EKSPOSISI SENI RUPA DI JOGJA

Sumber: Indonesia, No. 1-2, Tahun II, Januari-Februari 1951, hlm. 45-57.

Tiap-tiap usaha memperkenalkan sesuatu kepada khalayak tidak boleh tidak, mesti mengandung sedikit-banyak maksud atau tendensi, walaupun tendensi boleh dititikberatkan atau tidak, boleh mengedepankan cita seorang, segerombolan dan sealiran, boleh juga hanya memperlihatkan ke hadapan umum apa-apa yang ada di lingkungan masyarakat sendiri dalam kalangan kebudayaan.

Dalam garis terbesar ini kita harus menghargai usaha-usaha demikian itu, sedikit-sedikitnya sebagai usaha membuka mata orang banyak yang masih buta terhadap kebaikan atau keindahan di masyarakatnya sendiri, kebaikan atau keindahan yang tak jarang merupakan kebenaran terpendam, harta yang harus digali dan disajikan. Membuka mata dalam taraf pertama berarti pembuka akal terhadap harta kebatinan itu, pendidikan serta penjunjungan budi ke tingkat yang lebih luas dan lebih luhur.

Sudah sepantasnyalah instansi-instansi pemerintah menjadi salah satu pihak pertama yang memikulkan beban tugas itu ke atas pundaknya sendiri. Penghargaan pertama hendaknya kami artikan dari sudut ini. Lebih lanjut kita bertanya di dalam hati: Adakah dan sampai kemana hasilnya?

Kalau kita lihat apa yang disajikan dalam eksposisi seni rupa yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (Bagian Kesenian) di pendopo Sonobudoyo di Jogjakarta tanggal 15 sampai 25 Januari 1951 ini memanglah timbul kesan bahwa penyelenggaranya hendak memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

I. Apakah yang ada di lapangan seni rupa dalam masyarakat kita?
II. Apakah yang patut diketahui rakyat untuk pengetahuan serta pendidikannya?
III. Siapa-siapa telah muncul sebagai kepribadian yang telah mencapai kematangannya?
IV. Bibit-bibit apakah yang ada memberi pengharapan untuk hari kemudian?

Kalau kita masuk dalam ruangan eksposisi, pertama-tama nampak pada kita beberapa puluh gambar-gambar yang dibikin oleh anak-anak Sekolah Rakjat dari Pakem sampai berumur 13 tahun. Pendopo dibagi oleh dinding menjadi ruangan pertama ini dan ruangan lainnya yang jauh lebih besar. Di ruangan besar ini bergantung lukisan-lukisan yang oleh penyelenggara dianggap sebagai hasil-hasil yang boleh diketengahkan karena sudah “dewasa”. Kecuali itu ada pula beberapa patung sebagai bentuk-bentuk dekoratif, terutama di sudut-sudut. Kami tak dapat menyukai pemasangan patung-patung secara demikian ini, seperti orang memasang pot-pot bunga saja; sedangkan patung-patung itu dimaksudkan sebagai “werkstukken” tersendiri. Pun juga tak dapat kami setujui adanya gambar-gambar kanak-kanak dan gambar-gambar… “dewasa” digabungkan dalam satu seteleng; karena dengan sendirinya lainnya yang kita kehendaki dari kedua jenis tersebut, dengan kata-kata lain: kita mesti memakai dua ukuran. Keberatan ideologis ini ditambah pula dengan keberatan praktis, ialah dengan mengingat bahwa publik yang ideologis buta terhadap cabang kebudayaan ini dengan tiada tahu-menahu akan menarik garis pararel saja, tak sadar bahwa dalam hal ini orang harus memakai dua ukuran tadi. Dengan begitu segi pendidikan serta pengetahuan yang hendak dipaparkan itu menjadi kacau, sedikit-sedikitnya mengaburkan pemandangan khalayak.

