“LU MENULIS, GUEPUN MENULIS”: KEPADA KI HADJAR DAN ARMIJN PANE

Sumber: Mimbar Indonesia, No. 11, 17 Maret 1951, hlm. 24.

Sudah sejak Pudjangga Baroe (mungkin sebelumnya juga?) orang suka membicarakan dan mempolemikkan musik nasional Indonesia. Tapi anehnya dari semua pembicaraan-pembicaraan itu, para pendukung budaya kita hanya berputar-putar disekitar soalnya dan hampir tak membicarakan musik itu sendiri dan meninjaunya dari ilmunya (ilmu musik dan ilmu-ilmu yang rapat berhubungan dengannya yang membawa dan memudahkan jalan ke definisi musik Indonesia. Paling banyak ia dibicarakan dari sudut politik saja, dicampur dengan tinjauan sosiologis yang tak teratur dan tak sadar serta muziekaesthetica yang dangkal. Lebih payah lagi karena para penulis banyak terdorong oleh rasa prestise (“karena lu menulis, guepun menulis”, “lu pinter, gue lebih pinter”), rasa lebih-melebihi yang tak sehat, sehingga mereka makin lama makin jauh dari soal musik, maksud sebenarnya.

Akhirnya dari semua betoog-betoog itu kita tinggal mendapat bayangan karikatur dari penulis-penulis: Ali Budiardjo yang memulai cerita, Armijn Pane yang mengepal tinju, dan yang lain lagi yang bersitegang leher (Pudjangga Baroe tahun 1941).

Kini sesudah kemerdekaan tercapai, cara menulis dan berpolemik demikian timbul pula.

Dalam majalah ini (Mimbar Indonesia No. 48, 2 Desember 1950), Ki Hadjar Dewantara memulai cerita tentang musik nasional Indonesia. Karangan ini penuh pikiran yang saling bertentangan dan tak bertanggungjawab ditilik dari sudut musikologi (antaranya teorinya), sosiologi, etnologi, pedagogi, dan lain-lain dari bangsa kita, malah dari sudut politik pun (salah satu lapangan beliau sendiri).

Karangan K.H.D. ini mendapat sambutan dari Armijn Pane dalam majalah Siasat tanggal 7 Januari 1951.

Armijn Pane yang mengeritik K.H.D. membicarakan musik Indonesia dari sudut politik dan “menganalisa” kontradiktis pikiran dalam karangan K.H.D., jatuh pula ke cara kritik politis-etnologis (sosiologis). Soal musik dan musikologi yang sudah miskin dalam karangan K.H.D., hilang dalam karangan Armijn Pane.

Kami melihat kembali karikatur-karikatur dari zaman Pudjangga Baroe.

Berlainan dengan cara yang lama ini, kami ajak Ki Hadjar, Armijn Pane dan siapa saja yang menamakan dirinya pendukung-pendukung budaya, untuk membicarakan dan mempolemikkan soal musik nasional kita secara zakelijk (to the point): nuchter-wetenschappelijk.

Kita harus insyaf, bahwa membina musik kita tak tertolong dengan hanya memandangnya dari sudut patriotisme, nasionalisme, dan politik.

Dengan melalaikan ilmu musik dan ilmu-ilmu lain serta kebijaksanaan (takt) dan jiwa yang menghendaki yang benar-benar universal, kita akan menghadapi suatu tragis untuk musik kita.

Juga kita tak boleh lupa, bahwa seorang Ki Hadjar bisa mati, seorang Sukarno pun bisa mati, penulis ini bisa mampus, semua kita bisa mati, tapi pembinaan musik kita masih mungkin berjalan beberapa generasi sebelum ia terbentuk baik, sedangkan kita pada waktu itu tinggal tulang-belulang dalam liang kubur.

J.A. Dungga