Sumber: Indonesia, No. 5, Tahun II, Mei 1951, hlm. 32-42.
Sebelum negara kita mempunyai gedung-gedung museum lukisan dan pahatan, yang sehari-hari dapat memberi kesempatan luas bagi umum yang ingin melihat hingga dapat memetik sari-sari ciptaan jiwa seni Indonesia yang sudah menyempurna atau telah cukup mendewasa, patut sudah terpilih dan kita pandang sebagai standar cita-cita seni bangsa, juga sebelum bangsa Indonesia dapat menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab sendiri tentang ilmu-ilmu keindahan pada umumnya dan tentang seni rupanya yang sedang tumbuh dengan kuatnya, disertai reproduksi yang terang, besar dan berwarna (tak cukup kiranya dengan yang sudah-sudah, hitam-putih, berformat kecil, dan kurang terang), sebelum itu, eksposisi-eksposisi semacam yang baru-baru ini, tanggal 15 sampai dengan 25 Januari 1951 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bertempat di pendopo Sonobudoyo Jogja, hampir-hampir saja menjadi satu-satunya usaha dalam pendidikan seni rupa kepada umum, bahkan satu-satunya cara yang dapat nyata guna dalam meringankan kebutuhan yang ada pada umum, yang kurang sekali mendapat kesempatan menengok hasil-hasil seni bangsanya.
Dan dalam eksposisi-eksposisi semacam tersebut, nampaklah dengan jelasnya juga selalu, betapa kangennya atau kerinduannya umum dalam menyaksikan tiap hasil ciptaan baru yang sedia dipandang.
Tentang maksud, dasar maupun tujuan eksposisi seni rupa yang baru-baru itu di Jogja, dengan mempertunjukkan 71 buah hasil 40 pelukis-pelukis Indonesia, yang sayang sekali tak dapat ditambah dengan beberapa yang berhalangan menyetelengkan buah lukisan jiwanya, adalah yang pertama-tama saja —sebaliknya— atau kontras sebesar-besarnya dari dasar maupun tujuan eksposisi 8 pelukis Indonesia yang baru-baru di… Amsterdam.
Sebelum kami akan menerangkan lebih lanjut, kami ucapkan sebuah duka cita kepada Saudara kritikus yang tak dapat menulis tentang koleksi istimewa dari Saudara Zaini dan Oesman Effendi, sebagai 2 pelukis muda Indonesia yang baru-baru ternyata lebih mementingkan pengiriman buah jiwanya ke luar negeri, negeri Belanda itu, dari mengirimkannya ke eksposisi Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan atau “Nasional” menurut istilah yang dipilih Saudara kritikus, di Jogja.
Koleksi Zaini atau Oesman Effendi yang sangat kami cintai sebagai hasil-hasil pikiran dan rasa, pencarian (zoeken) sehari-hari dari dua pemuda Indonesia yang jauh dari terbelakang (achterlijk) dalam mengutarakan seni garis-garis (Oesman) dan seni warna-warna pula (Zaini) mengapa dikirim ke luar… sebelum dapat dilihat karena terjadi bagi… bangsanya? “Ultra-internasionalisme-universalisme,” kalau tidak ke… Amsterdam.
Sudah tentunya 2 pelukis muda kita menjadi kurang representatif dalam eksposisi kita itu, tapi sudah dubbel terang akan sebab-sebabnya, sekalipun tak dikemukakan kritikus, hal yang patut diketahui umum kiranya, sesuai dengan istilah “Nasional” yang dipilih kritikus bagi eksposisi Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Eksposisi tanggal 15-25 Januari 1951 adalah eksposisi pertama di Jogja, dimana umum dapat menyaksikan pertumbuhan yang seksama di 3 tempat di Indonesia, Jogja-Solo-Jakarta, sebagai kota-kota yang tersubur bagi pertumbuhan seni lukis kita yang muda. Dan sekalipun belum sempurna-lengkap usaha kita yang pertama ini, dengan berhalangannya beberapa pelukis, bersangkutan juga dengan misalnya:
a. Tempo yang sudah dipastikan, sekalipun diundur.
b. Maupun anggaran belanja yang sudah dipastikan pula, menjadi zakelijk, terbatas atau… kurang “mat-matan” (term yang asli untuk usaha membangun maupun menikmatkan hasil seni secara sempurna).
