SETELENG SENI LUKIS DI TAMAN SISWA

Sumber: Pudjangga Baru, No. 3, Tahun XI, September 1949, hlm. 76-78.

18 September 1949 telah berlalu, yaitu hari penutupan pertunjukan seni lukis memperingati 20 tahun berdirinya Taman Siswa Jakarta. Tetapi kesan dari pertunjukan yang dimulai sejak tanggal 11 September ini, bagi tiap pengunjung akan tetap bersemi dalam ingatan. Akan jadi suatu kontak ingatan (assosiatie) yang akan merangkaikan pikiran kita pada waktu yang akan datang dengan waktu yang sekarang dan seteleng-seteleng yang telah lalu. Maka tercapailah suatu efek yang tepat hingga angkatan seni lukis dapat menguasai pikiran umum dari masa ke masa. Dapatlah kita merasakan betapa pentingnya seteleng ini diadakan selalu, apalagi bila dapat berkeliling, tidak hanya setempat-setempat saja.

Pada seteleng sekali ini lukisan-lukisan telah dipilih. Artinya sifat seteleng sekali ini pemilihannya lebih stréng daripada seteleng-seteleng tahun yang lalu yang diadakan di Taman Siswa ini juga. Memang bagi umum agaknya akan terasa kurang meriah seperti pertunjukan tahun yang lalu itu yang bersuasana segala rupa. Sekali ini lebih tenang dan memaksa pengunjung-pengunjung mengernyitkan alisnya. Hanya dapat tersenyum ketika berhadapan dengan lukisan saudara Slamet G.A. Sukirno (Pemandangan) atau Tan Sun Kiong dengan Djambu nya. Akan tetapi bagi pengunjung yang benar-benar hendak melihat nilai seni lukis dan kemajuan-kemajuan pelukis-pelukis Indonesia dan Sin Ming Hui, pertunjukan sekali ini meminta tinjauan yang dalam dan tepat. Amat dibutuhkan kehadiran dalam suasana dan pengenalan yang dekat dengan langkah-langkah seni lukis di Indonesia ini sejak mulai berkembangnya.

Ketegapan-ketegapan gaya dan corak dari S. Sudjojono, Affandi, dan Salim, dapat kita menentukan suatu kesimpulan dalam mengadakan perbandingan-perbandingan penyelidikan. Buah tangan dari ketiga pelukis ini telah dapat membuktikan bayangan dari ukuran seni lukis Indonesia, yaitu termasuk kaliber besar! Dan kemajuan-kemajuan pada pelukis-pelukis yang muda banyak sekali terdapat. Ketegangan-ketegangan corak yang konvensional telah banyak yang terlepas. Telah kelihatan kesadaran akan arti seni lukis. Pelukis Hendra dengan lukisannya Kakiku Sakit, telah tampil dengan pribadi lukisan yang berharga. Gaya yang impresionis dan hidup dapat menguasai seluruh lukisan itu. Penggabungan antara serba warna mengikat sasaran, menciptakan pengertian pandangan yang impresionis.

Lukisan no. 38 Membatja buah tangan pelukis Barli, suatu hasil seni yang sempurna juga. Ketegasan-ketegasan garis yang berdasar pada pengertian teori dan watak objek dapat dirasakan. Amat berbeda atau terasa kekecewaan bila kita melihat pada lukisan no. 14, 15, 16, 17 dari pelukis Zaini. Hakekat yang expressionistis diolah dengan kehampaan yang tidak ikhlas. Meskipun keutamaan rasa (zelfgevoelde) yang dipakai dasar, tetapi kenyataan rasa yang kurang mendapat cernaan yang luas dan lengkap tak sanggup untuk mencapai pelaksanaan yang berwujud.

Pelukis Kerton menyuguhkan Gereja dan Gadis Indonesia yang sebenarnya masih lemah terbanding dengan sketsanya yang mahir. Konsekuensi sketsanya tidak terpenuhi oleh lukisan cat minyak dan cat airnya. Tetapi pada kemampuan gaya dan komposisi yang sempurna, Saudara Kerton akan dapat mengatasi kemunduran dari beberapa tingkat yang telah diperolehnya beberapa waktu yang lalu.

