KEHARUSAN BERDIRINYA SUATU GELANGGANG KESENIAN RAKYAT UNTUK JAKARTA

Sumber: Indonesia, No. 9, Tahun III, September 1952, hlm. 26-32.

Menyambut Gelanggang Kesenian Basuki Resobowo

Saudara Basuki berkhayal dalam karangannya.

Berkhayal dia sebagai dasar mula dari sesuatu usaha yang dapat diciptakan secara gambar dan dapat dikonkritisir kalau dilaksanakan untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu tempat penyelenggaraan kesenian untuk rakyat. Disini bukan suatu khayal yang berbentuk angan-angan rapuh mengambang yang akan tetap jauh dari kesanggupan tenaga diri. Karena kalau dia diterima oleh yang berhak memutuskan (Pemerintah Kota), begitu dalam waktu yang diharapkan dia dapat dilaksanakan.

Mengingat perkembangan kebangunan bangsa, akan dicoba menerangkan dibawah ini ada keharusan berdirinya suatu gelanggang Kesenian Rakyat untuk Jakarta (kota-kota).

Dalam pembentukan masyarakat bangsa merdeka ini, kita pernah kenal dimana daya kesanggupan bangsa seolah-olah sangat kentara terkedepan dan terasa betul, sehingga mereka yang hidup bergerak pada waktu itu dan ada mempunyai cita sedikit, timbul pada dirinya suatu keyakinan percaya bahwa bangsa betul-betul sangat derasnya maju menuju kejayaannya dimana semua tenaga ikut serta membentuknya dan merasa kenikmatannya. Saat itu ialah ketika roda revolusi kemerdekaan mulai digerakkan oleh pemuda-pemuda dan rakyat jelata yang dipimpin oleh tenaga-tenaga yang jujur. Pada saat itu apa saja yang dikerjakan seolah-olah telah menemukan dasar-dasar perjuangan dan pembentukan cara-cara kerja untuk menyelamatkan diri menuju kepada ke pembentukan kejayaan idaman. Hampir semua cara-cara memutar roda masyarakat dan pemerintah pada saat itu dijalankan dengan ukuran-ukuran yang jauh berlainan dengan ukuran-ukuran pada waktu dijajah. Tetapi sayang ketika permukaan masyarakat agak mulai reda kelihatannya, penemuan ukuran-ukuran dasar yang telah terancang semula dan yang tak tertulis itu, cepat hilang lenyapnya atau mengabur dan mulailah pemegang tampuk pimpinan penggerak masyarakat dan pemerintah memakai dan mengembalikan ukuran-ukuran lama ketika di waktu dijajah, karena kurang sanggup melihat cara-cara melangsungkannya dan cepat jatuh dalam meniru ukuran-ukuran yang dianggap ideal pada waktu dijajah.

Begitu pula dalam lapangan kesenian (seni rupa, sastra, dan lain-lain), pada saat itu hampir semua seniman muda keluar dengan usaha-usaha dan banyak diantaranya mengagetkan mereka sendiri dan hampir semua seolah-olah mulai dengan pernyataan baru yang mengharukan dan mengagumkan. Semua yang terasa dilontarkan, perkembangan diri mereka masing-masing sangat kentara berjalan cepat, seolah-olah ada tenaga gaib yang memimpin mereka dalam pencurahan rasa kesenian ini. Ini boleh dikatakan disebabkan oleh kesempatan yang luar biasa mengizinkan mereka untuk mencurahkan perasaan, apalagi ada keleluasaan 100% dalam arti menggelorakan dan membangunkan kesadaran kebangsaan serta keindahan pada rakyat umum. Dalam kesempatan ini seniman-seniman rakyat pun tak ketinggalan. Semua usaha dijalankan penuh dengan kebaktian dan pengorbanan dan jauh dari perhitungan dan spekulasi. Dengan sekaligus dalam waktu sekilat seolah-olah Kesenian Indonesia Baru dilahirkan. Baru dalam segala-galanya. Sedikitpun tak berbau semangat masyarakat penjajahan, hasil dari ukuran-ukuran pendidikan resmi. Terhadap segala gerak kesenian ini, pemerintah, golongan resmi dan rakyat mengambil sikap seolah-olah harus menyambut dan menanggap bahwa sudah seharusnya seniman-seniman ikut bergerak dalam revolusi, walaupun pada umumnya mereka sangat kurang berlatih dalam kesenian baru. Tetapi sayang ketika masyarakat agak mulai reda sedikit, kesenian baru tadi seolah-olah tiba-tiba mengabur saja. Seniman-senimannya yang sementara itu telah berhimpun dalam berbagai-bagai perkumpulan dan sementara itu telah pula banyak siap dengan rencana-rencana muluk untuk memelihara pertumbuhan dan meluasnya keseniannya secara sehat, tiba-tiba arus geraknya seolah-olah berhenti atau menciut, dan dari rencana-rencana yang banyak itu suatu pun tidak ada berkutat lagi. Begitu pula perhatian umum dan pemerintah terhadap kesenian baru mengabur dan tidak meneruskan sadar sikap yang mungkin pada mulanya revolusi ada tumbuh pada diri mereka agak sedikit yang berupa minat atau penghargaan. Dan sedihnya sekali mereka tiba-tiba mengambil sikap ukuran-ukuran yang umum dikenal pada zaman penjajahan terhadap ini.

