Sumber: Indonesia, No. 9, Tahun I, Oktober 1949, hlm. 515-518.
Sesudah tiga kali di kota Jakarta ini diadakan seteleng, yang pertama diselenggarakan oleh Gelanggang di Hotel Des Indes, yang kedua dan ketiga di sekolah Taman Siswa, belum juga kita ketemukan seteleng yang berwatak, sekurang-kurangnya seteleng yang konsekuen terhadap perjuangan dalam seni lukis Indonesia. Keinginan melihat seteleng yang berwatak timbul dari penghargaan dan dari keyakinan bahwa dalam alam seni lukis Indonesia ada perjuangan yang benar-benar hidup. Bahwa pelukis-pelukis itu bukanlah terdiri dari orang pengangguran yang malas, anak-anak yang cuma suka main-main atau jadi kalap sama cat. Bahwa dalam alam seni lukis Indonesia memang ada pribadi-pribadi yang berjuang, manusia-manusia yang berani menyambut hidup ini dengan ke lapangan jiwa, jadi bukan manusia kebanyakan, tetapi biasa, malah sederhana. Singkatnya orang-orang yang berarti bagi hidup kita, terutama karena pribadinya.
Karena keyakinan yang di atas ini, kita merasa kecewa belum bisa ketemu dengan seteleng yang berwatak, atau seteleng yang dapat memberikan gambaran yang jernih tentang perjuangan seni lukis Indonesia. Kita terpaksa harus menarik konklusi, bahwa penghargaan para pelukis kita kepada ruang seteleng belum sama dengan kebutuhan mereka kepada linen (kanvas) untuk menjelmakan diri. Seteleng masih dianggap sebagai kesempatan untuk menggantungkan lukisan-lukisan saja, belum jadi satu kesempatan untuk membawa muka yang berkepala satu ke tengah masyarakat, yang masih pasif terhadap soal seni lukis. Pribadi, corak dan aliran belum keluar dengan jernih, karena itu seteleng masih merupakan gambaran yang kabur (baca teraduk) tentang seni lukis Indonesia yang sebenarnya.
Dilihat dari sepintas lalu, hal ini bisa disebabkan oleh sifat teledor, atau masa bodoh dari seniman-seniman pelukis kita yang tidak menaruh kepercayaan banyak akan mendapat penghargaan yang benar. Tetapi dilihat dari sudut lain ini bisa diartikan sebagai satu kelemahan dalam alam seni lukis Indonesia. Terutama hal ini mengenai yang muda-muda, yang telah mengatakan: “Kami telah memilih jalan sendiri-sendiri sekarang.” Ucapan ini hendaknya keluar dalam sikap yang tegas dalam ruang seteleng. Sampai kapan orang berhenti mengadakan seteleng yang kolektif, seteleng yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada keyakinan dan pendirian?
Seteleng yang berwatak perlu sekali untuk kedudukan seni lukis sendiri, kalau ia tidak mau dilalukan begitu saja oleh masyarakat. Perjuangan yang berwatak tidak boleh tinggal di antara pelukis-pelukis saja, dia juga mesti keluar dengan sempurna dalam ruang seteleng. Tenaga pribadi sanggup menerobos ke dalam masyarakat dan membentuk golongan penggemar yang sangat dibutuhkan oleh seni lukis sendiri.
Dengan seteleng sekali ini para pelukis kita + Sin Ming Hui cuma mau menunjukkan goodwill mereka saja untuk membantu ikut merayakan Taman Siswa dengan lukisan-lukisan yang baik. Perbuatan ini tentunya tidak dapat dicela, malah harus dipuji, tapi memberikan kepuasan juga tidak kepada orang yang tahu ada jiwa-jiwa yang bergerak dalam alam seni lukis Indonesia dan yang mau lebih dari ini. Selama perjuangan seni lukis belum keluar dengan sempurna ke tengah masyarakat, selama itu masyarakat belum bisa sadar tentang adanya seni lukis Indonesia yang hidup.
***
Walaupun seteleng sekali ini masih kabur, tidak urung dia kuat juga dan pasti lebih kuat dari yang sudah-sudah. Yang tua-tua seperti Affandi, Sudjojono, dan Salim tidak menutupi yang lain, yang muda-muda. Zaini menakjubkan kita dengan warna birunya dalam Sumiati. Zaini mencari kesederhanaan dan kejernihan dalam bentuk dan warna. Kesederhanaannya yang masih bersifat naif di lukisannya Putat sudah tidak kelihatan lagi pada Sumiati. Tapi dalam bentuk menurut perasaan kita ia belum bebas sama sekali dari pengaruh Cézanne. Zaini lebih asli dengan Putat nya. Dengan menumbuhkan kesederhanaannya yang masih naif itu dan tetap tinggal asli, ia bisa membuka kemungkinan yang tidak kecil artinya bagi seni lukis Indonesia.
