EDITORIAL ZENITH NO. 11, NOVEMBER 1952

Sumber: Zenith, Tahun II, No. 11, November 1952, hlm. 515-516

Pernah timbul dalam pikiran, bahwa tidak tertampaknya kegiatan-kegiatan dalam lapangan kebudayaan adalah disebabkan oleh tidak terdapatnya keyakinan akan penciptaan dalam diri pencipta-pencipta kita. Kalau benar terdapat keyakinan ini maka pencipta-pencipta kita tidak akan terlepas dari pada rasa diburu oleh keharusannya mencipta. Kita tidak lagi temui bezieling dari pada benih-benih yang ada dalam tubuh dan harus dilahirkan. Mungkin bisa disalahkan tiadanya bezieling pada keadaan keuangan daripada masing-masing pencipta. Dan kita dapat menerima bahwa pendapat yang diterima oleh seseorang pencipta bagi hasil pekerjaannya sangat sekali kecilnya, kalau dibandingkan dengan waktu dan usaha yang diminta oleh pertumbuhan cita-citanya sehingga menjadi kenyataan. Tetapi adakah ini suatu alasan, kalau ia dihadapkan dengan “bezieling” yang kita maksudkan diatas? Kalau seorang pencipta telah dihinggapi oleh keharusannya hal-hal lain tidaklah akan dapat menjadi masalah, selain membuat buah yang dikandungnya menjadi suatu kenyataan.

Ini hanya suatu pikiran. Kebenaran daripada pikiran ini memang ada kalau kita meminta sangat banyak pada pencipta-pencipta karena dia hanya bisa dipenuhi oleh seorang genie. Lahirnya genie-genie ini sangat tidak tentu. Kebudayaan harus terus dihidupkan, sedang zaman-zaman rupanya sangat kikirnya dengan mereka yang dibutuhi ini.

Tetapi ada suatu pikiran lain yang terus menggoda pendapat diatas. Mungkin sekali kegiatan kebudayaan terlambat oleh sebab tidak terdapat kesempatan dan lapangan bergerak bagi pencipta kebudayaan. Ambil sajalah misalnya mengapa seni sandiwara kita tidak menunjukkan tenaga-tenaga hidup. Begitu juga seni tari, musik, dan lain-lain. Memang sekali-sekali ada juga terdengar bahwa ada suatu sandiwara, tari Bali, tari piring atau tari-tari daerah daerah seberang dipertunjukkan. Tetapi suatu pertunjukan yang memberikan pernyataan akan usaha-usaha yang benar, suatu pertunjukan yang dilahirkan oleh kesadaran-kesadaran akan pengucapan yang baru tidak kita dapati. Apa memang kita tidak bisa? Terhadap ini timbul keraguan. Berikan kesempatannya dan boleh jadi ada kemungkinan pengucapan kebudayaan akan dapat menunjukkan kehidupan. Karena adalah suatu kemustahilan bahwa pada waktu ini tidak terdapat orang-orang yang tidak mempunyai pandangan baru dalam lapangan ini. Rintangan-rintangan ialah kesempatan itu, dan kalau ada kesempatannya dia dapat jadi kenyataan. Untuk usaha-usaha ini diperlukan tempat, alat-alat dekor pakaian dan lain-lain, sedang tempat yang ada tersedia pada waktu ini tidak lagi memuaskan. Karena dia tidak lagi dapat memberikan kemungkinannya untuk pengucapan yang dikehendaki. Kalau terus diperinci lagi segala yang diminta oleh perubahan-perubahan dasar yang diminta oleh usaha-usaha kebudayaan baru yang lahir daripada keinginan menyatakan kehidupan yang sekarang, kita akan sampai pada kesukaran material.

Berhubung dengan ini sangat menarik cita-cita pendirian suatu Gelanggang Kesenian yang dilancarkan oleh beberapa orang seniman di Jakarta. Pelaksanaan dari padanya akan memberikan tempat untuk melampiaskan keinginan-keinginan membuat gambar-gambar yang sudah begitu lama terdapat dalam diri beberapa orang pelukis dan pemahat-pemahat, musik yang lahir daripada kesadaran-kesadaran akan pengucapan yang mewakili keinginan dari kita di zaman ini. Ia juga akan memungkinkan timbulnya sutra-dara-dara dan pelukis, akan dapat serta memberikan cita-cita dan rencana dalam masalah, dekor. Begitupun juga pemain baru akan dapat timbul, karena ada terdapat kesempatan untuk mencoba. Begitupun juga tari-tari kita. Perencana tari, pelukis-pelukis dekor, dan lain-lain dapat ditimbulkannya. Juga dengan cara ini kesusastraan sandiwara kita yang seakan-akan kering tampaknya akan mungkin sekali mendapat nafas baru. Apalagi kalau penempatan daripada Gelanggang Kesenian terletak dalam daerah pencapaian dari masyarakat banyak ia akan memberikan kemungkinan yang banyak memberi harapan. Adalah suatu kenyataan bahwa yang menghambat “keberanian pengucapan” dari suatu pertunjukan kesenian ialah selera daripada masyarakat menengah kita. Selera inilah yang pada waktu ini menekan kehidupan kebudayaan, sedang pada pertunjukan-pertunjukan rakyat kita lihat terdapat keberanian tersebut. Kalau diatas dikatakan, bahwa penempatan daripada Gelanggang Kesenian itu harus berada dalam daerah pencapaian masyarakat banyak, maka adalah itu berarti bahwa diapun harus mendapat kemungkinan dihadiri oleh rakyat banyak. Karena saling mengerti antara penciptaan yang baru dengan penerimaan yang masih hidup harus diberikan salurannya. Mungkin dengan adanya Gelanggang Kesenian itu timbul faktor-faktor pendorong yang menggiatkan kehidupan kebudayaan.

Dari sudut lain pendirian dan adanya Gelanggang Kesenian ini adalah suatu pembukaan lapangan bekerja bagi orang-orang kebudayaan. Karena janganlah dilupakan bahwa mereka ini pun adalah manusia biasa yang ingin menghidupi kehidupan yang layak di dunia ini. Kebetulan saja pekerjaannya memberikan hasil-hasil yang bersifat kesenian. Cita-cita serta pekerjaan-pekerjaan mereka harus mendapat bayaran untuk memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya seperti setiap manusia.

Juga pendapat yang kedua adakah hanya suatu pikiran. Apakah yang akan kita pilih? Menanti genie-genie atau menjalankan usaha penggiatan kebudayaan? Menurut pendapat saya usaha kedua harus dilaksanakan. Hasil-hasil yang nyata sudah dapat terbayang daripadanya. Dan kalau toh ada genie-genie mereka tentu akan mendapat jalannya sendiri, tidak perduli ada atau tidak kegiatan ini.

Keharusan Berdirinya Suatu Gelanggang Kesenian Rakyat Untuk Jakarta
Sebuah Gelanggang Kesenian di Jakarta