Bagi angkatan yang lebih tua keadaan kesenian baru Indonesia ini menjadi bahan cemooh atau yang tak usah diladeni dan menjadi pertanda kurang daya kemampuan angkatan muda. Bagi kalangan pemerintah susah mengambil sikap memberi pengakuan kepada mereka, apalagi hampir semua seniman-seniman itu tidak mempunyai diploma dalam vaknya (hampir semua otodidak).

Keadaan masyarakat yang kembali kepada ukuran-ukuran zaman penjajahan ini ikut menyeret seniman-seniman dalam meninggalkan dasar cintanya yang luas, dan kehidupan mereka mulai lebih banyak berupa hidup berkonkurensi yang cocok dengan di zaman penjajahan. Kabur cita kejayaan bersama oleh bersama dan untuk bersama.

Beginilah seolah-olah permukaan gerak kesenian baru Indonesia dan sikap pemerintah dan umum terhadapnya pada dewasa ini.

Perkembangan selanjutnya dari kesenian baru ini seolah-olah semua mesti dimulai lagi dari dasar barunya kembali.

Tentu proses yang sebenarnya dari kelesuan dan kemunduran ini penuh dengan kepahitan perbenturan antara tenaga dan tenaga, antara cita dan cita, antara pengerjaan kepentingan serta kekuasaan dari kelompok dan kelompok, dan sebagainya. Dan masyarakat atau umum dipaksakan membenarkan kelompok mana yang kebetulan memegang tampuk roda masyarakat atau pemerintahan, pada dialah adanya atau berpihaknya kebenaran.