Suromo, Sundoro, dan Oesman Effendi yang dalam seteleng ini keluar dengan gambar pena menunjukkan kegiatan studi. Juga ketiga orang ini memperlihatkan perasaan tidak puas. Kalau gambar pena boleh diterima sebagai pendahuluan, dapat diharapkan lukisan-lukisan yang mempunyai corak Indonesia yang lebih terang dari tangan mereka. Sebagai orang Oesman Effendi sudah memberikan harapan yang baik.
Dalam ruangmuka yang besar kita ketemukan Salim, dan Sudjojono. Salim terkenal sebagai pelukis Indonesia yang lama dan masih diam di Eropa, sedang Sudjojono masyhur sebagai pelopor seni lukis Indonesia. Yang disesali disini cara menggantungkan dua buah lukisan pastel S. Sudjojono yang terjepit di sudut itu. Dalam seteleng ini S. Sudjojono dari tahun ’35 dan ’36 belum bisa disudutkan. Pasar Glodok nya adalah buah tangan yang beres.
Salim nyata telah matang dalam teknik dan mahir dalam komposisi dan harmoni, tapi mungkin disebabkan oleh kediamannya yang lama di negeri dingin itu, buat perasaan kita warnanya turut kehilangan garam. Satu perbedaan yang tajam ialah Gadis Kota Salim dan Pulang Motong Basuki Resobowo. Salim lebih banyak bekerja dengan pikirannya, sedang Basuki menangkap suasana di negerinya yang masih agraris dengan kehalusan perasaan yang tajam. Tiga perempuan yang pulang berbaris, perempuan dusun dilihatnya serupa itik yang pulang ke lesung. Bentuk dan warna berhasil membangkitkan perasaan jiwa yang tidak banyak minta pada suasana yang tenang lembut.
Menurut pendengaran kita lukisan Salim dan glas in lood nya bukanlah dari buah tangannya yang patut diketengahkan, tapi pasti Salim akan menarik atau mengubah pikirannya yang diucapkannya dalam interviu oleh suratkabar Trouw pada 29 Agustus 1947, yang berbunyi: “Di Indonesia seratus tahun lagi orang baru melukis,” sekiranya ia sendiri melancong di seteleng ini. Hendra dan Sjahri kelihatan sudah dan bisa melepaskan dirinya dari pengaruh Affandi. Anehnya disini kedua keluar dengan warna kuning yang mencolok. Bagi Hendra ini lebih besar artinya daripada bagi Sjahri yang masih muda dan tidak begitu diganggu oleh teriakan jiwa yang harus dapat dikuasai oleh bentuk yang mau mendalam, supaya kegelisahan yang dilepaskan dengan keberanian jangan berupa satu pose saja. Pose yang tidak mendalam ini kita lihat pada potret Chairil, Affandi jauh lebih berhasil dengan Ikan Didjemur.
Sekiranya Nasjah tidak terlalu banyak mengingatkan kita kepada van Gogh; Topi Kungi nya lebih menarik hati. Dibandingkan dengan seteleng di hotel Des Indes, Kusnadi tidak menunjukkan kemajuan, sehingga kehalusan yang mau mendalam itu bisa berupa satu kemanisan saja.
***
Ruang Sin Ming Hu tidak menarik hati.
Ruang ini menunjukkan jiwa yang sudah kenyang, tidak ada getaran jiwa yang berarti. Diukur dengan sejarah seni lukis Indonesia hampir dapat dikatakan semua masuk golongan sebelum zaman Persagi.
Selain membicarakan lukisan seorang-seorang yang sekali tidak dapat kita lakukan dengan sempurna dan memuaskan, ada soal lain lagi yang menarik hati, soal yang bertalian dengan permulaan karangan kita.
Sekalipun seteleng ini dikatakan masih kabur, komisinya telah menunjukkan mempunyai ukuran yang dijalankan, juga telah mengadakan seleksi terhadap semua kiriman. Menurut pendengaran tenaga komisi ini telah bentrok dengan pelukis Mochtar Apin yang sekali menunjukkan mempunyai sikap dan menarik kembali semua lukisannya. Insiden atau apa saja mau dinamakan adalah hal yang sehat dan mempunyai arti. Juga Barli tidak mendapat sambutan yang baik, dari semua kirimannya cuma sebuah saja yang diterima dan digantungkan. Sayang yang sebuah ini (hitam-putih) belum bisa memberikan kita suatu keyakinan. Bolehkah diharapkan Mochtar Apin dan Barli mulai dengan seteleng yang berwatak?
M. Balfas
Seteleng Seni Lukis di Taman Siswa
Kakiku Sakit, Hendra Gunawan
Pulang Motong, Basuki Resobowo
Sumiati, Zaini