***

Gambar-gambar kanak-kanak ini memberi kesan yang sangat baik, menggembirakan sekali jika kita lihat betapa besarnya bakat mereka untuk menggambar, rasa seni yang walaupun masih belum tersadarkan benar-benar, namun sangat bagus, jujur, murni dan nampak dikerjakan dengan penuh kecintaan. Dua reproduksi yang pertama-tama ini meyakinkan kita tentang harta terpendam dalam dada anak-anak kita, apa lagi kalau kita ingat bahwa anak-anak ini diambil dari satu dusun di antara berpuluh-puluh ribu. Tentu saja dalam diri mereka yang belum terbentuk wataknya itu kita tak hendak mencari sesuatu pengamatan, pemikiran ataupun penjiwaan seperti yang telah terbentuk dalam lukisan-lukisan yang “penuh”, “matang”, “berpribadi”, atau istilah-istilah apapun juga, seperti yang kita harapkan dari manusia dewasa.

Kita tahu bahwa anak-anak masih belum bisa sampai sebegitu jauh, pun kita maklum pula bahwa teknik melukis pada mereka masih dalam keadaan embrio. Yang penting ialah tanggapan sesuatu oleh perasaan mereka tentang apa yang dilihatnya, penginderaan yang disini bersentuhan dengan rasa seni. Anak-anak masih dalam taraf keheranan, belajar kenal dengan dunia di sekelilingnya, belum tahu apa hakekat itu semuanya, belum berfilsafat, tapi justru karena itu mereka dapat merasa dengan spontan, lebih dekat pada alam, lebih fitri, lebih bercerita tentang apa yang dilihatnya daripada memikirkan, merenungkan atau bersemedi tentang itu, jadi dengan sendirinya lebih terbuka terhadap apa yang masuk dalam dirinya, lebih cinta dan taat barangkali, hingga karena itu lebih jujur daripada banyak orang dewasa yang suka memperhitung-hitungkan segala soal-soalnya.

Oleh uraian di atas terurailah juga dengan tiada kami sengaja beberapa masalah yang dengan sendirinya ditimbulkan oleh keadaan eksposisi campur-baur ini. Dua soal terpenting ialah, pertama: Dapatkah sistem pendidikan dan pengajaran seperti yang dipergunakan kini di sekolah-sekolah kita menyuburkan bakat-bakat yang masih kuncup ini menjadi bunga-bunga dengan memupuk perkembangannya yang fitri? Kami khawatir, sistem sekolahan yang diantaranya masih banyak cara-cara dari zaman kolonial, akan menekan bakat-bakat itu oleh aturan-aturan serta dogma-dogma tradisional yang suka menyamaratakan saja. Banyak bakat-bakat menjadi rusak oleh ajaran teknik yang membangkang tegang, ajaran yang hendak memaksa calon-calon manusia menurutkan takaran, norma-norma yang diperintahkan oleh kaum pendidik yang tak pandai menyelami kekhususan watak dan pribadi masing-masing anak, tak tahu pula mana garis antara seni dan teknik, antara yang berseni dan hampa seni. Cukup banyaklah contoh-contoh di dalam praktek tentang bakat seorang anak yang dirusakkan oleh syarat-syarat perspektif, komposisi, gelap-terang, cara mencampur warna dan lain-lain sebagainya.

Baiklah Bagian Kesenian lain kali mengadakan seteleng gambar-gambar kanak-kanak melulu. Beratus-ratus buah dapat dikumpulkan dari seluruh Indonesia dan beribu-ribu yang sangat bagus! Setahu kami belum ada koleksi pemerintah, yang sebetulnya sangat mudah dikumpulkan ini. Tak ada jeleknya pula soal-soal di atas itu ditinjau, sedangkan mungkin juga diketemukan masalah-masalah pendidikan lain yang bersangkutan dengan ini.

Soal kedua yang menyolok mata ialah, betapa banyaknya persamaan gambar anak-anak ini dengan hasil-hasil para pelukis modern kita, bahkan dengan anak-anak Barat dan beberapa buah tangan para pelukis Eropa modern. Adakah suara manusia yang lebih asli daripada tangisan bayi yang pertama? Adakah cerita lebih murni daripada yang dikisahkan anak yang sedang heran? Maka jikalau ia telah menjadi seniman dewasa, telah sanggup mewujudkan haru-harunya di tengah-tengah alam tempat ia tumbuh itu dengan menciptakan buah seni yang matang, bukankah ia dalam mencari itu berhak menentukan coraknya sendiri yang bisa kita namakan corak Indonesia, dengan tiada menjadi anak Barat atau anak blasteran diantara dua benua? Dengan ini sampailah kita pada memberikan isi kepengertian seni yang universal, suatu kemenangan pribadi yang gilang-gemilang bagi penjiwaan kebudayaan baru.