Karena keadaan seperti di atas inilah, maka bangsa yang baru bangun ini yang telah datang dengan kesenian barunya secara menggemparkan, pemerintahnya dan golongan resminya tak sampai kepikiran untuk menjaga dan menjamin keselamatan tumbuhnya dan bertambah luas perkembangannya sampai jadi milik rakyat. Seniman-seniman banyak tak diberi kesempatan untuk mempergiat mereka ke jurusan terlaksananya kesenian-kesenian besar yang berada di alam khayalnya. Pemerintah dan golongan resmi umumnya baru berani. Memberi kepercayaan kalau telah ada bukti nyata yang cocok dengan keinginannya. Padahal seniman-seniman itu telah habis-habisan menyatakan dalam buah usahanya dimana segala dasar citanya dan kemungkinan kesanggupan berkembang telah terpancar; hanya saja usaha besar yang diimpikannya belum dapat diciptakannya, karena ini umum meminta ongkos diluar kesanggupan mereka. Jadi yang sebenarnya golongan resmi tak sanggup menanggap dasar cita dan kebenaran keindahan dari kesenian baru ini. Penyakit berpegang kepada ukuran-ukuran keindahan lama dan yang paling laku pada waktu sekarang, itu yang menyesatkan dan mengelabui mata mereka. Karena keadaan inilah maka tenaga asing yang betul-betul asing dari perasaan jiwa bangsa, banyak ikut bicara dan mendapat kesempatan dalam penentuan yang berbentuk usaha konkrit dalam pembangunan sekarang. Keahlian mereka (ada diploma) menimbulkan kepercayaan dan menghilangkan kesangsian pada golongan resmi. Kemungkinan akan dapatnya berkembang kesenian dan menyalurkannya kepada rakyat —cita semula dari kesenian bangsa— bertambah susah akan mendapat perhatian dari golongan resmi, apabila negara sedang dalam keadaan berhemat dan kesenian gampang dimasukkan ke lapangan lux. Apalagi usaha kesenian belum pernah ada dalam begroting pemerintah menurut suatu rencana yang bercita tertentu dengan faktor rakyat sebagai titik beratnya. Dan cepat timbul pikiran apa keuntungan yang dapat diraba kalau ada pengeluaran uang untuk kesenian. Keadaan ini akan meneruskan keengganan untuk memberi kesempatan melaksanakan suatu usaha kesenian yang agak besar. Dimaksudkan yang ditujukan untuk rakyat. Faktor rakyat disini menambah keenggapan mengeluarkan begroting. Bukankah selama ini rakyat itu tinggal tetap sebagai rakyat dengan ukuran semasa penjajahan? Sekarang kita sodorkan gelanggang kesenian untuk rakyat. Apa itu? Apakah rakyat harus punya itu? Apakah rakyat pernah menuntut itu? Perlu pulakah rakyat kenal ini? Kesenian dan rakyat dua suku kata yang susah dihubungkan dalam pikiran golongan resmi. Apalagi kesenian baru Indonesia. Sedangkan kaum terpelajar tidak mengerti. Betapa susahnya rakyat yang buta huruf akan menerimanya. Tentu ini akan merupakan usaha sia-sia dan menghambur-hamburkan uang saja. Pendeknya kalau sesuatu yang harus diusahakan digandengkan dengan perkataan rakyat, pemerintah dan golongan resmi lantas garuk-garuk kepala dan cepat menghilangkan arti kepentingan sesungguhnya bagi rakyat dan cepat memperkecil keluasan dan kebesaran usaha kalau dia merupakan suatu kemestian yang harus dikerjakan untuk rakyat.

Tapi walaupun begitu sedih sikap umum terhadap kesenian yang kita ketemukan pada dewasa ini dan sikap umum terhadap sesuatu usaha untuk rakyat, kita menunjang terlaksananya khayal saudara Basuki Resobowo dengan alasan sudah waktunya dan sudah pada tempatnya rakyat Jakarta memperolehnya dan sudah waktunya dan sudah pada tempatnya memulai memberi seniman-seniman muda kesempatan untuk memperlihatkan kesanggupannya dalam ikut menanam perasaan keindahan pada rakyatnya sebagai suatu tugas besar yang tak kalah besar artinya daripada usaha pemerintah untuk memakmurkan bangsa. Dan usaha ini sedikit pun tak boleh dan tak pada tempatnya disamakan dengan usaha-usaha yang dapat memberi keuntungan nantinya sebagai tenaga pekerja dan sebagai uang berlipat ganda. Ini berupa usaha membentuk jiwa bangsa yang akan menimbulkan rasa hormat terhadapnya, yang menentukan hidup kerohanian bangsa itu. Dia tak akan dapat dan tak boleh diukur dengan berupa uang yang dikeluarkan atau dengan banyak keuntungan uang yang diperoleh kembali.

Mari kita turutkan suatu perjalanan pikiran kebenaran berhaknya rakyat Jakarta memperoleh gelanggang kesenian ini dan sudah waktunya seniman-seniman diberi suatu opdracht yang besar.

