Sumber: Indonesia, No. 5, Tahun II, Mei 1951, hlm. 43-47
Catatan ini saya batasi kepada hal-hal yang sekedar mengenai apa yang dihidangkan oleh eksposisi Jogja dan penyelenggaraannya. Tentu saja tak dapat diperluas sampai khusus mengenai beberapa pelukis saja yang dikupas sedikit oleh penulis karangan di atas, sebab itu akan tiba diluar batas pembicaraan. Dimana Saudara Kusnadi telah melalui batas pokok pembicaraannya sendiri (lihat titel karangannya: Tentang Maksud Eksposisi Seni Rupa di Jogja) dengan mengeritik diri saya personal, disitu saya terpaksa pula memberi jawaban sedikit.
1) Tentang pengiriman lukisan-lukisan Oesman Effendi dan Zaini ke negeri Belanda dapat saya katakan bahwa hal itu terjadi lebih dahulu dari pada seteleng di Jogja, karena lukisan-lukisan dikirimkan dalam bulan November 1950 dan disetelengkan di Amsterdam tanggal 15 Januari-4 Februari 1951 (lihat resensi Haagse Post, De Groene Amsterdammer, dan lain-lain). Pun oleh pelukis yang bersangkutan telah diserahkannya kepada Saudara Kusnadi 4 lukisan Oesman dan 5 lukisan Zaini, yang diantaranya hanya dipilih satu-satu oleh Saudara Kusnadi. Kecuali itu Saudara Kusnadi telah mengakui sendiri bahwa pengumpulan gambar-gambar itu dengan tergesa. Andaikata ia suka mengambil tempo lebih banyak serta sudi mencari dengan lebih seksama, maka dengan mudah akan didapatnya buah-buah tangan lainnya dari kedua pelukis tadi, misalnya sketsa-sketsa, vignet-vignet, dan omslag-omslag yang ada pada pelbagai redaksi majalah di Jakarta, pun juga yang telah direproduksi dalam majalah dan buku-buku, belum terhitung yang masih disimpan di rumahnya masing-masing. Kalau dua pelukis itu dianggapnya penting, tentu ia telah mengadakan informasi yang benar-benar. Tak tahukah Saudara Kusnadi bahwa kekuatan dua orang itu juga dengan tepat bisa dibayangkan dengan sketsa-sketsa, vignet-vignet dan omslag-omslag buku yang mereka hasilkan?
Rupa-rupanya pengiriman koleksi ke Amsterdam itu dianggap oleh Saudara Kusnadi sebagai kesalahan terhadap kehendak serta perjuangan bangsa kita! Jika ini benar, Saudara Kusnadi mesti menyadarkan diri dahulu apa fungsi kesenian itu. Bagi saya, soal disetelengkan hasil kerja para seniman kita di luar negeri, meskipun di negeri Belanda dan diselenggarakan oleh orang Belanda itu bukanlah soal lagi yang dapat menyinggung sentimen. Kita harus berkembang dimana-mana dan boleh dilihat dimana-mana, jangan menyempit dan menyendiri sebagai chauvinis, maka istilah “ultra-internasionalisme-universalisme” dari Saudara Kusnadi itu sama sekali tak pada tempatnya.
Kalau Saudara Kusnadi hendak menghukum Oesman Effendi dan Zaini, dia hendaknya membentangkan dulu apa arti nasionalisme dan internasionalisme bagi seorang seniman dan apa hubungannya dengan konstelasi politik sekarang. Lebih-lebih kabur pendapatnya itu bagi saya, karena saudara Kusnadi menyebut istilah “seteleng nasional” yang saya pakai itu, tapi tiada ia menyalahkan atau membenarkannya.
Tentang soal saya belum atau tidak menulis tentang koleksi Oesman Effendi atau Zaini itu Saudara Kusnadi tiada berhak menuntutnya. Saya boleh menulis tentang apa saja, dan boleh tidak menulis. Apa lagi koleksi itu belum pernah saya lihat selengkapnya disetelengkan di Indonesia. Perhubungan antara seteleng Amsterdam dan seteleng Jogja yang dipaksakan oleh Saudara Kusnadi itu tak dapat saya terima.
