Sumber: Pertjatoeran Doenia dan Film, No. I, Tahun I, Juni 1941, hlm. 7-8.
Datangnya film dan radio ditengah-tengah masyarakat kita adalah suatu peristiwa yang patut diperhatikan secukupnya oleh kaum pendidik dalam khususnya serta pula kaum kebudayaan dalam umumnya. Di tanah Eropa sendiri, tanah kelahiran dua bentuk kebudayaan modern itu, sudah lama kaum ethici menyelidiki baik jahatnya film dan radio terhadap bentuknya budi pekerti kanak-kanak, pun juga terhadap berubahnya kebudayaannya lama karena pengaruhnya film dan radio, yang dalam sedikit waktu dalam sementara tahun saja, dapat tempat kedudukan yang terutama di dalam masyarakat itu.
Seperti biasa maka segala keadaan baru —begitu pula film dan radio— itu tentu mengandung sifat yang jahat, pun juga sifat yang baik. Dua-duanya sifat harus diselidiki sedalam-dalamnya, dengan cara obyektif, jangan melulu menuruti atau disesuaikan dengan keinginan sendiri saja (subyektif). Sesudah itu hendaknyalah sifat-sifat yang baik ditebalkan, diluaskan, dimajukan, sedang bagian-bagian yang jahat sedapat-dapat dikurangi atau diperhambat, agar dapat diperkecil pengaruhnya.
Menerima kebudayaan baru dengan begitu saja, tidak dipikir-pikiran rugi atau labanya terhadap kebudayaan yang ada, itulah sikap yang keliru belaka bagi orang yang berkewajiban mementingkan pendidikan atau kebudayaan. Lebih-lebih dalam zaman kini, zamannya negeri-negeri di seluruh dunia gampang sekali saling berhubungan, hingga tiap-tiap hari kebudayaan-kebudayaan dari luar negeri datang membanjiri masyarakat kita, sudah pastilah sikap menerima dengan begitu saja berasal dari tanah-tanah Barat, serta menolak pengaruh baru itu dengan kultureel.
Salah pula sikap setengah orang, yang hanya selalu mengabaikan segala bentuk kebudayaan baru yang berasal dari tanah-tanah Barat, serta menolak pengaruh baru itu dengan begitu saja pula, yakni tak dengan menyelidiki kebaikannya. Biasanya orang-orang yang bersikap demikian itu, pada suatu waktu terkejut, karena tahu-tahu anak-anaknya sendiri sudah dihinggapi kegemaran terhadap kebudayaan baru, yang dari sedikit tetapi tetap dan terus menerus memasuki jiwanya anak-anak itu.
Marilah sekarang kita coba mencari jelek serta baiknya film dan radio bagi bangsa kita, penyelidikan mana barang tentu hanya bersifat summier saja, yaitu cuma mengenai pangkal-pangkalnya soal saja.
Tentang film haruslah yang pertama kali diperingati, bahwa memang sebenarnya masih terlampau banyak film-film dari tanah Eropa dan Amerika yang mempertunjukkan cerita-cerita yang menarik hati orang ke arah kejahatan. Sungguhpun yang dimaksudkan barangkali tidak begitu, akan tetapi akibatnya sungguhlah seperti yang tersebut. Janganlah dalam hal ini dilupakan, bahwa banyaklah anak-anak dan pemuda-pemuda, juga orang-orang tua yang berwatak “sanguinisch” (kinderlijk karakter), itu biasanya mudah sekali tertarik dan suka sekali meniru segala tingkah laku yang mereka lihat. Lebih-lebih peniruan ini mudah terjadi, kalau orang-orang itu mempunyai watak “avontuurlijk”, yakni amat tertarik kepada macam-macam laku dan peristiwa yang agak luar biasa, teristimewa yang berbahaya.
Lain dari pada itu hampir semua cerita film itu bersifat roman, yang tidak saja tendensnya (maksudnya yang khusus), akan tetapi cara melakukannya (handelingnya) untuk kita bangsa Timur seluruhnya acap kali bersifat luar biasa, bahkan seringkali amat melangkahi batas kepatutan. Dimana batas kepatutan itu berhubungan dengan hidup sexueel, yakni mengenai hidupnya laki-isteri, maka kerap kali terbukti, bahwa film yang sedemikian itu amat jahatlah pengaruhnya terhadap orang-orang yang besar sekali rasa birahinya, sebaliknya lemah sekali penguasa-dirinya (zelfbeheersingnya).
Sebelum ada film memang benar cerita-cerita roman sudah banyak, dan dibaca juga oleh orang-orang, akan tetapi janganlah dilupakan, bahwa “membaca” itu beda akibatnya dengan “melihat” walaupun perbedaan itu hanya gradueel. Pun tak boleh dilupakan pula bahwa “membaca buku” itu tidak begitu gampang dan mudah sebagai “menonton bioskop”.
Tentang sikap, laku, tingkah, serta tenaga di dalam cerita ada pula bedanya “literatuur” dan “bioskop”, yaitu karena di dalam buku bacaan itu si pengarang biasanya amat mementingkan indahnya ikatan kalimat dan bahasa sedangkan di dalam bioskop perlihatkan sensasilah yang diutamakan. Kegemaran pada sensasi di dalam film itu semakin besar bilamana mengenai hidup sexueel; ini memang sesuai dengan kodratnya manusia, dalam kodrat mana memang terus terkandung nafsu-nafsu yang dalam-dalam, yang disebut “oorinstincten” dari dr. Freud dalam pokoknya bersifat sexueel. Dalam segala hal yang mengenai oerinstinct itu, maka seringkali manusia itu mudah tertarik dari tingkatannya manusia (humaan niveau) ke tingkatan hewan (animaal niveau).