Kita tahu sama tahu bahwa rakyat Jakarta sungguh tak terkiranya banyak berkorban pada waktu revolusi, walaupun orang luar akan banyak menganggap tak begitu halnya. Telah beberapa tahun mereka merasa kemerdekaan, namun keuntungan apa yang diperoleh dari perjuangannya sedikit sekali terasa. Corak Jakarta yang dibawakan mereka pada waktu revolusi yang berupa dalam banyak hal mereka ikut menentukan, dalam waktu keredaan ini, kembali mereka menunggu segala keputusan dari siapa yang berkuasa sekarang. Kembali mereka sebagai rakyat kecil yang harus tetap hidup dalam bentuk lingkungan hidup seperti sediakala. Dalam lapangan tontonan dan kesenian juga harus dalam bentuk sediakala. Usaha-usaha untuk menimbulkan ada kepunyaan diri dalam bentuk pernyataan keindahan dan kesanggupan harus buat sementara mereka tak boleh mengenal. Ini berarti dalam bentuk hiburan dan kesenian rakyat hanya harus mengambil sikap menunggu. Tak ada dasar dan tujuan dalam hal ini. Yang ada, hanya golongan resmi Jakarta senantiasa mendapat hiburan dan kesenian yang tinggi mutunya secara periodik, yang diselenggarakan di istana, di gedung kesenian atau dalam suatu ruang rumah seorang menteri. Pun dalam hiburan kesenian ini sifat pilihan kesenian dan cara-cara penyelenggaraannya masih penuh berukuran lama yang kita ketemukan dalam zaman penjajahan.

Rakyat cukup dapat hiburan-hiburan yang sekali-sekali berupa gado-gado tontonan yang diselenggarakan oleh orang Tionghoa dan film-film yang tak berkentuan dasar dan tujuannya selain untuk mempersona rakyat dalam perasaan mesum dan menjamin kecanduan mereka untuk senantiasa melarikan diri ke pertunjukan dari perasaan-perasaan yang mengecewakan.

Meneruskan keadaan ini dalam lapangan kesenian berarti kita meneruskan atau memupuk anggapan tak ada apa-apanya lagi yang dapat diharapkan dari rakyat dan dari tenaga-tenaga muda yang penuh gelora pada waktu mulanya revolusi itu.

Padahal, dimana-mana rakyat diam-diam terus meneruskan keseniannya yang umum merupakan tontonan secara terbuka dengan tak pernah mendapat perhatian dari kalangan resmi yang umum disebabkan oleh perasaan jijik terhadapnya yang lebih banyak dihubungkan dengan perkataan kotor. Dan seniman-seniman baru masih cukup bersemangat diam-diam memperkuat diri dan mengambil tiap-tiap kesempatan yang terlowong untuk mencurahkan perasaannya, walaupun tak seberapa laku.

Sekarang sebetulnya telah tiba masanya untuk berusaha mengatasi segala sikap masa bodoh, sikap menunggu, sikap cemooh terhadap daya kemampuan bangsa, sikap pertanyaan kapan-kapan dapatnya bangsa Indonesia ini digerakkan dalam ingatan seperti pada waktu revolusi (dimaksudkan untuk meneruskan elan jiwa revolusi yang telah ditanamkan dan telah diisi dengan dasar pengertian cita yang besar), itu hanya dapat tertolong dengan ada keberanian dari pemerintah dan dari golongan resmi untuk memakai dasar-dasar luas dan yang tak kepalang tanggung dengan usaha-usaha baru yang terus-menerus dan yang bergerak maju dalam jangka panjang dengan titik berat tujuan penggerakkan tenaga dan jiwa rakyat secara besar-besaran. Dan semua ini sedikitpun tak boleh diperhitungkan dengan politik ekonomi warung.

Cara-cara gerakan besar ini cukup banyak kita dapat menoleh kepada bangsa-bangsa yang telah dapat membentuk taraf pengakuan kejayaannya dalam waktu yang singkat sesudah mereka merebut kemerdekaannya atau sesudah mereka memperoleh kemenangan revolusi.

Hampir semua bangsa itu, dan juga bangsa kita sendiri, bercitakan segala usaha dari rakyat untuk rakyat.

Dalam hal ini tentu dasar tehnik gerakan usaha masa itu dalam keadaan negeri manapun juga tak akan seberapa bedanya. Dalam dasar citanya (ini yang penting) tentu kita mungkin akan banyak berbeda dengan mereka. Dalam ini kita dengan sendirinya harus senantiasa giat mencari cara-cara yang lebih menguntungkan.