2) Saudara Kusnadi rupa-rupanya tak sanggup membeda-bedakan sifat dan fungsi kritikus dari sifat dan fungsi seniman, kesalahan mana memang banyak dibuat orang. Agaknya perlu saya kemukakan bahwa perbedaan prinsipil antara kritikus dan pelukis (seniman) ialah, bahwa pelukis itu sebagai seniman adalah pembuat buah seni, sedangkan kritikus sebagai ahli seni adalah penimbang, dalam hal mana ia tak usah menjadi seniman. Mungkin kedua hal itu dikerjakan oleh satu orang, tapi yang terutama dikerjakan oleh seniman ialah pertanggungan jawabnya sebagai subyek untuk membuat sesuatu yang berseni, sedangkan kritikus berkewajiban menelaah baik buruknya yang ada pada buah seni si seniman itu sebagai obyeknya serta menghadapkan dia (konfrontasi) kepada pertanggungan jawab yang terkandung dalam buah seninya.
Kedua fungsi yang berlainan ini dicampur aduk saja oleh Saudara Kusnadi dalam kritiknya terhadap diri saya, ternyata dari ucapannya, supaya saya tak memasang lukisan Rumah Pertemuan dalam eksposisi itu. Bagi saya, jika seorang pelukis sudah berani bertanggung jawab akan kejujuran serta kesenian yang dihidangkannya itu sebagai hasil kerja, konsepsi dan cita (ide) nya, tak hanya terhadap masyarakat, tetapi terutama terhadap dirinya sendiri, maka sudahlah ia melakukan fungsinya dengan tiada pembohongan. Jika ia sadar, maka ia pun dapat mengatakan belum atau sudahnya ia sampai ke puncak kesanggupannya. Itu pula saya katakan bahwa teknik masih lemah, hal mana disini dikutip oleh Saudara Kusnadi. Bukankah itu sudah suatu kritik diri, Saudara Kusnadi? Selanjutnya saya beranggapan bahwa soal pertanggungan jawab seperti saya uraikan di atas itu sudah terpenuhi. Kalau ternyata Saudara Kusnadi berpendapat lain, terserahlah itu. Dalam hal ini saya heran, mengapa lukisan saya diterima saja olehnya. Bukankah Saudara Kusnadi sendiri yang menentukan apa yang boleh dipasang dalam eksposisi itu? Adakah Saudara dengan demikian mau melepaskan diri dari pertanggunganjawabnya?
Pertanyaan Saudara apakah saya suka lahirnya kesenian di Indonesia yang teknik akan kuat juga, tentu saja saya iya kan, apalagi setelah Saudara tahu bahwa saya —dan dengan saya masih banyak orang-orang lainnya yang lukisannya tidak saya tolak— sedang mencari penyempurnaan sebagai pelukis (istilah pelukis dan istilah kritikus ini dipakai oleh Saudara!) Bukankah seteleng yang Saudara buka itu hendak memberi kesempatan pada tiap-tiap tenaga yang telah nyata-nyata mau berkembang? Entah sudah sampai ke puncak maupun belum, asal saja hasilnya ada mengandung seni, bukan? Asal saja potensi yang tercermin dalam buah tangannya memberi harapan yang real untuk hari depan. Inilah konsepsi saya, maka sekiranya Saudara ada mempunyai konsepsi lain, mengapakah itu tidak Saudara tegaskan? Andaikata Saudara tak mau lukisan yang dipandang dari satu sudut mengandung kelemahan, saya rasa 4/5 dari koleksi mesti ditolak. Perkataan Saudara bahwa isinya lemah itu tak dapat saya akui, pun bagi saya yang primer ialah soal berseni atau tidak, tapi ini Saudara tidak (berani) mengatakan tentang Rumah Pertemuan itu!
