Sumber: Bintang Timur, Rabu, 7 Juni 1961, hlm. III
Pada zaman penjajahan Belanda dulu, hampir semua pelukis terpengaruh dan terbawa oleh pelukis-pelukis Belanda yang hanya menghendaki seni turisme dan artistik semata-mata. Jadi hanya menghendaki suatu seni yang tidak berjiwa, komersil, maka itu jadinya oppervlakte, dangkal. Mungkin agak berlebih-lebihan jika saya katakan disini, bahwa andaikata dahulu tidak ada S. Sudjojono, barangkali pada pelukis kita sudah mengikuti jejak pelukis-pelukis Belanda. Dengan S. Sudjojono yang kaya dengan ide-ide, memberikan ide-ide kepada kita, baik tertulis maupun tidak tertulis, membelokkan haluan seni lukis Indonesia sehingga pelukis-pelukis kita tidak begitu saja mudah terseret oleh pelukis-pelukis Belanda. Dengan begitu dapatlah saya simpulkan bahwa sesungguhnya kita sudah sejak lama mengenal adanya kehidupan seni rupa yang terpimpin, yang cukup mempunyai pendirian, jiwa dan arah untuk Indonesia Merdeka yang dicita-citakan.
Pada saat mencetusnya revolusi, saya membikin sebuah poster perjuangan yang bertitel “Bung, Ajo Bung”. Sesungguhnya poster ini adalah hasil kolektif antara saya, S. Sudjojono, dan Chairil Anwar. Mula-mula saya mengajukan ide poster itu untuk menggambarkan kemerdekaan sebagai rantai yang telah putus; kemudian disempurnakan oleh S. Sudjojono, bahwa rantai yang telah putus itu ditangan seorang yang dengan semangat revolusi memegang merah putih, setelah poster tersebut selesai saya bikin, kemudian oleh Chairil Anwar diberi title “Bung, Ajo Bung”. Poster itu adalah merupakan sebuah poster yang paling pertama dan merupakan dokumen sejarah pada saat-saat Revolusi Agustus 45 dimulai. Demi untuk menggelorakan semangat revolusi, poster tersebut diperbanyak hanya dengan tangan saja oleh para pelukis Dullah, S. Sudjojono, Sudarso, Derachman, Affandi, dan lain-lain.
Adalah menjadi kenyataan sejarah, dimana waktu revolusi semua menyertai perjuangan dengan jalan membuat poster, plakat-plakat, spanduk, dan sebagainya, di kereta api, rumah-rumah, gedung-gedung, dan tembok-tembok, kecuali hanya seorang saja, yaitu Basuki Abdullah. Menurut Sudarso, di waktu revolusi Basuki Abdullah malah menggambar Ratu Juliana. Sangat disayangkan, padahal Basuki Abdullah adalah cucu seorang perintis gerakan kemerdekaan nasional, yaitu Dr. Wahidin Sudirohusodo, dimana tradisi perjuangannya dan patriotiknya tidak dilanjutkan oleh cucunya.
Basuki Abdullah
Kepada kesenian Basuki Abdullah ada yang senang dan ada yang tidak senang. Kalau saya menyatakan pada lukisannya senang, mengapa demikian? Basuki Abdullah adalah seorang yang seksueel, yang kegila-gilaan pada wanita, sedangkan orang yang demikian tidak disenangi oleh masyarakat. Oleh karena itu ia juga menghasilkan lukisan-lukisan yang menggairahkan geïdealiseerd, dan masyarakat tidak senang kepada demikian itu, sekalipun dalam bentuk lukisan. Sebenarnya Basuki Abdullah memang jujur dalam lukisannya, terbayang watak seksualnya.
