwa roh dinamik yang kuat ini bergerak terus, terbukti dari tekanan-tekanan pemerintah yang makin lama makin kuat dan makin banyak ragamnya.
Roh dinamik ini adalah roh hembusan nafas abad keduapuluh; roh yang hidup dan tetap gelisah mau hidup, roh yang belum mendapat kepuasan.
Dengan sepintas lalu saja sudah dapat kita lihat dengan terang warna tetap yang kuat dalam lukisan pertumbuhan jiwa bangsa. Kita mulai dari Kartini, surat berkala “Poedjangga Baroe”, pada diri beberapa pelukis yang benar-benar mewakili zamannya, misalnya S. Sudjojono, Affandi, dan lain-lain.
Jiwa Kartini menentang belenggu dan dinding penjara adat yang kuat dipertahankan, tetapi lemah dalam pertumbuhan jiwa.
Kartini ingin keluar dari kamar-kamar yang gelap, mencintai sinar matahari yang terang benderang, lepas dari perasaan ketakutan, berdiri tegak penuh dengan keyakinan.
“Poedjangga Baroe” dikendalikan oleh jiwa yang berani, berani melepaskan pikiran menentang dinding-dinding pikiran yang beku, jiwa yang dinamis yang menentang… menerjang… yang mempunyai gaya mencipta yang baru, yang hangat, yang wangi… yang mengatakan “damai” hanya dalam kubur. S. Sudjojono mengeritik Raden Saleh.
Sudjojono mencari corak persatuan Indonesia abad keduapuluh. Lukisannya “Sami” menggambarkan kemelaratan bangsa.
Affandi menaruh kepercayaannya pada urat daging manusia.
Demikianlah dengan cepat kita turutkan jalannya roh yang hidup, yang dengan tidak terasa telah meliputi seluruh bangsa Indonesia dalam revolusinya yang dahsyat dan mungkin akan lebih dahsyat lagi. Begitulah adanya dan begitulah semestinya.
Semboyan telah didengungkan.
“Indonesia mesti menjadi negara kelas satu dalam dunia.” Roh dinamik nampak terang dalam susunan kata-kata itu.
Baiklah kita renungkan sebentar semboyan itu.
Mula-mula sekali terbit pertanyaan: “Ke arah corak pembangunan manakah bangsa Indonesia akan dibawa?”
Ke arah corak kemajuan abad keduapuluh, abad bom atom.
Sesungguhnya tidak dapat lain dari ini.
Kita tidak akan mengembalikan zaman emas bahari yang sering dimaknakan dengan zaman ketinggian budi.
Tetapi terhadap ini belum merata keinsyafan bangsa kita.
Baiklah kita ayunkan cemeti revolusi ini dalam alam pikiran bangsa kita agar sesuailah hendaknya dengan revolusi sosial bangsa yang berlumuran darah mempertahankan hak-haknya.
Kalau roh dinamik itu telah mengganas di alam lahir hendak merebut dan mempertahankan hak-hak kehidupan lahirnya, maka roh dinamik itu mengganas pula di alam batin, menuntut hak-hak yang dibutuhi untuk perkembangan budi yang sesuai dengan gemuruh dan dentuman yang mendengung-dengung di alam lahir.
Di lapangan Pendidikan, di lapangan pengajaran, di lapangan kebudayaan. Pada kesemua lapangan ini mesti terdapat roh dinamik yang akan sanggup membawa jiwa abad keduapuluh, jiwa abad bom atom.
Bahasa Indonesia harus sanggup menjadi bahasa persatuan harus mempunyai gaya yang ringan tetapi kuat, tidak diberatkan oleh kata-kata dan susunan kalimat yang gelap yang tidak terang maknanya. Bahasa rakyat, bahasa yang hidup penuh plastik harus mendapat kesempatan bergerak dalam lapangan bahasa Indonesia yang seluas-luasnya.
Tiap-tiap tulisan yang gelap yang bagi si penulisnya sendiri masih menjadi keragu-raguan tidaklah boleh disajikan sebagai santapan umum.
Keraguan, kebimbangan kepalsuan pantang ditutupi dengan kata-kata dan susunan kalimat yang gelap yang lebih banyak kata-katanya tetapi sedikit sekali isinya. Terutama hal ini mengenai kaum-kaum ulama, ahli pendidik kebatinan.
Bagi orang abad keduapuluh agama terang, ilmu pengetahuan terang, filsafat jelas, hidupnya sehari-hari jujur tidak terdapat ketakutan hendak menyembunyikan keburukan yang terdapat pada dirinya. Kesemuanya ini tidaklah berarti, bahwa kita telah puas.
Jauh dari pada itu.
“Dangkal,” terdengar seorang tasawuf menggerutu.
Biarlah dangkal, tetapi hidup, tidak dalam tetapi terkubur.