SENI GRAFIK INDONESIA*

Sumber: Bintang Timur, Kamis, 8 Juni 1961, hlm. III.

Pada dewasa ini seni grafik kita masih dalam keadaan permulaan. Kita mengenal seni grafik itu semenjak Revolusi, karena terdorong ingin menyumbangkan tenaga kita kepadanya dalam bidang penyebaran pamflet dan poster-poster. Maka dalam tahun 1948 mulailah kita mencukil kayu. Kulit buku nyanyian kanak-kanak oleh Saudara Sukatno dari Taman Siswa Wirogunan, adalah hasil pertama yang dikerjakan dalam 3 warna dengan 3 buah blok, yang didapat dari sebatang dahan kayu sawo kecil dimuka pendopo Taman Siswa itu. Pahat-pahatnya adalah satu stel lino-cutter yang kebetulan dapat dibelinya dari tukang loak oleh seorang kawan, yang tidak tahu gunanya.

Hasil pertama ini saya sebut cukilan kayu, almarhum Pak Darmobroto dari Majelis Luhur Taman Siswa tidak dapat menyetujui perkataan cukilan kayu ini, tetapi saya ngeyel (mempertahankan) dan kini orang Indonesia kebanyakan tahu sudah apa yang dimaksudkan dengan perkataan itu, ialah yang dalam bahasa Inggris disebut “wood cut”.

Di zaman penjajahan pernah pula saya melihat sebuah cukilan berwarna dari Henk Rivassa dari Studio de Unie, tetapi ia selanjutnya tak pernah lagi membuatnya.

Kemudian pada saat-saat sebentar sebelum penyerbuan Belanda ke Jogja, saya mencetak poster-poster yang dicukil di atas tanah liat dari poster buatan Suromo. Dipandang dari sudut tipografi atau seni barangkali tak seberapa nilainya, tetapi poster-poster itu terus dikirim ke front, dan saya rasa ada sedikit juga hasilnya dalam menebalkan semangat pejuang-pejuang kita.

Sebuah kalender saya buat juga seluruhnya dicukil di atas kayu untuk Kementerian Penerangan; selesai pencetakannya pada bulan Desember 1948, lalu Belanda menyerbu ke Jogja.

Kalender itu bertumpuk sebanyak 2000 eksemplar di rumah yang saya tinggalkan karena saya terpaksa terbirit-birit mengungsi. Tetapi sekembali dari pengungsian, kalender itu nampak dijual di pasar Beringharjo minus tanda Kementerian Penerangan RI. Yang terang bukan saya yang menerima uang penjualannya.

Setelah itu saya sendiri berhenti dengan mencukil kayu.

Kemudian setelah saya kembali ke Jogja sebagai pengajar di ASRI, Saudara Suromo saya lihat berhasil membuat cukilan-cukilan kayu yang bagus dan mengajarkan pula kepada para siswa ASRI hingga sekarang. Dan yang menggembirakan ialah, bahwa banyak cukilan-cukilannya yang kini menghias dinding museum di luar negeri. Terus terang cukilan-cukilan saya pada zaman Revolusi belum mencapai taraf museum luar negeri.

Etsa

Karena dalam cukilan telah ada pembinanya, maka saya pelajarilah dari buku pembuatan etsa, ialah seni grafik lain yang termasuk cetak dalam. Setelah saya tahu betul seluk beluk etsa ini, saya minta dibolehkan mengajarnya di ASRI. Direktur Pak Katamsi ketika itu barangkali tidak begitu yakin akan kejujuran saya, sebab saya bukan orang yang berijazah. Dijawabnya, bahwa vak itu beliau sendirilah yang membinanya, hingga tidak dapat diberikan kepada saya.

Karena saya tak dapat melihat hasil printnya secarik pun, maka saya buat sebuah dry point, ialah etsa yang dikerjakan langsung dengan paku baja, tanpa air keras dan hasil-hasilnya saya perlihatkan kepada kawan-kawan guru ASRI plus direkturnya sekali. Dari Pak Katamsi tak ada reaksi tetapi kawan-kawan guru lainnya segera mendesak supaya sayalah menjadi pembina vak etsa itu.