Kami ucapkan selamat kepada yang mempunyai koleksi pertama gambar-gambar kanak-kanak ini.

***

Tentang patung-patung yang enam buah itu kami hendak bersingkat kata: Tak ada yang menarik, masih belum lepas dari bahan, belum merupakan patung sebagai buah seni, tapi masih batu (lempung). Hal ini tak mengherankan, karena patung-patung itu adalah eksperimen dari beberapa pelukis yang ikut berseteleng. Kami sayangkan bahwa hasil-hasil usaha yang belum matang itu ikut dipasang, tak menguntungkan suasana eksposisi, sampai terasa sebagai barang-barang kelebihan.

Mungkin keinginan hendak menjadikan apa yang ada di masyarakat telah menyebabkan adanya patung-patung itu disana. Tapi dalam hal ini kita harus tahu membatasi diri dengan hanya menghidangkan apa yang memenuhi syarat kesenian, dan bukan hasil-hasil percobaan yang belum merupakan buah seni yang bulat.

Gambar-gambar kanak-kanak, patung-patung, dan lukisan-lukisan adalah tiga kesatuan yang tidak bersatu dalam eksposisi ini. Ditambah pula dengan pemilihan lukisan-lukisan yang tidak seimbang dengan perbandingan tenaga-tenaga yang ada di masyarakat dalam lapangan seni lukis.

Sesuai dengan usaha hendak memberikan kesempatan sama rata kepada tiap-tiap tenaga yang hendak berkembang, kami tiadalah keberatan sama sekali, jikalau hasil-hasil para pelukis yang telah mendapat tempat atau pengakuan di masyarakat itu digantungkan berdampingan dengan hasil-hasil orang-orang lainnya yang sedang dalam taraf permulaan atau yang belum bulat-bulat mencapai apa yang dikejarnya. Maksud baik dari penyelenggara ini ingin kami hubungkan dengan pertanyaan, sampai kemana maksud itu tiba kepada pelaksanaannya.

Dari eksposisi yang tujuannya seluas ini kami harapkan cukup banyak buah-buah pelukis yang telah maju dan telah dengan tegas mempunyai peranan dalam perkembangan seni lukis Indonesia, meskipun peranan itu belum tentu disetujui oleh setiap orang. Yang penting ialah adanya seniman-seniman yang suka dengan nyata-nyata memperjuangkan cita-citanya, suka hidup dalam kesenimanan (kunstenaarschap). Tapi tak ada kita temukan lukisan-lukisan Hendra, Trubus, Harijadi —kemudian ternyata ada lukisan Harijadi dipasang sesudah kunjungan kami, Henk Ngantung, Surono, dan Sudibio, sedangkan dari Kartono S., Sudjojono, Oesman Effendi, Affandi, Sudarso, dan Zaini hanyalah kita jumpai masing-masing orang satu lukisan saja, sehingga kurang tercerminlah kekuatan mereka jika dibanding dengan orang-orang lainnya yang ada dipilih beberapa buah lukisannya.

Hal ini pun mungkin sekali bukan 100% kesalahan penyelenggara. Dari katalogusnya yang kecuali menyebut nama-nama pelukis-pelukis juga memuat nama perkumpulan-perkumpulan mereka (Pusat Tenaga Pelukis Indonesia, Gabungan Pelukis Indonesia, Seniman Indonesia Muda, Pelukis Rakjat, Artis Surakarta, Akademi Seni Rupa Indonesia, Pelukis Indonesia), sudahlah ternyata bahwa ada tujuannya ke arah yang kami maksud di atas. Mungkin sentimen-sentimen tak sehat yang merenggangkan aliran-aliran serta gerombolan-gerombolan di waktu ini telah menghambat penyelenggaraan yang lebih seksama. Kalau ini benar, sangatlah kami sesalkan, sebab sekali lagi terbukti dalam seteleng ini bahwa sentimen demikian itu hanyalah merugikan kepentingan nasional. Mungkin pula karena organisasi penyelenggara kurang rapi; dalam hal ini kami harapkan untuk lain kali persiapan yang lebih baik. Perlu juga ruangan seteleng diberi lampu lebih banyak.