Saya tak menyinggung teknik Sudjojono serta orang-orang lain yang sudah saya anggap matang; saya pun suka pada Titian serta seni lukis Tiongkok atau Jepang yang bagus itu, seperti saya suka pada tiap-tiap kesenian yang sungguh-sungguh. Bedanya disini, bahwa Saudara terlau menekankan perhatian kepada soal teknik dan karakteristik, mungkin juga pada segi-segi filsafat, ketuhanan, dan sebagainya, sedangkan bagi saya semuanya itu tidaklah amat penting; yang penting ialah soal mengandung seni atau tidak, ialah pernyataan jiwa yang sewajarnya dari seorang seniman. Inilah intinya, dan soal-soal lainnya itu memang bukan tidak ada gunanya, tetapi tidak primer, bahkan bagi orang yang tak sanggup mencapai inti, seringkali menyesatkan, sehingga terjadilah apa yang justru Saudara sebut quasi echt itu, berputar-putar dalam soal-soal karakteristik, teknik yang akademis, corak, gaya, inteligensi, filsafat, komposisi, perspektif, dan lain-lain, tetapi belum merupakan buah seni. Justru inilah yang menyebabkan banyak orang hanya sampai kepada bentuk dan atau teknik melulu; justru inilah yang melekat pada orang-orang yang Saudara sebut sub II sampai dengan sub IV, justru inilah yang antara lain menyebabkan orang suka menjadi quasi-modern! Tentang hakekat inti itu kita boleh berdebat panjang-panjang, sama sulitnya bagi si A untuk menerangkan mengapa dia misalnya jatuh cinta pada seorang perempuan, sedangkan si B tidak. Dan saya takutkan Saudara belum tiba kepada inti itu, menilik tuduhan-tuduhan Saudara direk atau indirek terhadap diri saya yang tidak berdasarkan kenyataan itu (kurang isi dan gaya (?), quasi echt, congkak, tak punya kritik diri, bodoh, perbandingan dengan pohon gunung). Lebih-lebih lagi tak beralasan tuduhan Saudara bahwa saya mengambil dari kanan-kiri atau buku, dan kurang keyakinan diri. Dapatkah Saudara membuktikan bahwa karangan saya itu saya jiplak dari orang lain atau dari buku? Dan apakah alasan Saudara sampai mengatakan kurang sekali keyakinan diri (alias ngawur, tak bertanggung jawab atau tak jujur?) Dapatkah Saudara mengatakan Rumah Pertemuan itu suatu pembohongan? Atau kritik saya itu asal bikin-bikin saja?
3) Tulisan Saudara Kusnadi “Tak dapat disangkal…” sampai “…dan hidup di tengah-tengah manusia,” sayang sekali kurang tegas bagi saya, hingga tentang artinya hanya dapat diraba-raba. Hendaknya Saudara lain kali suka menguraikan lebih terang dan tepat mengenai soalnya (op de man af).
Sudah barang tentu kita sebagai manusia yang ingin terbuka bagi setiap sesuatu yang baik itu tiada hendak membatasi diri pada kaum modernis di Eropa Barat saja, tetapi bagi segala pelosok dunia dari segala zaman. Saya sendiri misalnya mengagumi seni patung Mesir Purba. Dapatkah Saudara Kusnadi yang secara chauvinistis menyebut seni wayang satu-satunya “lananging jagat” (kejantanan dunia?) itu mengatakan bahwa patung-patung Mesir Kuno kalah hebatnya dari wayang kulit kita?
Saya pun tidak akan menyinggung Picasso, kalau memang tak ada alasannya. Bisakah Saudara mengatakan bahwa sketsa-sketsa S. Pardjo itu tidak lebih dekat pada Picasso (quasi!) daripada seni wayang atau seni asli kita lainnya? Bukan maksud saya hendak menolak pengaruh Picasso atau pengaruh siapa pun dari luar. Tapi janganlah meniru secara buruk atau mengambil yang lapuk dan tak bernilai, seperti halnya dengan “seni keroncong” kita. Kecuali itu, dari seniman yang sebenar-benarnya kita harapkan sedikit banyak keaslian. Orang yang 100% epigon belaka tidak pula akan saya hormati. Keaslian dalam hal ini berpokok pada kemurnian jiwa individu, yang jikalau ia merasa serta berpikir secara orang Indonesia, niscaya akan tiba pada corak khusus yang menggambarkan jiwa keindonesiaan. Bukankah ini menjadi salah satu soal terbesar bagi kita? Apalagi jika Saudara menyelenggarakan eksposisi seperti ini? Tiadakah terasa oleh Saudara bahwa gambar-gambar kanak-kanak itu lebih mencerminkan keindonesiaan itu daripada banyak buah tangan orang-orang dewasa yang ikut berseteleng, yang kebanyakan tiba pada steriliteit corak asli (Indrosugondo, Nur Brahimsa, dan lain-lain) atau pada epigon 100% yang tidak berjiwa seperti S. Pardjo, Saptoto, dan lain-lain?