Sudah seyogyanya kita harus menyambut tiap-tiap sesuatu yang ditujukan untuk rakyat dimana keuntungannya berupa kebahagiaan yang tak terhingga yang berlangsung terus akan diperoleh, apalagi dia merupakan kebahagiaan batin yang selama ini rakyat tak seberapa mendapat tambahannya. Disini lagi berupa usaha kolektif, dimana mereka yang bercita kerakyatan dapat menyalurkan segala pernyataan kepada rakyat yang luas, yang nantinya akan senantiasa menjadi sumber cita dan pernyataan, mana ini akan menjamin bertambah semaraknya sejarah pernyataan kesenian dan kebudayaan dari rakyat untuk rakyat buat selanjutnya.

Untuk memberi kesempatan berkembangnya pernyataan batin rakyat Indonesia Jakarta buat seterusnya, dengan tak usah khawatir akan digilas dan diterpedeer atau diinfiltrasi dari serba pengaruh jelek yang datang dari dalam dan dari luar, dapat kita pakai sebagai tumpuan pernyataan pertama ide khayal saudara Basuki tadi. Dengan sekaligus dia dapat memecahkan segala keteledoran dan kesulitan kita selama ini dalam soal gerakan memakmurkan pernyataan batin dari bangsa. Dan ada keberanian kita dalam menerima tantangan khayal saudara Basuki ini, dengan sekali pukul kita dapat pula memberi jawaban terhadap gerakan kebudayaan asing yang sangat bersimaharajalela di Jakarta ini. Apakah masih mau kita melihat dan akan terus berpangku tangan melihat pengluasan penguasaan gerakan kebudayaan asing yang hanya menitikberatkan segala usahanya kepada keuntungan material dan tujuan yang samar-samar berbahaya? Ataukah kita membiarkan mereka melabrak semua ide yang tumbuh dari kita dengan menghilangkannya usaha kita dalam bayangan besar dan gelap dari usaha asing itu e coba kita renungkan sebentar baik dalam lapangan manapun juga sudah berapakah usaha pemerintah dan golongan resmi dalam membendung dan berani mengimbangi banjir arus dari kebudayaan asing. Memang ada beberapa usaha yang agak besar dari bangsa yang diberi kesempatan oleh pemerintah (seperti film) untuk mengimbangi banjir asing itu tetapi itu semua untuk mendapat keuntungan material saja dan lagi memakai sebagai dasarnya hukum psikologi menipu, memukau selera murah rakyat atau kebutaan huruf memisah dari rakyat. Pendeknya semua usaha kita tujukan selama ini untuk perpacuan dalam memperoleh keuntungan materi berlipatganda.

Keadaan seperti ini akan membawa kita ke dalam kekeringan budi, tumpu daya fantasi, dan kekayaan batin yang betul-betul memenuhi apa yang kita idam-idamkan yaitu kebahagiaan bersama oleh bersama akan tetap jauh, dan yang dikenal hanya penerimaan penjajahan batin dari yang asing atau dari usaha ciptaan sendiri yang memakai dasar asing itu juga.

Sebaliknya dengan melaksanakan Gelanggang Kesenian ini, yang betul-betul kesempatan yang bagus dan yang sehat buat pertama kali, dengan sekaligus kita dapat memenuhi syarat sebagai bangsa yang tahu harga diri, sebagai rakyat yang membentuk pemerintah (kota), dan pemerintah (kota) yang tahu memelihara berkembangnya segala usaha pernyataan rakyat dalam bentuk sesehat-sehatnya. Ini akan menimbulkan seri kehidupan pada mereka sebagai penjamin semangat hidupnya sebagai tenaga pekerja dan tenaga pengabdi.

* Keadaan ini sudah seharusnya mesti begitu, karena bukankah revolusi harus berarti juga revolusi dari segala ukuran-ukuran yang umum diketemukan pada waktu penjajahan, jadi bukan hanya mengambil over pemerintah penjajahan atau penempatan pegawai-pegawai saja.

Sebuah Gelanggang Kesenian di Jakarta
Editorial Zenith No. 11, November 1952