***

Setelah tinjauan dari beberapa sudut di atas, tibalah kita pada hidangan terbesar dalam eksposisi ini.

Ibu Affandi dari taraf realismenya telah sering disetelengkan, salah satu hasilnya yang paling menarik. Tekniknya sempurna, sedangkan ia berhasil benar dalam mengemukakan kehidupan darah daging di bawah selubung kulit yang berkeriput-keriput.

Tarian Untuk Wishnu dari Agus Djaja berusaha menangkap suasana mistis dengan tubuh-tubuh yang hendak dibikinnya dengan warna-warna mutlak serta latar belakang yang samar-samar seperti dalam impian. Dengan tokoh penari-penarinya ada juga hasilnya, tapi pemain sulingnya keluar dari laras, karena meninggalkan suasana mistis tadi. Kedua lukisan lainnya: Adam dan Hawa dan Kuda Kepang tiada meyakinkan kita terhadap apa yang dikemukakannya, pelaksanaan cita jauh dari kemauan cita itu. Epik yang hendak dikejarnya disini tenggelam dalam ketegangan yang tak bergerak.

Lebih jujur adalah lirik Kartono Yudhokusumo dalam Rumah Halamanku nya. Tanggapannya unik, dengan cinta kasih terhadap alam yang dihadapinya, bercampur sekelumit humor. Sayang, terlalu diteriakkan warna-warnanya, hingga warna-warna itu ada yang mencekik tangkapan harunya, ada kalanya sampai kepada sifat dekoratif pada gambar-gambar fresco. Percampuran sifat fresco dengan sifat lukisan ini tidaklah mengapa, tapi ada bahayanya membawa pelukis kepada perataan dan metode.

Buah tangan isterinya, Nurnaningsih yang keluar dengan Rumahku, meskipun ada pengaruh juga dari Kartono, cukup menandakan keseniwatiannya sendiri. Penyelenggaraannya lebih cermat dengan perhatian besar pada barang-barang kecil, perspektif tidak terutama dicapainya dengan nuansa warna, tapi dengan gelap-terang. Memberi harapan baik, asalkan lepas dari kebekuan yang nampak di sini.

Kusnadi lebih mementingkan kebatinan daripada kelahiran. Psyche kanak-kanak dalam dua lukisannya dan tinjauan diri dalam potret dirinya berhembuskan nafas ketenangan jiwa. Dipakainya warna-warna yang hampir sama, mungkin karena ia merasa kuat disitu. Garis-garisnya halus. Hampir-hampir kewanitaan. Warna putih bajunya agak mengganggu. Lukisannya Anak-anak termasuk prestasi puncak dalam seteleng ini. Menyelami sesuatu yang abstrak adalah karakteristik dalam diri pelukis ini, meskipun banyak perhitungan dipakainya.

M. Lubis dengan Sarangan nya menghasilkan sesuatu yang bagus, spontan lagi tulen dengan tiada perhitungan, seperti yang kami sebut tentang gambar-gambar kanak-kanak. Warna-warnanya berat pekat, sesuai dengan suasana tamasya di pegunungan di bawah langit redup. Hanyalah kami inginkan lebih banyak perhatian pelukisnya terhadap langit itu yang disini agak mengambang karena kurang dihiraukannya. Walaupun tekniknya kurang baik, tapi lukisan seperti ini kami suka melihat lebih banyak lagi.

Sketsa-sketsa Moh. Hadi sama sekali kosong, tiada menggambarkan perasaan. Ada dikejarnya mencapai keindahan, tapi ia tak sampai ke sana, karena terlalu dibikin-bikin. Agak baik adalah lukisannya: Isteriku.