Sekianlah sifat kejelekan yang kita dapat di dalam soal film serta pengaruhnya. Mengetahui jahat-jahatnya itu berarti dapat jalan untuk mengadakan perbaikan. Menurut pendapat saya, maka dalam umumnya dapat timbul harapan perbaikan itu akan terjadi dengan sendiri, jikalau pemain-pemain film itu dengan keinsyafan mengerti benar-benar, bahwa mereka itu kunstenaars, bukan orang sembarangan yang hanya wajib menyenangkan publik belaka, akan tetapi juga berkewajiban menuntun publik ke arah perbaikan, kemuliaan dan kebahagiaan. Pengharapan saya itu sebetulnya kini sudah terbukti bukan hanya pengharapan yang kosong saja, akan tetapi sekarang pun juga sudah dapat kita lihat terkabul dengan nyata. Ada sudah film buatan Indonesia yang telah mengandung tendens dan corak seperti yang saya harap-harap itu, misalnya cerita-cerita: Dr. Samsi, Roekihati, dan sebagainya. Ternyatalah di situ, bahwa terjunnya orang-orang yang kenamaan baik dan berasal dari lapisan rakyat yang berpengajaran, ada baik sekali pengaruhnya terhadap kemajuan dunia film.
Dengan sekonyong-konyong teringatlah dalam pikiran saya waktu timbulnya tonil “ketoprak” pada lebih kurang 20 tahun yang lalu. Pada waktu itu besarlah pengharapan saya akan berkembangnya tonil Jawa yang origineel itu, yang menurut pikiran saya boleh jadi akan mewujudkan tonil modern yang memakai musik, secara opera. Sayanglah ketoprak itu tak dapat pemeliharaan dari kaum intelektual, terus rakyat jelatalah yang mengusahakan, pun juga aktor dan aktrisnya yang kebanyakan bukan orang-orang yang berpengajaran. Bagaimana sekarang? Maklum, kita tahu bahwa ketoprak itu kini boleh dibilang tak dapat kemajuan, bahkan banyaklah yang sekarang sama sifatnya dengan wayang orang, tetapi wayang orang yang jelek. Oleh karena pada waktu ini ada gerombolan orang-orang yang berpengajaran mulai berani mengusahakan ketoprak, maka masih bolehlah diharap akan timbulnya tonil modern, yang sesuai dengan pesatnya kemajuan masyarakat kita pada zaman yang serba modern ini.
Kembalilah kita pada soal film. Disampingnya kejelekan dan kejahatan dari adanya film itu, barang tentulah ada pula kebaikannya. Yang pertama patutlah diakui bahwa film itu sebagai “tontonan” atau “tonil” amat geschikt untuk dipakai sebagai penyebar pengajaran. Malah dalam hal itu, filmtooneel itu lebih berharga dari pada tonil orang, oleh karena lebih gampang dipertunjukkannya, tidak amat bergantung pada adanya toneelgezelschap di satu-satunya tempat. Tiap-tiap film dengan mudah dapat dikirimkan kemana-mana tempat untuk dipertunjukkan. Lagi pula segala sifat hidup baru, hidup modern, dapat dipertunjukkan di tempat-tempat yang sebetulnya tak pernah dan tak akan dapat melihat hidup baru itu jika tak ada film. Dengan sendiri hidup batinnya rakyat lalu dapat bersambung dengan dunia besar, yang berarti rakyat lalu lebih luas alamnya. Melihat film itu boleh diumpamakan berkeliling negeri-negeri lain dengan sambil duduk bersenang-senang dengan harga murah. Berhubung dengan ini, maka baik sekali tiap-tiap pertunjukan film itu selalu didahului dengan mempertunjukkan macam-macam perlihatan yang dapat menambah pengetahuan, seperti juga sudah menjadi kebiasaan.
Tentang cerita-cerita yang dipertunjukkan, asal saja kaum pengarang dan kaum pemain dalam film itu merasa kewajibannya sebagai “kunstenaars” (seperti telah kita uraikan dimuka), maka tidak kecil faedahnya untuk mendidik budi pekerti sambil memberi kesenangan kepada rakyat. Soal mendidik dengan tonil ini tak usah kita terangkan dengan panjang lebar, oleh karena di seluruh dunia mulai zaman dahulu hingga kini pertunjukan tonil itu memang dimaksudkan untuk memberi kesenangan sambil memberi pendidikan; lebih-lebih di dalam dunia keagamaan.
Lain dari pada itu maka perlu pula dicermati, bahwa adanya film itu lalu menimbulkan film-industrie (sekarang mulai berkembang), yang akibatnya memberi nafkah kepada beberapa orang pekerja dan pemain, yang dalam pandangan ekonomis sungguh besar artinya, baik untuk orang-orangnya maupun untuk negeri dalam umumnya.
Sekianlah dahulu pemandangan kita tentang film; tentang radio lain kali akan kita uraikan.