MEMBINA SENI RUPA INDONESIA BARU*

Sumber: Bintang Timur, Sabtu, 10 Juni 1961, hlm. III.

Karena seni berakar pada masyarakat, maka untuk bicara tentang tingkat seni rupa masa ini, terlebih dahulu kita harus bicara tentang situasi masyarakat pada waktu ini.

Masa yang telah kita lampaui tidak mau menjawab tuntutan-tuntutan revolusi kita. Rakyat tetap menderita. Dan amanat penderitaan rakyat telah memaksakan kepada kita untuk menyadari kembali arah dan tujuan Revolusi Agustus 45. Sekarang secara umum bangsa Indonesia berada dalam usaha melempangkan jalannya Revolusi Agustus. Masa yang kita hadapi sekarang adalah masa penentuan. Kita kembali ke UUD 45, yang berarti membangun negara berdasarkan kerakyatan dan yang demokratis. Kita menerima Manipol sebagai haluan negara dan ini berarti konsekuen melawan imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme. Dan selanjutnya sekarang rakyat Indonesia sedang menyelenggarakan usaha-usaha menurut perincian dari Manipol yaitu USDEK.

Semua ini merupakan lembaran baru dalam sejarah perkembangan masyarakat Indonesia dan sekaligus ia juga menghadap kita kepada keharusan-keharusan dan tugas-tugas baru.

Masalah Kultural

Tugas baru dalam lapangan kebudayaan yang kita hadapi sekarang ialah apa yang telah diucapkan oleh Saudara Joebar Ajoeb dalam ceramahnya, yaitu:

Untuk menyelesaikan Revolusi Agustus bagi lapangan kebudayaan berarti, kita harus menggunakan sangkur bermata dua, di satu pihak dominasi kebudayaan imperialis harus kita singkirkan, di lain pihak sisa-sisa kebudayaan feudal harus kita kikis dari bumi kehidupan rakyat. Dengan dirintis oleh sangkur bermata dua itu kita bangun kebudayaan nasional kita yang kerakyatan, yang demokratis dan maju.

Jelas pada waktu ini dua tugas yang dihadapi oleh seni rupa Indonesia. Pertama menyingkirkan kebudayaan imperialis dan menyingkirkan kebudayaan feodal. Kedua: membangun Kebudayaan Nasional yang kerakyatan yang demokratis dan maju.

Apa saja yang kita kerjakan harus tetap berpegang pada garis Mukadimah Lekra. Yakni Seni untuk Rakyat. Mengetahui untuk siapa kita melukis adalah tugas revolusi kita Revolusi Agustus 45, ialah membangun Kebudayaan Nasional yang kerakyatan, demokratis dan maju.

Masalah lain yang besar dan yang harus kita hadapi dengan sikap melawan tanpa kompromi dan toleransi adalah kebudayaan imperialis.

Kaum kolonial dan imperialis melalui kaki tangannya kaum feodal dan komprador menyusupkan ke bumi Indonesia cara-cara hidup yang keji dan mesum, membunuh rasa patriotisme Indonesia dan mencabut kesadaran (harga diri) manusia Indonesia sebagai manusia.

Seni rupa Indonesia dewasa ini

Keadaan seni rupa Indonesia dewasa ini menunjukkan taraf menurun, jika dibanding dengan waktu permulaan revolusi. Betul secara teknis estetis kita sekarang ini memiliki pengetahuan dan kecakapan lebih luas dalam menggunakan unsur-unsur keindahan, tetapi pengungkapan seninya kurang menjelma, sehingga tak ada message yang terlukis, pesan dan gerak hidup dalam sejarah visual.

Ketika zaman sebelum perang, didorong oleh rasa kesadaran kebangsaan yang digalang oleh pergerakan nasional, seni rupa Indonesia pada ketika itu yang dipelopori oleh Persagi dapat membawakan kebanggaan kebangsaan, yaitu cinta nusa dan bangsa serta rasa persatuan. Message ini dilukis melalui pemandangan alam, peristiwa sepanjang jalan, potret atau benda-benda pakaian sehari-hari. Sekalipun hanya itu saja tema-tema lukisan, tapi toh lukisan-lukisan tadi sudah dapat membedakan apa yang turistik apa alam Indonesia yang wajar dan real.

Waktu pecah revolusi hampir seluruh seniman ambil bagian dan seninya pada ketika itu bisa mencerminkan semangat revolusi. Poster-posternya ikut memberi komando. Bentuk dan warna mengesankan jiwa perjuangan.

Semua ini disebabkan karena seniman dengan rakyat dan keyakinan revolusioner melawan penjajah. Sebagai contoh saya ambil sebuah karya Saudara Affandi lukisan yang berjudul “Kereta Api Muntik”. Lukisan ini menggambarkan kereta api muntik, lori, kereta api kecil pengangkut tebu. Kereta api itu berjubel-jubelan penuh penumpang. Gaya Affandi kita sudah kenal kuat, penuh keartistikan dan memancarkan kevitalitetan. Tema lukisan, suatu jalan, yaitu orang-orang di sepanjang jalan, yaitu orang-orang naik kereta api. Tetapi apa yang diungkapkan oleh Affandi pada ketika itu: semangat dan optimisme dari rakyat jelata dan kespontanitetan hidup.

Dari seni rupa Indonesia saat sekarang sukar sekali kita mencari sebuah lukisan yang membawa kesan kisah kehidupan. Seniman sekarang sudah lupa bahwa manusia adalah faktor yang membikin sejarah, bahwa manusia adalah pahlawan kerja.