Ketiga buah kerja Nashar tiada mewakili kesanggupannya yang sebenarnya. Romantik dalam Menari terlalu manis untuk mendekati realitasnya sendiri. Disini dan dalam Potret Perempuan lebih diutamakannya soal mencari keindahan daripada mencapai kebenaran. Agak lebih bebas sapuan pensilnya dan wataknya sendiri dalam Potret Diri nya, tapi komposisinya tak mengenakan, sehingga lukisan terasa fragmentaris.

Otto Djaja menghidangkan tiga lukisan: dua di antaranya dari cat minyak: Taman Kanak-Kanak dan Perang Diponegoro, sama coraknya dan pemecahan soalnya, sehingga dari dua soal yang sangat berlainan ini tak nampak tercapai apa yang hendak diutamakannya. Ia gemar bermain-main dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berteriak-teriak, tapi ruwet orang mengikutinya. Kedua-duanya membingungkan seperti keadaan di pasar malam, gemerlapan lagi riuh sekali dari segala penjuru, tak ada pengikatnya, soal utama dan detail bercampur-aduk, sedangkan warna-warnanya di sana-sini memuakkan dan bentuk-bentuknya ceroboh (slordig).

Lain sekali halnya dengan aquarel nya Monacco! Sedap dipandang mata dan orang tak ragu-ragu akan kejujurannya. Meskipun banyak juga benda-bendanya (disini perahu-perahu di latar depan), tetapi tak ada keramaiannya seperti dalam kedua lukisannya yang lain itu, sebab telah terpadu dalam kesatuan harmonis, pun warna-warnanya tidak bertabrakan. Buat kesekian kalinya kami mendapat kesan bahwa Otto Djaja lebih kuat dalam aquarel nya daripada dalam cat minyak.

Diwaktu Sekaten oleh Rulijati menunjukkan adanya bakat, sungguhpun belum sempat terkembang, serta penangkapan suasana objeknya yang menyenangkan. Komposisinya unik dengan orang-orang di ruang muka, setengah siluet, setengah realistis, sampai ke ruangan lapangan Sekaten yang menjauh ke latar belakang, sebelah atas di lingkungi oleh pohon-pohon beringin yang rimbun. Tapi tentang melukiskan orang-orang, pohon-pohon, rumah-rumah, dan sebagainya itu masih banyak yang harus dipelajarinya, terutama teknis. Disini kelihatan sembrono, mungkin oleh pengaruh impresionisme yang belum disadarkannya fungsinya, sehingga Rulijati meggambar objek-objeknya itu dengan prasangka yang menggampangkan masalahnya. Menganggap segala sesuatu enak dan gampang saja adalah membahayakan!

Pandai menangkap suasana juga adalah Sholihin, dan lebih mau mendalam ke dalam struktur objek-objeknya. Misalnya tembok-tembok dalam Bali nya benar-benar masif: raut muka Dua Beradik kena pula pengutarannya. Lebih berhasil dari kedua lukisan ini dan dari Profil nya adalah Ida, yang menurut kami terbaik diantara buah-buah tangannya. Bakat serta kesungguhan hatinya terkumpul didalamnya, maka kedua hal inilah membuat kita ingin mengetahui perkembangannya yang lebih lanjut.

Wonosari dan Kaliurang oleh Rusli, selain merupakan eksperimen bagus sekali sebagai lukisan-lukisan cat air di atas kanvas, adalah pula puncak-puncak kesanggupan dari yang ada dalam seteleng ini. Bolehlah kita membicarakan bahwa Kaliurang mengingatkan kita kepada lukisan-lukisan Jepang, tapi ini bukan berarti bahwa Rusli terpengaruh oleh kesenian asing itu. Dia adalah pribadi tersendiri, kentara dari warna-warnanya, corak dan sapuan pensilnya, beserta tanggapan batin yang mendukung pekerjaannya. Tiap-tiap sapuan adalah identik dengan kesungguhan hati, sehingga ciptaan menjadi kebulatan yang tak dapat diragu-ragukan, kristalisasi pula dari penukikan ke dalam hakekat objek-objek yang direnungkannya lama-lama.