Lukisan no. 41, 42, 43, dari pelukis Sjahri mengemukakan hasil studi yang banyak kemajuannya. Bidang-bidang terisi dengan warna-warna yang meriah dan ikhlas. Meskipun kesederhanaan dalam pandangan pengertian hakekat benda masih terlihat, tetapi kekuatan hakekat gaya dan coraknya adalah suatu bayangan kemajuan yang menggembirakan.

Dalam beberapa pertentangan aliran pikiran dewasa ini, antara realisme dan romantik dan sebagainya, kita melihat buah tangan dua pelukis muda S. Harto dan Nasjah. Kedua-duanya kelihatan berhakekat idealis. Dalam pertentangan pikiran dari aliran seni sastra yang sebenarnya problem setelengnya tentu tidak bersamaan dengan seni lukis, tetapi wujud tentu ada pada garis yang sama. Artinya masyarakat kita pada waktu ini tidak dapat diberi suatu hasil kebudayaan yang hanya suatu sensasi saja suatu perbuatan rendah dari pandangan yang dangkal dan malas. Dalam kalangan seni lukis yang terlibat pula dari pertentangan-pertentangan aliran ini, kedua pelukis ini hendaknya dapat konsekuen dan mempertahankan sampai kemana kebenaran-kebenaran yang terkandung didalamnya untuk menghantam paham-paham yang hanya ingin mengadakan sensasi saja. Untuk ini perlulah kesadaran atas hakekat diri sendiri dan memperkuat perlawanan terhadap pengaruh yang mengaburkan corak pribadi yang telah ada. Maka disinilah akan terletak kesendirian pelukisnya yang mungkin mencapai kebesarannya pula.

Dari lukisan yang dikirim oleh Sin Ming Hui, kita melihat hasil-hasil latihan yang sempurna dan teliti. Kemajuan-kemajuan visi masih kurang kelihatan. Corak pada umumnya naruslistis.

Pelukis Go Beng Wie dan Lee Siang Yoen menyuguhkan lukisan-lukisan yang mempunyai suasana lain dari lukisan-lukisan lainnya. Penseel voering nya tegap mengisi bidang-bidang dengan warna-warna dan mewujudkan gaya pribadi yang kuat. Juga pelukis Liu Mei Yung dengan Selendang Putih nya. Tumpukan-tumpukan warnanya membentuk wujud lukisan yang hidup dan bergerak. Pengertian hidup jujur dalam memandang bentuk objek diolah oleh warna yang kaya dan berani. Kita merasa bangga dari goodwill angkatan seni lukis Tionghoa ini. Hanya sayang buah tangan dari Saudara Siauw Tik Kwie dan Saudara Wen Peor tidak ada. Tetapi semua lukisan yang dikirim ini cukup memuaskan dalam arti goodwill. Tetapi secara obyektif kita mengatakan kalau didasarkan kepada penyaringan yang keras, masih ada lukisan dari Gabungan Pelukis Indonesia yang diafkir lebih baik dari salah satu lukisan dari S.M.H. ini. Ucapan yang agak keras ini rasanya perlu juga untuk diketahui oleh kedua pihak dan memecahkan teka-teki yang terkandung dalam hati para pengunjung. Yaitu mereka yang menghubungkan lukisan-lukisan pada pertunjukan tahun yang lalu dan yang sekarang ini.

Demikian kesan-kesan dari seteleng sekali ini, yang sebenarnya adalah sebagai tuntutan umum yang dikupas dari dekat.

Mudah-mudahan pembaca hendaknya membuat suatu kesimpulan dan pandangan sendiri dari tulisan singkat ini.

Seteleng Seni Lukis di Taman Siswa, 11-18 September 1949, Seteleng Tidak Berwatak