Zakelijkheid menjadi lebih penting, karena dipikirkan: sebaiknya juga, tiap tahun perlu diadakannya eksposisi kolektif dan perlu sekali pula tidak di Jogja saja, atau di Jakarta saja, tapi di beberapa tempat lainnya di Indonesia juga, sebagai eksposisi kesatuan dengan 1001 kesukarannya tapi pula 1002 kebahagiaannya tentang dapat diadakannya eksposisi yang bersifat kolektif oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan guna menyambut kebangunan jiwa generasi muda pada umumnya, disamping eksposisi perkumpulan-perkumpulan yang butuh memperlihatkan aliran masing-masing dan warna jiwanya.
Hasil-hasil pertunjukan
Pertunjukan dikunjungi oleh tua atau muda, yang terpelajar dan rakyat jelata, pelukis-pelukis dan pelajar seni, sebagai hal yang tak asing pada tiap eksposisi yang diadakan di Jogja, tapi kali itu tak sedikit mengurangi dan tetap mengharukan maupun memberi kebahagiaan pada siapa saja yang menyaksikan… hasil seni muda kita, dikerumuni minat belajar yang demi hari makin besarnya, dari bangsa yang sudah merdeka dan… bangsa yang baru-baru saja dapat merebut kemerdekaannya. Diantaranya beratus-ratus anak Sekolah Rakjat, Sekolah Menengah, Sekolah Menengah Atas, berpuluh-puluh mahasiswa, pelukis dan tak kurang pelajar-pelajar seni sendiri.
Dari Jakarta nampak kritikus sendiri, Zaini dan Wakidjan.
Saudara Hendra yang dalam eksposisi ini berhalang menyetelengkan lukisannya, disebabkan belum sedia menurut sebuah keterangannya, menyumbangkan ± 35 lukisan minyak cat anak-anak Sekolah Rakjat Pakem (yang turut Latihan Pelukis Rakjat), yang dalam eksposisi ini merupakan satu ruang seni tersendiri dan brilian, sangat meriahnya pula.
Sebaliknya, diadakannya perbandingan antara ruang seni anak-anak dan sebuah ruang besar pelukis-pelukis, tak dapat diterima kritikus sebagai buah pendidikan yang harmonis, disayangkan sebagai buah keberatan yang dipikulkan pada publik, praktis maupun ideologis, karena dipaksakan padanya pemakaian 2 macam kacamata, yang diperlukan publik yang akan mempelajari 2 nilai seni.
Keberatan kritikus yang bersifat hendak membela publik maupun lancarnya pendidikan, tak kami sangkal sebagai sebuah kebenaran, hanya kami sangkal sebagai kebenaran yang mutlak, sebab sudah terpisahnya ruang.
Ditambah lagi dengan kenyataan-kenyataan yang memberi perspektif-perspektif bagi umum yang cukup memperhatikan perbandingan, bagi guru-guru sekolah yang mau meninjaunya, maupun bagi pelukis dan pelajar-pelajar seni yang sekarang lebih nyata melihat perbedaan-perbedaan maupun persamaan-persamaannya, dan dengan gambaran yang tak sadar (onbewust) atau lebih sadar (bewust) dibawanya untuk kritikus pula, hilanglah kiranya keberatan yang masih mungkin juga ada, dibandingkan dan ditimbang dengan hasil-hasil.
Marilah kita meninjau bersama pula, pernyataan (opmerking) kritikus tentang adanya banyak persamaan yang bersifat menyolok mata menurut kritikus atau agak mengagetkan kritikus, antara:
I. Lukisan anak kita dengan pelukis-pelukis modern kita.
II. Bahkan persamaan lukisan-lukisan anak-anak kita dengan lukisan anak Barat (mengapa bahkan).
Dan.