Sesongko keluar dengan dua lukisan, yang satu: Model dengan sapuan kuat-kuat lagi panjang-panjang merupakan hasil expressionistis yang sehat. Kesuburan perempuan yang digambarnya adalah realistis, meriah, segar-bugar, mengingatkan kepada kesuburan tanah air kita, dengan tiada keriahan hendak menjadikan modelnya sesuatu ideal; jujur dengan tiada pretensi sedikit pun.

Dalam lukisannya yang kedua: Anak-Anak Sapi, Sesongko agak menjunjungi diri dari realisme tadi ke arah alam idealisme dengan menggunakan warna-warna yang agak disamarkan. Lukisan-lukisan Sesongko adalah sederhana dan meyakinkan sekali.

Sjahri keluar antara lain dengan Orang Tidur. Yang kedua dan ketiga: Rumahku dan Perahu Layar adalah bagus sekali. Warna-warnanya meriah, kuat, terang, dan mengebat mata dengan sekaligus, tidak mengajak orang berbicara atau berfilsafat, tapi sebagai manusia yang tak suka menyembunyikan apa-apa Sjahri membuka dadanya, hingga siapa berhadapan dengan dia terpaksa diam. Sjahri adalah “een geboren schilder”.

Sudarso menghidangkan lukisan kecil Kalihitam, segar dan bagus.

Sudjojono mengirimkan pastel kecil Ramli, dari tahun 1940, jauh dari representatif, sama sekali tak membayangkan kesanggupannya yang sebenarnya.

Dua lukisan Sundoro ialah antara lain Alam, surealistis, mengemukakan penggenangan batin yang pekat. Kita dapat sekaligus merasakan keadaan batin sesak itu yang dilukiskan dengan semak-semak hijau, ke muka dibatasi oleh air parit keruh, dan di belakang oleh kaki langit yang suram. Walaupun orang boleh geleng kepala tentang benda-benda yang dipakainya untuk lambang-lambang ini, tapi tiada pula kita dapat menuduh pelukisnya melakukan exhibitionisme. Yang kedua: Ladang adalah realistis dengan tanah subur dan pohon-pohonnya rindang dibawah cahaya matahari yang terasa teriknya. Kedua-duanya berhasil baik.

Ketiga lukisan Suromo mempunyai corak-corak yang berlainan. Nampak kegiatannya untuk bereksperimen. Dua di antaranya: Rumahku dan Bengawan Solo, membawa kita ke alam romantik, dikerjakan dengan banyak sekali warna putih yang menyebabkan lukisannya meriah, mengambang sedikit, setengah main-main. Rumahku adalah yang terbagus dari ketiga-tiganya, abstrak dengan pemasangan motif-motif diluar hubungan sehari-hari. Latar depan di Bengawan Solo nampak kurang diperhatikan oleh pelukisnya, hingga terasa tidak selesai.

Yang ketiga Pulang, merupakan kontras dengan lain-lainnya, tekniknya pun berbeda, tidak lagi garis-garis cermat atau bidang-bidang warna yang lebar. Sayang, penyuraman warna disini tidak dapat menunaikan fungsinya sebagaimana dimaksudkan oleh pelukisnya.

Resobowo diwakili oleh tiga lukisan cat air: Prapat, Pemandangan I dan II, Oesman Effendi dan Zaini masing-masing oleh satu aquarel. Menilik kemajuan pelukis-pelukis ini maka hal demikian ini belum lagi representatif.

Oesman Effendi adalah pelukis Indonesia yang paling tidak dimengerti oleh orang Indonesia, justru karena ia membuka jalan baru dalam kebangunan, kesadaran serta keragaman baru, antara lain dengan lukisan-lukisan abstraknya semacam yang dipertunjukkan disini. Lukisan Kampung ini terang bagaikan gelas, tinjauan atas ruangan dan waktu yang membujur tak terbatas bagi manusia universal.

Keluasan ruang ini pun menjadi sasaran utama dalam lukisan Zaini Prapat, digambarkan dengan sangat sederhana, baik dalam hal komposisi, maupun warna dan sapuan yang dihemat-hematkan dengan berhasil bagus.