Jadilah itu secara fait a compli… hingga sekarang ini. Terus lansir perkataan baru: goresan logam kering atau basah… tapi keburu Prof. Mr. Moh. Yamin menggunakan perkataan etsa. Yang terakhir inilah yang menjadi populer.

Perkataan goresan logam tidak mendapat pasaran, sebab datang dari orang yang tak berijazah bukan? Tetapi tak mengapa, etsa juga boleh, asal seni grafik menjadi populer. Demikianlah ASRI mengenal sekarang, dry point, etsa, mezzotint dan aquatint.

Sekarang cabang seni grafik yang ketiga ialah lithography. Belum pernah dilakukan di Indonesia. Di ASRI pun belum diajarkan karena tiada presnya. Berulang-ulang saya mintanya, tetapi belum berhasil.

Sekali di atas litho ini dibuat potretnya Saudara Setjojoso, seorang kawan guru ASRI dengan hasil baik. Dicetak di Jawatan Fotografi di Jakarta. Hanya disini belum dikerjakan sama sekali, padahal tak kalah bagusnya dengan seni grafik lainnya.

Kalau litho ini sudah dilakukan di Indonesia lengkaplah sudah cabang seni grafik ini.

Seni grafik belum populer

Seni grafik di Indonesia belum populer seperti halnya seni lukis dan seni patung. Perhatian yang dicurahkan pemerintah kepada seni lukis dan seni patung, sebetulnya karena Bung Karno lah. Sekarang banyak orang-orang yang beruang, mengeluarkan dari kantongnya 50 atau 75 rupiah untuk sebuah lukisan, yang barangkali tak dimengertinya. Tetapi nampak gagah toh, kalau di rumahnya tergantung lukisan mahal walaupun tidak dimengertinya.

Patung-patung yang tak murah harganya pun kini mulai banyak menghias gedung-gedung pemerintah maupun perseorangan. Pembelian-pembelian ini merupakan stimulan yang baik untuk kemajuan seni rupa kita.

Sebaliknya dalam hal seni grafik. Kalau pemerintah belum ada perhatian kepadanya, apalagi masyarakat Indonesia. Bahkan jawatan yang khusus ditugaskan untuk itu sebenarnya, ialah urusan kesenian dari Jawatan Kebudayaan hingga sekarang tak ada minatnya sama sekali.

Lain halnya di Eropa, lebih-lebih lagi di negara sosialis. Di Eropa diadakan museum khusus untuk seni grafik yang disebut Prentenkabinet. Di negara-negara sosialis orang-orang biasa suka membeli cukilan-cukilan kayu, etsa, atau litho untuk perhiasan dinding.

Karena dalam seni grafik kita membuat cetakan dengan tangan, maka hasilnya banyak, hingga harganya perprintnya menjadi murah. Rumah yang sederhana pun sanggup menghiasi dindingnya dengan hasil grafik. Dan lagi senimannya selalu masih dapat menyimpan beberapa dari kreasinya. Ini suatu keuntungan besar, kalau pelukis menjual lukisannya seharga Rp 75.000, dia berpisah selamanya dari lukisan itu apalagi kalau lukisan itu dibawa ke luar negeri, anak cucunya barangkali tak akan melihatnya lagi.

Karena stimulan yang didapat dari masyarakat, maka di negara-negara sosialis, seni grafik melonjak dengan cepatnya dan disanalah pula seniman-seniman grafik mendapatkan nama yang abadi, seperti Kravchenko dan Käthe Kollwitz dengan kreasi-kreasinya yang benar-benar bagus.

* Tulisan ini dibacakan di Konferensi Nasional ke I Lembaga Senirupa Indonesia pada 24-26 Mei 1961 di Jogyakarta.

Sumbangan Pikiran Tentang Seni Rupa Indonesia
Membina Seni Rupa Indonesia Baru