III. Tentang persamaannya pula dengan beberapa buah tangan pelukis Eropa modern (lebih terang kiranya pelukis modern Barat).
Persamaan antara lukisan anak-anak kita dengan anak-anak Barat baik kita tinjau dulu untuk mudahnya:
a. Disebabkan persamaan impulsif jiwa, spontan perbuatan, maupun primitif teknik lukisan anak-anak dimana saja pada garis besarnya.
b. Ditambah lagi, ajakan berpikir logis kemudian lebih eksak sesudah mulai masuk sekolah (kadang-kadang sudah sebelum sekolah) pada anak-anak kita juga.
c. Tak ada ajakan lagi melukis wanda (karakterisering) wayang misalnya pada anak-anak kita.
d. Ketarik melihat alam secara realistis, karena adanya potret, foto-foto dan film, maupun melihat lukisan pelukis dewasa, sekalipun “in idee”, dari anak-anak kita.
Persamaan antara lukisan anak-anak kita dengan pelukis modern Barat, disebabkan:
a. Ajaran naturalisme yang dijauhi dalam mencipta lukisan modern pada garis besarnya (dengan kekecualian).
b. Banyaknya pelukis modern Barat dalam mengambil suatu keindahan seni-seni primitif, sedang mulai impresionisme sudah banyak mengambil bahan-bahan Timur (dengan meninggalkan anatomis perspektive juistheid).
c. Pelukis modern Barat pula sumber cinta sifat kejiwaan anak yang natural-naif itu, hingga batas seni anak-anak maupun seni modern Barat menjadi sama: Naturalisme yang penuh teknik pada singkatnya.
Tentang persamaan antara lukisan anak-anak kita dengan pelukis modern kita, disebabkan hal yang hampir sama kiranya, seperti yang baru tersebut di atas, tapi dengan penuh perbedaan pula, misalnya: bahwa arti modern bagi Zaini masih beda juga dengan artinya bagi Resobowo dan lain-lain. Beda bagi S. Sudjojono atau bagi Trisno Sumardjo dan mungkin tak sama pula bagi kami artinya “modern” di dalam segi seni lukis Indonesia atau pada umumnya, sebab yang sudah kami lihat saja: adanya perbedaan-perbedaan ideal (jiwa), dasar melukis (teknik, pengalaman) maupun tujuan (perjuangan ke muka).
Tentang yang teknik saja: sampai mana pentingnya teknik naturalisme dan tidaknya, sebagai dasar melukis menjadi pertanyaan orang bingung dan terjawab kalau tidak bingung.
Kami sesalkan misalnya seni Resobowo, sebab kurang teknik untuk kemajuannya yang sungguh-sungguh (stabil), kemudian untuk kesempurnaannya (esensial).
Sampai mana ia modern dan apakah ia setuju dengan penyesalan kami?
Oesman Effendi sendiri sangat “spekulerend” dalam teknik. Sampai mana ia modern?
Apakah ia akan setuju dengan penjelasan kami? Manakah batas dalam kejujuran hati? (waar is de grens in de eerlijkheid? Meerdere verplichting?)
Saudara Zaini adalah penyair (‘n dichter), dengan penuh dasar atau bakat teknik, selainnya irama. Tapi kekurangan dalam sebuah kebulatan hormat diri (zelfrespect), meskipun sedikit.
Sampai manakah ia modern? Apakah jiwa modernis itu “yang sekenanya”, dengan tiada tanggung jawab selanjutnya? (zonder meerdere verplichting?)
Tentang Saudara Trisno Sumardjo sendiri, atau kritikus muda kita, penerangan jiwa kami harus kami tajamkan, hanya dibatasi dengan zakelijkheid:
Sampai mana ia seorang modernis untuk dapat mengukur-ukur seni-seni yang tumbuh sekelilingnya.