Saya dulu, mula-mula melukis secara naturalisme, tetapi sebenarnya di dada saya sudah terkandung pendirian ekspresionisme. Untuk keperluan teknik maka saya terpaksa melukis melalui dulu cara naturalisme. Setelah kecakapan teknik saya peroleh, sebagai lanjutannya, pernah saya menempuh jalan impresionisme, tetapi hanya sebentar saja, hanya sepintas lalu saja sebab memang pendirian saya adalah tetap ekspresionisme. Dan akhirnya, saya meneruskan melukis secara exspressionistis dan inilah yang terus menjadi pendirian saya. Sesungguhnya saya baru mengetahui bahwa ini adalah ekspresionisme sesudah adanya kritik seni menyatakan demikian. Sebelumnya saya ti… [tidak ada kelanjutannya].
Sering saya disangka hanya suka melukiskan orang yang jelek-jelek saja, tidak suka melukiskan orang yang cantik dan bagus. Sesungguhnya tidak demikian halnya. Sebagai orang ekspresionis saya dirangsang untuk melukis tentang penderitaan-penderitaan. Sedangkan orang yang menderita itu biasanya adalah orang yang kekurangan. Dan orang yang kekurangan itu kurang bisa terjamin hidupnya, karena itu sering sakit-sakitan, pucat, dan sebagainya, sehingga tak ada kesempatan baik untuk memelihara dan mempersolek diri. Maka itu tidak atau jarang orang yang menderita itu cantik atau bagus. Juga hal itu membawa kepada soal pewarnaan yang gelap.
Itulah juga mengapa lukisan saya kebanyakan timbul warna-warna. Sebab warna-warna gelap muda mendapat efek ekspresi. Saya kepingin sekali mendapat warna yang tenang, dengan tidak meninggalkan kewajaran yang sewajar-wajarnya. Jadi tidak dengan diusahakan secara dipaksa-paksa atau dibuat-buat. Setahu saya, pelukis sezaman van Gogh sendirilah yang menggunakan warna-warna terang sebagai seorang pelukis ekspresionisme, sedangkan pelukis-pelukis ekspresionis lainnya tidak menggunakan warna-warna terang.
Bagaimana melukis baik?
Saya sering mendapat pertanyaan: Bagaimanakah sesungguhnya melukis yang baik?, Atau: Bagaimanakah dapat menjadi pelukis yang baik? Pertanyaan semacam itu sering sekali diajukan kepada saya, terutama dari kalangan para muda. Saya berpendapat, bahwa untuk dapat melukis yang baik atau untuk dapat menjadi pelukis yang baik, haruslah dipenuhi tiga syarat sebagai berikut:
- Harus jujur kepada diri sendiri.
- Harus terus menerus berlatih agar dapat memiliki teknik yang kuat.
- Harus berusaha memperbaiki jiwa sendiri dengan berpikir dan berbuat baik.
Ucapan saya ini bukanlah berarti, bahwa saya sudah berhasil dalam cita-cita seni lukis. Banyak orang mengira, bahwa sudah saya goal dalam cita-cita seni lukis padahal… [tulisan hilang] merasa belum juga berhasil tapi itu yang… [tulisan hilang] tetap bekerja terus. Maka itu kalau saya menghadapi para muda tidak giat atau kurang giat bekerja, saya merasa sakit hati. Terkadang timbul di hati saya perkataan-perkataan seperti: Saya ini sudah tua. Saya lebih jauh lebih lemah dari yang muda. Kejarlah saya, kalahkan saya.
Akan tetapi sebaliknya, kepada para muda… [tulisan hilang] aktivitas dan vitalitas, saya sungguh merasa kagum, misalnya Amrus, Popo, dan lain-lainnya. Marilah sekarang saya membicarakan yang lain.
Menurut saya, usaha seni rupa kita, mempunyai dua tujuan, yaitu usaha ke dalam negeri dan usaha ke luar negeri.
Usaha dalam negeri
Sebagian besar sudah saya uraikan di muka. Ada yang perlu saya sebutkan disini, ialah, bahwa kita merasa beruntung… [tulisan hilang] nyai seorang Presiden pencinta seni, dimana banyak usaha-usahanya di dalam mengumpulkan hasil-hasil pelukis-pelukis untuk koleksinya. Hal ini mendorong pula adanya kegiatan banyak grup-grup seni rupa dengan kegiatan eksposisi dan lain-lainnya.