Kalau Saudara Kusnadi mulai bicara tentang kejujuran, marilah kita menghadapi lukisan-lukisan secara tak berprasangka! (onbevangen) Kita hanya dapat begitu, apabila kita kesampingkan dulu segala teori serta memandang objek kita dengan dada terbuka. Hal ini jangan disangka mudah, karena kenyataannya banyak orang telah berkarat dalam beberapa teori yang mau tak mau dipaksakannya pada lukisan itu, karena teori-teori itu telah membawa dia pada suatu sikap hidup, dengan masa ia mengukur segala apa yang dilihatnya. Kalau sikap hidup ini masih berpangkal pada haru yang sadar seni (tidak buta seni!), maka bahagialah dia benar-benar! Sebaliknya kalau haru sudah tertutup oleh karat-karat tadi, sulitlah haru itu untuk melepaskan diri dari kungkungan karat-karat itu, hingga selama hidupnya orang akan tersesat melulu, makin lama-makin menjauhkan dari haru asli yang murni, karena teori-teorinya hanyalah membawa dia kepada pelbagai prasangka. Lebih-lebih berbahaya serta menyedihkan, jika orang itu mau menajdi seniman! Teori-teorinya menjadi tali-temali yang menjeratnya seperti sarang laba-laba (spinneweb) menjerat lalat! Dan akhirnya kita lihat lalat itu tak berdaya sama sekali dan mati olehnya. Demikian kita saksikan pada S. Pardjo ini dengan sketsa-sketsanya: Suwandi dan Poniman. Garis-garisnya matematis a la Picasso sama sekali tak berbicara. Memang kita lihat rangkaan bentuk seorang pemain biola, tapi lebih dari itu pun tidak. Dan seorang anak barangkali akan dapat menggambar lebih menarik, dan sudah pasti lebih asli dan murni! Tak adalah pernyataan kehidupan yang diyakinkannya benar-benar, tak ada pernyataan haru yang bagi tiap-tiap seniman mestinya merupakan realitas, dengan mana ia tiada berpose, tetapi menunjukkan pertanggungan jawab yang serius. Mereka dengan mengingat pertanggungan jawab ini kita mesti menolak gambar-gambar semacam ini dengan keras!
Atas pertimbangan yang sama dengan ini saya pun tak mungkin menerima buah tangan Sumarjo: Keluargaku. Meskipun pada Sumarjo ada kelihatan jerih payahnya untuk mencapai apa yang dijadikan konsepsi olehnya. Kecintaan bekerja ini pun tidak kita lihat pada S. Pardjo.
Kalau Saudara Kusnadi tak suka teknik yang lemah, mengapa pula tiada disadarkannya itu waktu melihat Potretku oleh Sindusisworo? Visinya pun dangkal, dan lukisan ini hanyalah baik sebagai komposisi bercat di atas kanvas. Agak lebih menggerakkan hati adalah Potret Diri Hutimo. Tak saya sangkal bahwa ada pula ia memberi penghargaan, tapi lukisan ini belumlah patut kita banggakan. Kemenangannya disini ialah bahwa ia dengan sehat hendak mencari kemajuannya.
Agaknya Saudara beranggapan bahwa maksud saya ialah hendak mencaci atau menghapus belaka orang-orang yang tak dapat saya terima lukisannya itu. Mungkin di hati kecil Saudara menuduh saya melakukan groepsegoisme dan sebagainya, sebab ternyata karangan Saudara banyak mengandung sentimen terhadap diri saya. Saya tak heran akan hal itu, walaupun tak mungkin saya benarkan. Ini adalah salah satu manifestasi yang kurang menguntungkan dari revolusi kerohanian yang selalu beriringan dengan jenis-jenis revolusi lainnya yang kini baru saja dan sedang dialami oleh bangsa kita. Jalan mana yang Saudara tempuh, tentu saja terserah pada Saudara serta orang-orang yang Saudara bela itu. Tetapi seorang kritikus wajiblah mensinyalir tipe-tipe apa yang ada di masyarakat sekarang dan apakah latar belakang (background) penjiwaan mereka, bermaksud hendak membuka mata kaum sesama terhadap keadaan-keadaan kini serta manifestasi-manifestasi yang terbuka olehnya.
Jakarta, 19 April 1951
Trisno Sumardjo
Tentang Maksud Eksposisi Seni Rupa di Jogja
Eksposisi Seni Rupa di Jogja