Dari Trisno Sumardjo ada satu aquarel expressionistis Rumah Pertemuan.

Lukisan-lukisan lainnya (dalam karangan ini kami sebut semua lukisan) adalah dari Djajengasmoro, Ali; Handrijo, Muara; Hutomo, Ibu, Potretku, dan Tamansari; Jusky, Kaliulang I dan II; Nasjah, Potret Diri; Oei Tiang Oen, Saudaraku; Saptoto, Saptoto, Djokja Dalam Pendudukan dan Bunga; Sindusisworo, Potretku dan Sekar Suwun; Sumitro, Mega, Potret Diri, dan Aku Bertopi Badja; S. Pardjo, Poniman dan Suwandi dan sketsa-sketsa; Sutiksno, Mukaku dan Si Teo; Sumarjo, Malioboro dan Keluargaku; Indrosugondo, Semingin; Nur Brahimsa, Beladjar Memanah; kesemuanya tak meyakinkan, dan karenanya tak usah dibicarakan satu demi satu.

Hanya beberapa hal yang menyolok mata hendak kami singgung disini, Saptoto masih belum lepas dari cat, sehingga apa yang dihasilkannya ini belum berhak mendapat predikat lukisan, meskipun dengan Djokja Dalam Pendudukan nya ia meniru-niru deformasi a la Picasso.

Persangkaan bahwa orang bisa menjadi pelukis modern dengan hanya mengubah dan merusak bentuk-bentuk saja adalah penyesatan yang membahayakan.

Sketsa-sketsa S. Pardjo adalah kosong semata-mata, ternyata bahwa dengan meniru garis-garis a la Picasso ia pun menyangka akan sampai pada jiwa Picasso atau jiwa modernisme pada umumnya, tetapi hasilnya hanya imitasi yang tak bermakna, tak berpangkal pada jiwa pribadi dan karenanya tak hidup.

Hasil Nur Brahimsa adalah contoh “kesenian” steril yang tak tahu jalan lagi dan yang harus kita buang. Mulai dengan “kesenian” semacam ini adalah sama dengan mulai dengan mati, sama sekali tak tahu starting-point angkatan baru, sama sekali tak mengacuhkan kebangunan bangsa kita semenjak Revolusi dan semenjak 1900 pada umumnya. Beladjar Memanah ini anyir rasanya, tidak berdarah, seperti manusia dekaden dari taraf feodal yang lampau. Keadaan jiwa demikian ini sudah tak mempunyai hak hidup lagi di zaman sekarang. Sesuai dengan sifat dekaden tadi adalah keinginannya pada yang manis-manis belaka, bahkan menggambarkan Arjuna yang dianggap pahlawan ulung itu, lahir batin seperti wanita yang lemah belaka. Tambahan pula tak ada kesatuan antara kedua tokoh dan latar belakangnya, pun cara menggambarkan tokoh-tokoh itu bagi Nur Brahimsa telah menjadi metodik yang bisa dicetaknya berulang-ulang, sedangkan bagi seniman sejati tiap-tiap buah kerjanya adalah perjuangan tersendiri yang harus dimulai dari permulaan.

Alhasil eksposisi ini kurang memuaskan, sifatnya terlalu campur baur, hingga tiada tegaslah maksud penyelenggara. Jika benar maksudnya seperti yang kami paparkan dipermulaan karangan ini, maka eksposisi boleh dikatakan gagal. Jika lain kali ada dimaksudkan eksposisi nasional (?) seperti ini lagi, hendaknya hanya dipilih lukisan-lukisan yang benar-benar merupakan prestasi-prestasi!

Demikianlah kesan dan harapan kami dan semoga karangan ini tidak dijadikan sumber sentimen yang tidak kami inginkan. Manusia yang berhati lapang haruslah tahan kritik.

Jakarta, 29 Januari 1951

Tentang Maksud Eksposisi Seni Rupa di Jogja
Catatan [Tanggapan Terhadap Tulisan Kusnadi]


Monacco, Otto Djaja


Wonosari, Rusli


Kaliurang, Rusli