Usaha ke luar negeri
Secara pribadi, dalam bidang seni lukis, saya berusaha meningkatkan seni lukis saya ke arah gelanggang dunia seni lukis internasional. Artinya saya berusaha mengerahkan lukisan-lukisan saya pada gelanggang internasional. Ini berarti bahwa saya berusaha menyertai kompetisi secara internasional. Di dalam kompetisi ini sekali-sekali tidak dimaksudkan untuk saling mengalahkan, melainkan untuk kerjasama dan saling memajukan. Tidak untuk mengalahkan Picasso misalnya, dan lain-lain, atau sebaliknya, akan tetapi untuk saling memajukan dengan kerjasama internasional. Saya sering pergi ke luar negeri, baik negeri-negeri Asia maupun negeri-negeri Eropa dan lain-lain, karena itu saya dapat mengetahui keadaan gelanggang seni rupa internasional. Seandainya saya dapat berhasil baik dalam kompetisi internasional, secara internasional pula saya menjunjung nama Indonesia. Karena itu saya serukan kepada kawan-kawan: Bantulah usaha saya ini. Sebab usaha ini adalah tidak enteng, tidak bisa hanya dikerjakan oleh seorang diri saja, tapi harus dikerjakan oleh banyak orang. Tidak bisa hanya diusahakan oleh segelintir pelukis saja. Tanpa mengurangi aktivitas usaha-usaha ke dalam negeri, saya butuh banyak kawan untuk usaha-usaha keluar negeri. Kedua-duanya adalah sama pentingnya. Tentang persoalan usaha ke luar negeri, saya ketengahkan disini agar menjadi persoalan untuk memperolehkan bisa dimasukkan di dalam program kerja kita melalui konferensi ini.
Memalukan
Persoalan tersebut saya ajukan dalam konferensi ini karena kita pernah mengalami kejadian-kejadian yang tidak menguntungkan kita dan hal tersebut jangan sampai terulang lagi. Satu kejadian dimana ada pertemuan internasional, di Eropa, yang membicarakan soal Plastic Art yang artinya ialah seni rupa. Indonesia mengirimkan seorang wakilnya dalam pertemuan tersebut dan seorang wakil kita itu mengira bahwa yang akan dibicarakan dalam pertemuan tersebut ialah soal-soal kesenian yang dibuat dari bahan-bahan plastik. Apakah hal itu tidak mengecewakan kita. Terus terang kita merasa menyesal yang amat sangat.
Satu kejadian lagi, ialah ketika di tahun 1957, di Manila, Philipina diadakan pertemuan seniman-seniman dan pameran-pameran hasil karya lukisan-lukisan di Asia. Dalam pameran, Indonesia diwakili oleh lukisan-lukisan yang dengan gampangnya diambilkan dari koleksi lukisan-lukisan yang digantungkan di gedung kedutaan R.I. di Manila, yang berasal dari lukisan-lukisan yang dibeli dari hasil para pelukis yang tidak bernilai. Peristiwa ini menimbulkan pandangan rendah dan salah dari seniman-seniman luar negeri terhadap Indonesia, terutama terhadap… [tulisan hilang] nya. Hal ini baru saja dapat saya ketahui, setelah baru-baru ini ada seorang seniman dari Philipina yang mengunjungi Indonesia dengan melihat kenyataan yang lain sama sekali dari apa yang pernah dilihatnya di Manila. Ini sudah terang merugikan semua. Oleh karena itu, marilah usaha-usaha ke luar negeri ini juga kita jadikan program yang penting untuk dapat kita laksanakan dengan tidak menyimpang dari tujuan perjuangan kita.
Akhirnya, perkenankanlah saya menyimpulkan dalam uraian saya, bahwa dalam membina seni rupa Indonesia baru, untuk penyelesaian Revolusi Agustus 45 untuk hari depan yang gemilang, tidak bisa lain kecuali kita harus banyak bekerja, harus bekerja terus, bekerja dengan serius.
* Tulisan ini dibacakan di Konferensi Nasional ke I Lembaga Senirupa Indonesia pada 24-26 Mei 1961 di Jogyakarta.