Seniman sekarang masih saja bercerita tentang dirinya sendiri. Melalui lukisannya apakah itu potret atau pemandangan alam paling banter kita hanya bisa lihat bagaimana jiwa si pelukis.

Metode kerja realisme

Untuk sampai kepada garis-garis pokok dari pekerjaan yang akan menjadi tugas kita, baiklah saya terangkan terlebih dahulu beberapa gejala-gejala yang mempengaruhi wajah seni rupa. Karena disamping ada faktor-faktor pembangunan yang mengangkat segala kegiatan masih ada sebab-sebab yang menghambat pekerjaan, terutama dalam membangun sosialisme Indonesia, yang adil dan Makmur.

Masih ada golongan bangsa Indonesia yang masih segan untuk mendengar dan menyebut ucapan “anti imperialisme”, “anti kolonialisme”, dan “anti feodalisme”.

Dalam dunia seni rupa golongan ini menyerukan semboyan “Humanisme” dan “Universal” sebagai ukuran untuk moral dan seni.

Mereka bicara tentang humanisme hubungan antara manusia dengan manusia. Cinta sesama manusia. Suatu yang universal antara sesama manusia. Mereka bicara tentang damai antara manusia, tapi mereka tak mau mengutuk penghisapan manusia oleh manusia, yang sehingga sekarang masih dilakukan oleh kaum imperialis dan kolonialis serta kaki tangannya kaum feodal. Mereka bicara tentang manusia tanpa kisah perjuangan, tanpa kesengsaraan, tanpa kemegahan. Mereka meniadakan konflik antara yang terhina dan yang menghina. Mereka bicara tentang manusia abstrak.

Mereka lupa, bahwa nilai keindahan berkembang menurut gerak hidup sejarah. Dan sejarah sekarang adalah sejarah revolusioner menentang segala bentuk penindasan.

Kita harus lukiskan wajah zaman yang realistis, apa ciri-ciri yang karakteristik (perwatakan) dari keadaan yang tipikal (khusus yang disebut revolusi).

Kita harus mengenal secara subyektif siapa penegak dan siapa musuh sosialisme Indonesia.

Langgam kerja turun ke bawah

Hal yang kedua: kita harus mengenal objek kita, mempersatukan teori dan praktek. Saudara Njoto dalam sambutan atas laporan umum rapat pleno Lekra yang lalu mengatakan: Turun ke bawah mempunyai satu tujuan yang mulia sekali, yaitu agar pekerjaan kebudayaan satu dengan rakyat, satu pemandangan, satu sikap, satu denyutan nadi dan denyutan jantung.

Dengan jalan turun ke bawah dan disenjatai oleh pengertian teori pasti kita dapat menggali dan menjelmakan “Watak-watak tipikal dari revolusi kita”. Tugas ini ialah menjelmakan tokoh baru dan ide yang mencerminkan kekuatan progresif dalam zaman perjuangan revolusioner dari rakyat sekarang ini, sehingga seni kita mempunyai peranan mendidik secara politik dan rasa indah. Mengkombinasikan isi yang baik dan bentuk yang indah, mutu ideologi yang tinggi dan mutu artistik yang tinggi.

Dalam hal ini kita harus mengakui secara jujur, bahwa banyak diantara kita ditinjau dari segi artistik masih berada dalam taraf belum sempurna. Kita masih harus banyak berlatih. Disamping itu dari angkatan tua yang sudah kenamaan dan punya kedudukan sosial kebanyakan sudah merasa puas diri.

Ini tidak berarti, bahwa belum pernah memberi andil apa-apa kepada perjuangan revolusioner. Banyak karikatur-karikatur yang kita bikin bahkan ada poster dan dekorasi yang pernah kita bikin tidak hanya berupa seruan atau hiasan saja, tapi juga bersifat memberi komando politik. Tapi ini, belum semua dari apa yang harus kita kerjakan. Diluar kita banyak seniman yang secara artistik bermutu tinggi. Tapi ditinjau dari ungkapan seninya, ia hanya mengemukakan pelukisan biasa. Seninya tidak menyinggung kisah tema kehidupan. Pandangan dunia mereka berlainan dari kita. Mereka bertolak dari filsafat idealisme dan ungkapan metafisik, soal-soal yang diluar jangkauan kehidupan sehari-hari, hal yang abstrak dan subyektif. Lukisan-lukisannya berwujud bentuk dan warna yang banyak mengesankan rasa ramah-tamah atau kemesraan. Memang segala daya cipta mereka ditujukan untuk golongan borjuis yang hanya minta pelayanan selera yang dekaden, yaitu confort dan hospitality (kenikmatan dan keramah-tamahan).

Kisah penghidupan rakyat Indonesia dalam perjuangan mencari hari depan amat berisi serta kaya dengan pengalaman, dan kita seniman progresif adalah penganjur dari tauladan-tauladan yang revolusioner.

Jadi kita mempunyai kecenderungan untuk memilih sesuatu kegiatan rakyat dan melukiskannya sebagai motif supaya berfaedah bagi perjuangan rakyat.

Dalam hal ini kita menyinggung soal tema. Apakah itu bagi suatu lukisan, apakah itu mutlak, apakah ia bukan beban yang memberi batasan kepada daya lukis, meletakkan daya cipta pada soal-soal keyakinan.

* Tulisan ini dibacakan di Konferensi Nasional ke I Lembaga Senirupa Indonesia pada 24-26 Mei 1961 di Jogyakarta.

Sumbangan Pikiran Tentang Seni Rupa Indonesia
Seni Grafik Indonesia