Kalau Saudara Sumardjo sendiri teknik lemah sebagai pelukis, apakah kiranya akan suka lahirnya kesenian di Indonesia yang teknik akan kuat juga?
Sebab tinjauannya kepada S. Sudjojono dengan lukisannya dalam eksposisi Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan tidak menyinggung teknik, ketepatan potret Ramli. Tentunya kurang bangga atau suka pada Titian dan Tiongkok atau Jepang dan seni wanda wayang, yang kesemuanya berdasarkan pada teknik yang sempurna selain karakteristik.
Kami takut bahwa modern baginya adalah vorm (bentuk) yang kurang grondig.
Sebab: seorang modernis yang cinta kesempurnaan, tidak mudah congkak, penuh kritik diri (zelfkritiek).
Cobalah sekali-sekali Saudara Trisno meninjau lukisan-lukisannya sendiri satu demi satu dan satu yang dikirimkan dalam eksposisi kita. Kalau Saudara Trisno sendiri sudah mulai berkata dengan: teknik zwak, tidakkah Saudara akan lebih membantu umum dan penyelenggara dengan sebuah tulisannya saja, dan tak memasang lukisan Rumah Pertemuan?
Sebab dengan perbuatan ini, kritik seni kehilangan pokok perimbangan batin, sungguh seperti pohon atau gunung, andaikata dapat mengeritik perbuatan-perbuatan pelukis, tentunya tak disertai kritik diri sebab: pohon atau gunung tak melukis.
Lukisan Trisno Sumardjo Rumah Pertemuan, isinya pun juga lemah.
Kesimpulan
Berdasarkan kekurangan kritik diri (gebrek aan zelfkritiek) ini, kami lebih mendapat gambaran yang jelas lagi tentang yang diartikan seni, nasional, pendidikan, dan kritik seni bagi Saudara Trisno Sumardjo itu, ialah yang kurang isi, gaya terutama, pura-pura tulen (quasi echt)!
Dimana perlu diambilnya dari kiri-kanan atau… buku. Kurang sekali sebagai keyakinan diri.
Tentang patung-patung yang turut dipasang
Sekalipun kritikus belum memandangnya sebagai ciptaan, kami sertakan dengan tulisan ini dua buah foto yang mentah-mentah menyangkal kejujuran peninjau dalam melihat patung.
Dan kepada tiap pelukis yang mendapat celaan yang kurang perimbangan, kami minta perhatian kritikus yang lebih mendalam.
I. Tidakkah Potret Diri Nasjah lebih real, dari lukisan sekalipun dari kawan kritikus O. Effendi dengan “gunungnya yang miring”? Menjadi contoh mengukur hasil seni dengan kecepatan kejiwaan purbasangka atau “vooroordeel”.
II. Lukisan Oei Tiang Oen penuh sapuan lancar, satu tanda kemurnian lukisan yang bukan: akal-akalan saja.
III. Potret Diri Sindusisworo pun bukan “uit de duim gezogen” atau fantasi tapi penuh cinta realitas yang terlukis didalamnya.
IV. Lukisan Sumarjo contoh seni disertai inteligensia, hingga tak penting bagi mereka yang sukar ketawa kalau sedang berpikir (orang bodoh).
V. Pemuda-pemuda Hutomo, Jusky, Tiksno, Handrijo lebih terus terang dari lukisan kritikus Rumah Pertemuan.
VI. S. Pardjo bukan pencontoh Picasso dengan melukiskan 2 musisi kita secara karikatural. Jiwa 1/3 mesin dalam violis Suwandi dapat terlukis dan tipe anatomi Poniman tak tergeser karenanya yang meskipun tinggi, tidak megah. Mengukur seni dari sebuah lukisan dengan kagum “wèl-wèlan” seni Picasso adalah jika boleh meminjam ide dalam istilah kritikus, ialah: “lahir dengan sudah mati”.
Tak dapat disangkal masih banyaknya sifat rendah, egosentrisme yang penuh keserakahan, maupun rasa rendah dari kaum modern diluar dan dalam kalangan seni kita, yang kurang memandang hidup lebih jauh… ke muka!
Hingga misalnya: pandangan dibatasi oleh nama-nama Picasso dan yang modern lainnya. Tentunya menganggap dirinya kolot, tak disengajanya, zonder dikatakannya “kurang open-kaart”.
Tentang soal naturalistis teknik, Yunani lah ayahnya!
Tentang dekoratif, maka Timur!
Tentang impresionisme, Tiongkok-Jepang, kemudian Prancis.
Dan Indonesia?
Indonesia sebagai pencipta kehalusan profil jiwa-jiwa yang membentuk sejarah seni lukis wayang, adalah “lananging jagad”, satu-satunya pahlawan di dunia manusia.
Dan mulai tipe jiwa manusia yang pertama hingga Trisno Sumardjo sudah terlukis didalamnya!
Mengapa Saudara dibatasi yang modern? Yang belajar dari:
1. Yunani (tak dapat disangkal),
2. Kaum impresionis,
3. Kaum Primitif,
4. Anak-anak?
Mengapa kita tak dapat belajar dan tak mau mulai belajar sungguh-sungguh dari semua itu dan meninggi?
Yang kami maksud meninggi, ialah memperoleh jiwa yang memuncak, tidak rendah (2e rang).
Paris menjadi Mekah pelukis, tentunya tidak karena jiwanya yang suka merendah. Pun Indonesia di Timur dapat, jika kita mulai dengan lahir… tapi tidak dengan mati (istilah kritikus). Kami kira bahwa kita harus belajar dari siapa saja yang penting isi hatinya dan… alam. Eropa modern saja, penuh dekadensi. Tapi jiwa yang teliti dimana saja, jauh dari pamrih populer, lebih dekat pada seni.
Selain kompleks yang harus dilepaskan oleh “wie de schoen maar past”, kami berterima kasih atas tulisan kritikus yang membawa kami menulis ini, membersihkan kandungan yang penuh simpanan, diantaranya pertanyaan: Mengapa sekarang masih ada seniman juga yang “nyletukis” dalam terminologi kami, untuk “beeldplastik” atau perwujudan seorang seniman yang memilih jalan yang rendah sekali dalam usahanya mencapai cita-citanya yang dilahirkan tanah airnya dan hidup di tengah-tengah manusia?
Sebaliknya, kepada tiap kebenaran yang tak kami sangkal, berupa penghargaan atau sekalipun 1/4 tamparan bagi yang harus menerimanya, maka kami tak lupa mengucapkan penghargaan yang sebesar-besarnya pula. Yang sudah bukti lagi ialah: bahwa diri kritikus tidak turut menjadi seorang “ya-broer” atau “pendiam” semata-mata, selalu berusaha memandang pertumbuhan-pertumbuhan seni bangsanya, diantaranya dalam usaha Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan tanggal 15 Januari 1951 dengan tulisan-tulisannya.
Kemudian kami mempunyai keyakinan, bahwa sebuah kritik diucapkan hati manusia yang bercita-cita kebaikan kawannya.
Hendaklah jiwa dalam tulisan ini diterima kritikus sebagai koreksi dalam hidup kebatinan kritikus, yang masih perlu diubah kiranya selaku hakim modern yang patut cinta keadilan maupun kesempurnaan pula dalam menerangi tiap hasil seni kawannya yang tumbuh sekeliling.
Semoga sejarah kritik yang sebenarnya dapat dimulai di Indonesia, dalam tulisan-tulisan kritikus Trisno Sumardjo selanjutnya.
Jogjakarta, 19 Maret 1951
Catatan [Tanggapan Terhadap Tulisan Kusnadi]
Eksposisi Seni Rupa di Jogja
Rumah Pertemuan, Trisno Sumardjo
Keluargaku, Sumardjo
Adikku, Sumitro
Aku, Sjolihin
Poniman, S. Pardjo
Suwandi, S. Pardjo